Oleh: Eltom (Pemerhati Sosial)
Konsep “kalu su jadi orang” sama persis dengan “kalu su dapa hidop” dan keduanya menerangkan suatu kondisi di mana seseorang sudah memperoleh pekerjaan yang tetap, dan dahulu konsep itu diarahkan untuk kerja sebagai “soldadu” dan “ambtenar” (=tentara dan pegawai). Jadi setiap anak didorong untuk “teken soldadu atau teken pegawai” (=melamar menjadi tentara atau pegawai).
Kalangan orangtua yang biasa bertukar tanya ini: “kacil su dapa hidop o” (=anakmu sudah dapat pekerjaan ya?) atau dengan bangga berucap: “Iyo e, ale kacil su jadi orang paskali” (=iya ya, anakmu sudah dapat pekerjaan ya). Jadi “dapa hidop” dan “jadi orang” menerangkan tahapan perkembangan seorang anak, yang kadang dimaknai sebagai semacam kelas tertentu sebab tidak pernah hal itu disangkutkan pada jenis kerja “par yang cuma bakabong, iko ikang ka manjala deng manjareng, atau tukang” (=berkebun, nelayan, tukang).
“Suda jua, jang pastiu deng hal-hal bagitu lai. Bale kombali di akang pung pasang jua” (=sudahlah, tidak usah memusingkan diri dengan konsep-konsep itu. Mari kita kembali ke apa yang menjadi pesannya).
Satu:
“Kalu su jadi orang, jang sombong la lupa diri e” (=kalau sudah dapat pekerjaan, jangan sombong sampai lupa diri ya). Ini perlu diingat, “tagal sombong labe la makang tombong” (=terlalu sombong, makan tombong. Tombong adalah kentos kelapa, cikal bakal anakan kelapa). Ungkapan ini menerangkan bahwa kesombongan yang berlebihan kelak membuat seseorang jatuh dan ia akan susah oleh sebab “masa ada deng pangkat tar meku satu kutu busu lai” (=masa jayanya tidak pernah pedulikan siapapun). Jadi karena itu dinasehati demikian, “jang lupa diri kalu su jadi orang”.
Dua:
“Kalu su dapa hidop, bale muka par orangtatua deng basudara lai” (=kalau sudah bekerja, perhatikanlah orangtua dan sanak saudara). Nasehat ini penting sebab pada banyak keluarga yang anaknya berhasil, ada kakak atau adiknya rela berkorban untuk tidak sekolah tinggi hanya karena cita-cita salah seorang anak. Dan ini lumrah terjadi “par anana laki-laki” (=untuk anak laki-laki) jadi “dia pung sudara parampuang nekat seng skola, yang penting eso lusa dong pung ade ka kaka laki-laki dapa hidop” (=saudara perempuannya nekat tidak melanjutkan sekolah, yang penting kelak saudaranya dapat pekerjaan). Jadi nasehat itu mengingatkan bahwa “dong yang biking se dapa pangkat” (=mereka berkorban sehingga anda memperoleh pangkat). Jadi dinasehatkan demikian, “bale muka par orangtatua deng basudara lai“.
Tiga:
“Kalu dapa hidop, ator akang babae. Jang takaruang la karja sapsele” (=kalau dapat pekerjaan, kerja yang baik. Jangan berlebihan lalu akhirnya kerja di luar aturan). Sebab ada resiko yang timbul, “dapa kas’ brenti” (=misalnya diberhentikan) sehingga akhirnya “hidop kalalerang” (=hidup tidak menentu). Itu sama dengan “buang makanang yang su di atas meja” (=membuang makanan yang sudah disajikan di atas meja) atau “tar tau jaga berkat” (=tidak menghargai berkat). Karena itu dinasehatkan demikian: “jang karja sapsele!“.
Ampa (Empat):
“Eso lusa kalu ale su jadi orang, jang buang mata dari beta deng anana e” (=kelak jika anda sudah berhasil, jangan mengabaikan saya dan anak-anak ya). Ini biasa menjadi pesan di antara “tamang makang sapiring tidor sabantal” (=teman baik, yang biasa diilustrasikan tidur sebantal, makan sepiring). Mereka yang seperti ini “dari har’ ana su macang bia deng batu” (=sejak kanak-kanaknya, mereka seumpama siput laut yang melekat pada batu; suatu gambaran persahabatan yang kental). Ungkapan di atas menjadi pembuktian bahwa persahabatan mereka itu harus dilanjutkan ke anak cucu. Jadi ketika sahabatnya itu berhasil, ia “seng bisa lupa ale, tamang e” (=tidak bisa melupakanmu, sahabat). Dia “seng bisa dengar ale susa, tamang e” (=tidak bisa mendengarmu susah, sahabat). “Jang kata par ale, mar ale pung bini ana lai, beta su anggap beta pung sudara deng anana sandiri” (=tidak hanya anda, istri dan anakmu pun sudah seperti saudara dan anakku sendiri). “Jadi ale susa, beta rasa, ale sanang, beta jua rasa” (=anda susah dan senang saya pun merasakannya). “Labe par labe, beta makang apa, ale makang itu lai, beta pake baju kler apa, ale lai pake akang” (=apapun keadaannya, apa yang aku makan, anda juga, baju warna apa yang aku kenakan, anda juga). Ini wujud “tamang su jadi sudara” (=sahabat sudah menjadi saudara). Dalam hal demikian berlaku nasehat: “Jang buang mata dari beta deng anana!”
Jadi, “ingatang babae, musti lia samua deng bae-bae, la ator samua bae-bae!”
Jumat, 14 Mei 2021
Kota Mahu, Wailela-Rumahtiga
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi