potretmaluku.id – Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H. mengkritik kebijakan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang baru saja diterbitkan Presiden Joko Widodo.
Lata Fahri, kebijakan itu sangat potensial tidak berlandasakan pada moralitas konstitusional yang aksentuasinya bukan saja semata tentang prosedur pembentukan undang-undang dengan memenuhi kaidah formalitas belaka.
“Hakikatnya pembentukan undang-undang itu wajib berpijak pada moralitas konstitusional yang berada dalam UUD 1945 itu sendiri, yaitu penghormatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat secara penuh dengan menjadikan konstitusi sebagai “the supreme law of the land”,” ujar Fahri dalam rilis yang diterima potretmaluku.id, Rabu (4/1/2023).
Sebelumnya pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, alhasil MK meminta UU ini diperbaiki dalam dua tahun.
Namun kini Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja, dengan alasan kepentingan yang memaksa karena kondisi ekonomi global yang harus cepat direspons pemerintah, salah satunya imbas perang Rusia – Ukraina.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI) itu berpendapat, alasan kegentingan yang memaksa dijadikan sebagai “Sine qua non” sesuai argumentasi pemerintah adalah sangat jauh dari kaidah syarat kegentingan secara doktriner hukum tata negara darurat, sesuai argumentasi pemerintah adalah sangat jauh dari kaidah syarat kegentingan secara doktriner hukum tata negara darurat, sesuai norma Pasal 22 UUD 1945.
Sebab kondisi serta alasan pemerintah harus dapat sejalan dengan konsep keadaan darurat yang secara doktriner disebut syarat clear and present danger atau bahaya yang jelas nyata.
“Dengan demikian dalam menetapkan syarat tersebut tidak boleh asumtif serta kalkulatif,” kata Fahri.
Dia menuturkan, jika merifer pada dalil presiden perihal ancaman ketidakpastian ekonomi global sebagai parameter kegentingan memaksa justru sedikit paradoks. Karena sebelumnya presiden telah menyampaikan bahwa kondisi perekonomian indonesia termasuk yang paling tinggi diantara negara-negara anggota G20 dengan capaian sebesar 5,72% pada kuartal III 2022, dan angka inflasi dalam posisi yang masih dapat dikendalikan.
“Dengan demikian syarat objektif ini menjadi tidak reasonable atau tidak masuk akal,” pungkasnya.
Fahri mengatakan, Perpu pada hakikatnya adalah keputusan presiden yang ditetapkannya dengan mengesampingkan DPR, karena adanya kegentingan yang memaksa, yang berkekuatan undang-undang (berbaju peraturan).
Keputusan presiden ini mengandung sifat kediktatoran konstitusional, sehingga kontrol legislasi maupun yudisial merupakan sebuah keniscayaan konstitusional.
Dia juga menyebutkan bahwa peran konstitusional DPR sangat diperlukan. Secara terminologi, ketentuan norma Pasal 22 UUD 1945 mengandung pengertian bahwa “kegentingan yang memaksa” menjadi syarat kondisional yang harus terpenuhi, sebelum presiden mempergunakan kewenangan menetapkan perpu.
Jika ditinjau dari aspek ini, seharusnya pengawasan yang dilakukan DPR atas penerbitan perpu, diorientasikan pada apakah telah terpenuhi keadaan kegentingan yang memaksa ataukah tidak. Sehingga sangat tepat jika DPR menilai substansi atau materi muatan dari perpu tersebut.
“Seandainya dalam Sidang Paripurna DPR, presiden tidak bisa membuktikan serta menunjukkan adanya “ keadaan kegentingan yang memaksa” maka tentunya menurut ketentuan norma Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Perpu tersebut harus dicabut,” tandas Fahri.
Setidaknya Ada tiga alasan mengapa Perpu harus dicabut. Pertama, apabila dalam pembahasan Paripurna DPR diketahui bahwa perpu tersebut bertentangan dengan hakikat perpu yaitu tidak memenuhi Syarat “keadaan kegentingan yang memaksa”, maka presiden sebenarnya dinyatakan tidak berwenang menetapkan perpu.
Yang kedua, perintah pencabutan ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kemungkinan adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan instrumen hukum Perpu itu.
“Sedangkan yang ketiga, perpu yang dibuat secara sepihak oleh presiden, dengan konstruksi tersebut, diharapkan agar DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi “Checks and balances” dalam rangka mendinamisir pemerintahan yang terbatas,” cetus Fahri.
Sebelumnya dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang amarnya menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; serta Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.
Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Hal itu adalah mandat konstitusional yang dikirimkan oleh MK kepada Presiden dan DPR untuk melakukan perbaikan atas UU a quo.
Fahri menjelaskan, reasoning secara konstitusional atas putusan ini tentunya sangat gamblang, sebagaimana telah dirumuskan dalam putusan MK itu, bahwa proses pembahasan UU Cipta Kerja melanggar prinsip-prinsip fundamental sebagai sebuah negara demokrasi konstitusional, MK menegaskan bahwa oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.
“Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan,” ungkap Fahri.
Partisipasi publik itu terutama diperuntukan untuk kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas.
Dengan demikian, menurut hemat dia, karena pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK itu, sehingga mencoba mengakali dengan melakukan terobosan hukum yang tentunya mempunyai dampak buruk yang sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi. Itu sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum, lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa “Constitution Disobedience”.
“Berdasar hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa produk Perpu maupun UU dari Perpu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya, sebab tidak terakomodasi kaidah “meaningful participation” itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh MK kedepan,” imbuhnya.
MK sebagai “the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights, dengan kewenagan konstitusional dapat menguji keadaan serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah Perpu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
“Secara paradigmatik pengunaan kewenagan tersebut tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin “checks and balances system” yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 itu sendiri,” tutup Fahri. (HAS)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi