Oleh: Rusdin Tompo (mantan Jurnalis Radio, Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)
Bertanya merupakan pintu masuk kita mendapat informasi. Dengan bertanya, kita akan mendapat gambaran tentang apa yang ingin kita ketahui.
Dari situ, kita akan mendapat jawaban, paling tidak menurut sudut padang lawan bicara kita–atau narasumber, dalam konteks kerja jurnalistik.
Apabila kita tidak bertanya dan tidak mengajukan pertanyaan maka, kemungkinan, kita akan menduga-duga, berasumsi, dan mengambil kesimpulan sendiri tanpa konfirmasi.
Opini yang terbangun kemudian tidak memiliki pijakan yang kuat. Sebab, tidak ada basis rujukannya: siapa mengatakan apa. Bila itu terjadi, bisa-bisa malah meraba-raba, mengada-ada, atau u…
Beda lagi kala masih jadi host Beranda Pak RT di studio RRI Pro 1 Makassar (2016-2020). Sebelum masuk studio, dan on air, saya suka mengajak narasumber saya untuk ngobrol.
Ini bukan semata-mata sebagai sopan santun, tapi agar mereka lebih rileks sebelum masuk bilik siar. Pre interview ini juga penting bagi saya sebagai pewawancara untuk penggalian data dan pendalaman materi.
Biar nanti saat mengudara, saya lebih punya pemahaman dan lebih bisa indepth pada bagian yang menurut saya penting didalami, dan perlu diketahui pendengar.
Talk show dengan pewawancara (interviewer) yang hebat, semacam Larry King, Oprah Winfrey, Desi Anwar, Najwa Shihab, Andi F Noya, Wimar Witoelar dll, selalu punya daya pikat bagi penonton.
Pewawancara pada program-program acara serupa ini, bukan saja menghadirkan sebuah tontonan tapi juga tuntunan. Ada aspek informasi, edukasi, dan sudut pandang yang diberikan kepada kita sebagai pemirsa.
Dan kita terkadang dibuat terpukau oleh pertanyaan-pertanyaan yang kritis, berani, menohok, tanpa tedeng aling-aling.
Sebagai show, pertanyaan yang diajukan kadang terdengar lucu, naif, dingin, bahkan menyentuh sisi humanis yang membuat kita tersentuh. (*)
IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi