
Oleh: Alto Labetubun, pengamat intelejen, analis konflik dan keamanan.
Hari ini, saya mengikuti acara Napak Tilas perjalanan Nen Dit Sakmas yang dilakukan di Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Nen Dit Sakmas adalah tokoh perempuan yang sentral dalam budaya Kei karena perjalanan beliaulah yang akhirnya melahirkan Hukum Adat Larvul Ngabal di Kepulauan Kei.
Untuk itu maka upaya melestarikan adat dan budaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Maluku Tenggara adalah sesuatu yang patut untuk diapresiasi.
Akan tetapi, setelah saya mengikuti satu dari rangkaian kegiatan yang dilakukan, yang berhubungan dengan Nen Dit Sakmas, sebagai anak Kei, saya melihat apa yang dilakukan oleh pemda di kabupaten ini sangat patut untuk dikritisi.
Yang pertama, acara ini tidak jelas apa tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuannya adalah demi melestarikan adat dan budaya, maka apa yang terjadi hari ini sangat jauh dari tujuan tersebut.
Kenapa? Karena kebesaran hukum adat Larvul Ngabal direduksi menjadi event yang hanya diikuti oleh segelintir masyarakat di beberapa ohoi (kampung) saja. Ibarat tukang obat yang berjalan dari satu kampung ke kampung yang lain, dan hanya dikerumunin oleh sekelompok orang di kampung dimana tukang jual obat tersebut berhenti. Sedangkan di kampung-kampung yang dilewati, orang cuek saja.
Padahal, jika tujuannya adalah pelestarian hukum adat yang menaungi SELURUH wilayah di Kepulauan Kei, maka seharusnya event ini dirayakan oleh seluruh penduduk Kei.
Yang kedua, jika event ini demi meningkatkan daya jual pariwisata, maka biaya yang dikeluarkan sangat jauh dari promosi yang bisa menarik minat investor, maupun turis. Rangkaian acara sangat miskin inovasi, tidak tepat waktu dan tidak jelas narasi-narasi yang ingin ‘dijual’ demi meningkatkan daya tarik daerah.
Yang terakhir, koordinasi demi pelaksanaan acara ini sangat tidak profesional, bahkan cenderung seadanya saja. Bayangkan, anak-anak dan orang tua bahkan tetua-tetua adat di beberapa kampung yang akan disinggahi napak tilas sudah menunggu dari pagi hari bahkan sudah menanti di tempat terbuka berjam-jam sebelum rombongan pejabat dan peserta napak tilas tiba.
Dari sini, saya mengambil kesimpula bahwa rangkaian acara yang dilakukan, yang minim persiapan dan miskin indikator keberhasilan ini hanya punya satu tujuan saja, yaitu eksploitasi demi kepentingan pencitraan tokoh, dan melanggengkan praktik politik pragmatis saja.
Sebagai anak Kei, saya kasihan dengan eksploitasi adat Kei demi kepentingan politik pragmatis penguasa saja, karena tidak ada acuan yang bisa dipakai demi mengukur keberhasilan acara ini, hanya sebagai pencitraan saja.

Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi