Ketika Negara Menyerah, Rakyat Menangis: Di Mana Tanggung Jawab Kepala BTN Manusela?
PENDAPAT

Dalam dunia yang katanya beradab ini, masih ada cerita yang membuat kita bertanya-tanya: mana yang lebih liar rimba Gunung Binaiya atau nurani para pejabat yang mestinya menjaga tapak-tapak manusia di sana?
Adalah Firdaus Ahmad Fauji, seorang pendaki sah, lengkap dengan tiket, prosedur, dan semangat menjelajah, yang kini hilang di jantung Pulau Seram. Namun lebih dari sekadar kisah seorang survivor yang belum ditemukan, ini adalah kisah tentang seorang kepala balai yang… memilih untuk tidak peduli.
Kepala Balai Taman Nasional Manusela, Deny Rahadi, tampaknya lebih cocok memimpin loket tiket wahana rekreasi daripada sebuah kawasan konservasi dengan nilai spiritual dan ekologis setinggi Gunung Binaiya.
Ketika masyarakat adat menangis memohon bantuan, Deny dengan wajah datar menyodorkan izin tanpa tanggung jawab. “Silakan, kami beri izin. Tapi kalau terjadi sesuatu, kami lepas tangan.” Kalimat ini seolah jadi epitaf lebih dini atas empati yang telah wafat di ruang kerja seorang pejabat konservasi.
Mari kita buat sedikit perbandingan.
Di satu sisi, ada Latupati, representasi masyarakat adat, yang tidak dibayar oleh negara, tidak memiliki seragam dinas, dan tidak memiliki kewenangan formal. Tapi mereka membawa sesuatu yang tak bisa diajarkan di diklat ASN mana pun: rasa tanggung jawab terhadap nyawa manusia.
Ketua Latupati, Bernard Lilihata, bahkan menangis. Bukan karena takut, tapi karena kecewa. Karena dalam dunia yang sudah terlalu sering mengecewakan itu, mereka masih berharap sedikit nurani dari negara.
Di sisi lain, ada BTN Manusela lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pelestarian kawasan dan keselamatan setiap jiwa yang masuk. Tapi kenyataannya? BTN lebih sigap soal retribusi pendakian daripada pencarian pendaki. Lebih aktif mencetak tiket daripada menyiapkan personel untuk darurat kemanusiaan. Ironis? Tidak. Ini lebih buruk dari ironi. Ini adalah pengkhianatan terhadap esensi tugas publik.
Beberapa warga menyindir dengan pahit: BTN Manusela lebih cocok disebut Balai Tiket Nasional. Karena nyawa pendaki tak penting selama uang masuk kas.
Bahkan seorang netizen, Bas Angkotasan, menulis: “Kepala balai bilang keluarga ikhlaskan saja. Dia kira nyawa bisa dibeli di toko.” Kalimat yang mungkin terdengar kasar, tetapi dalam dunia yang semakin absurd ini, kebenaran memang sering harus disampaikan dengan kemarahan.
Yang lebih menyedihkan lagi: Firdaus bukan pendaki liar. Ia membayar untuk mendaki, mengurus izin, mengikuti prosedur resmi. Negara menerima uangnya dengan tangan terbuka.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi