Ambon Dolo-doloPendapatSerba-serbi Ramadan

Cara Pintar Siasati Waktu Puasa, Pigi di Pante dan Mangael

SERBA-SERBI RAMADAN

Saat Ramadan, yang paling enak itu pigi mangael atau pi di pante, main-main air. Biar waktu seng terasa. Itu tips dan trik yang katong dapa sejak masih kacil.

Waktu beta masih anak-anak, era 70-an, katong sanang skali pi mangael pas bulan puasa. Kalo bukan pi baku iko deng sodara, kadang pi deng tamang-tamang, anak Air Putri, atau kadang juga beta pi deng tamang-tamang kelas, SD Negeri 7.

Ada beta pung tamang yang memang rumahnya pas menghadap pante. Tepatnya menghadap laut. Namanya Pieter. Pieter ini basudara 2 orang, dia pung adik namanya Alex. Dong dua satu kelas deng beta. Pieter termasuk yang posturnya tinggi di kelas. Mirip beta. Sama-sama pangkuku (jangkung) untuk ukuran anak SD.

Dong dua pung rumah ini kayaknya di OSM, yang kalau lewat blakang bisa tambus ke Gudang Arang, di wilayah Benteng. Di laut sekitar dong dua pung blakang rumah, ada dok kapal yang besar. Di situ juga ada kapal-kapal yang ditambatkan dengan tali kapal yang membentang panjang. Sepertinya, beberapa kapal yang dipaksa lego jangkar di situ, adalah kapal-kapal yang ditangkap lantaran kedapatan mencuri ikan di perairan Maluku. Biasanya, kapal Filipina, Taiwan, dan lain-lain. Beta jadi inga Bu Susi Pudjiastuti, yang punya semangat menenggelamkan kapal-kapal asing, penjarah kekayaan laut Nusantara.

Sebelum pi mangael, katong musti pi cari cacing dolo. Ada cara sederhana menemukan cacing. Kalau mau dapat cacing banyak, tinggal pi babongkar batu-batu di jiku-jiku (sudut-sudut) dinding rumah, yang tanahnya agak gembur. Dolo, masih dapat rumah dengan tanah gembur di sekitarnya, karena banyak rumah yang berdinding papan. Biasanya, cacing basambunyi di situ. Bagitu batunya diangkat atau digeser, cacingnya terlihat. Tinggal diambil dan ditaruh di dalam kaleng bekas.

Selain pake cacing, katong juga pake lading. Beta kurang tau persis namanya dalam bahasa Indonesia atau istilah latinnya. Lading ini mirip cacing tapi lebih pipih, badannya berlekuk-lekuk, dan berbulu halus. Panjangnya mungkin sampai 10 cm. Untuk mengetahui, apakah ada lading di suatu tempat, cukup dengan melihat permukaan tanah yang becek itu. Jika terlihat ada semacam gelembung udara yang muncul, maka bisa dipastikan ada ladingnya. Bisa jadi ladingnya lagi bernapas saat itu, hehehe.

Sepertinya, lading ini posisinya berdiri, berbeda dengan cacing, yang merayap. Dia hidup atau tinggal di dalam sarungnya. Uniknya, saat akan diambil, kadang tubuhnya terputus. Itu mungkin cara dia mempertahankan diri. Lading akan menarik tubuhnya ke dalam tanah, melalui sarung atau rumahnya itu. Jadi, kalau tidak sigap dan kurang mahir mengambilnya maka hanya sepotong yang didapat. Supaya ladingnya keluar, perlu dipancing dengan cara memeras santan atau daun pepaya.

Ritual mencari lading ini biasa dilakukan saat air laut surut. Tapi tantangannya bukan hanya harus menunggu air meti (surut) dan punya skill adu cepat dengan lading. Melainkan juga harus berhati-hati. Apa sebab? Karena banyak ‘ranjau’. Tahun-tahun itu, orang masih BAB di pantai dengan cara praktis. Rumah-rumah di pantai biasanya pung kakus (WC) gantung, yang ditempatkan ke laut. Pada saat air surut, akan dengan jelas terlihat kotoran manusia. Jadi ale bisa bayangkan, cari lading di area berbahaya seperti itu hehehe.

Nah, ini ada carita lagi, tapi bukan pi mangael, cuma masih berkaitan deng tamang Pieter itu. Suatu waktu, katong ada dapat kabar bae di kelas. Kalo seng salah, setelah pulang skolah, sesudah makan siang, beberapa anak laki-laki ke rumah Pieter. Tujuannya, katong akan ke salah satu kapal asing, yang mungkin hasil sitaan karena belum lama ditambatkan dekat dok (galangan kapal). Menurut info A1, ada gambar bagus, di salah satu kapal asing yang baru ditangkap.

Hari itu, hanya ada satu perahu kacil, jenis kole-kole. Itu pun perahunya bocor di bagian agak blakang. Jadi kalo ada beban, pas orang-orang naik, airnya akan merembes masuk lewat celah yang bocor itu. Tapi karena su niat, kole-kole itu tetap katong pakai. Katong tumpangi akang dengan tujuan ke kapal asing pancuri ikan tersebut. Meski perahu bocor, tapi katong samua semangat. Bergantian mendayung, dan tentu bergantian juga timba air yang masuk ke badan perahu.

Singkat carita, katong pung kole-kole tiba, dan langsung dipepetkan ke kapal asing yang dituju. Tiba di TKP, seperti ada yang kasi komando, katong bergantian ba’lur (mengintip) ke arah jendela kapal. Kapalnya seng talalu basar, jadi bisa melihat dengan mendongakkan kepala. Harus bergantian, karena air yang masuk kole-kole juga tarus ditimba supaya perahu seng tenggelam. Setelah ngintip, katong girang bacampur deg-deg ser. Tamang-tamang senang bisa lihat poster parampuan cantik dan seksi yang tertempel di kamar kapten.

Beta inga, itu kayaknya poster iklan Sony yang menampilkan perempuan dalam busana swimsuits. Mungkin itu poster promo produk yang dikemas supaya menarik. Untuk anak-anak kacil onosel seperti katong, kala itu, lihat gambar bagitu merupakan pemandangan langka. Walau lelah karena harus mendayung dan timba kasi kaluar air dari kole-kole, tapi katong pung capek terbayar hahaha.

Kembali ke mangael mania tadi, katong kadang pi sampai ke Pelabuhan Gudang Arang. Kalau pi mangael saat hari-hari biasa, di luar bulan Ramadan, biasanya katong bawa bakal: pisang dan roti tawar. Ini su cukup untuk ganjal perut. Di pelabuhan biasanya ada anak-anak penjual es. Jadi kalau haus deng pung kepeng (uang), tinggal panggil penjual esnya saja. Kalau roti tawar ketemu es manis di siang hari, bisa dibayangkan nikmatnya.

Tapi sangat menjengkelkan, kalau su lala mengael, yang makan umpan justru ikan gete-gete atau ikan poro bibi (ikan buntal). Dua jenis ikan ini paling galojo, dan jadi semacam musuh bersama para pemancing. Ikan gete-gete ini karena suka makan kotoran manusia. Makanya, ikan jenis ini biasa berkerumun di bawah WC-WC gantung warga. Seng heran kalau ada ungkapan, kaya ikan gete-gete untuk menggambarkan orang yang bergerombol sambil rebutan sesuatu. Sedangkan ikan poro bibi, dianggap beracun. Begitu ikan poro bibi ini kena mata kail maka akan dipegang, dicopot mata pancingnya lalu ditiup mulutnya. Begitu perutnya membesar (poro bibi), seketika itu juga dibanting. Lebih sadis lagi, kadang ditendang, dijadikan bola.

Kalau katong pigi ke pantai, tidak selamanya untuk urusan memancing. Kadang untuk pigi cari bia atau tiram. Bahkan hanya untuk sekadar cari kuli bia (cangkangnya) untuk dijadikan mainan. Cari bia, biasanya untuk dimakan, meski belum kenal istilah seafood saat itu. Bia yang biasa didapat adalah kerang dara, kerang bulu, kerang hijau, dan kerang simping. Hewan laut jenis moluska ini memang gurih, saddaaap.

Namanya juga mencari bia, biasanya cari-cari sambil bermain di pantai. Ada kejadian yang hampir bikin katong celaka. Suatu hari, katong menyisir pantai sampai ke arah Tana Lapang Kecil (Talake) blakang. Katong ada beberapa orang, termasuk beta pung kakak, Toto deng Ollang, deng ade kacil, Nano. Nano waktu itu mungkin masih balita. Dia iko katong, karena sebagai kakak-kakak, katong musti jaga dia. Kadang dia digendong atau di taro di punggung, istilahnya naik kuda. Karena masih kacil, katong bergantian kuda Nano.

Pas di pantai belakang Talake, katong diserang. Tiba-tiba batu malayang, tanpa tau sebab. Di darat, terlihat ada beberapa orang balempar ke arah katong. Akhirnya, katong berbalik arah, pulang. Tapi rupanya seng mudah. Karena lemparan terus berdatangan. Sialnya, bersamaan deng itu, air su mau pasang. Untuk menghindari hujan batu, mau seng mau katong ke arah laut. Air makin lama makin tinggi. Mungkin su sampe dada. Nano yang tadinya bapolo rapat di belakang, akhirnya dikasi naik di pundak. Sambil katong terus berjalan menjauh untuk menghindar.

Syukur jua, makin lama katong makin jauh dari anak-anak yang balempar itu. Mereka juga seng iko katong tarus. Meski katong samua selamat, tapi pakaian basah kuyup gara-gara bajalang dalam air laut yang sedang pasang. Bahkan ada yang sendalnya talapas dalam air. Dia terpaksa merelakan karena mustahil tunduk cari akang itu sendal. Beruntung, seng ada yang terkena lemparan batu. Carita ini katong simpan rapat, karena kalau orang tua tau, pasti dapa marah. Malah, bisa-bisa dapa pukul lai. Jadi, benar kalau ada pepatah bilang: diam itu emas.

Makassar, 18 April 2021

192194 3720021804724 943422882 o

Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar, kelahiran Ambon)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button