“Kalu soal rai-rai, seng ada yang lawan ale lai” (=anda memang hebat dalam memperkirakan sesuatu). “Ilmu kira-kira” (=dugaan) merupakan semacam bentuk logika awal dalam filsafat kebudayaan masyarakat di Maluku. “Beta kalu rai tetap seng kets” (=dugaan saya tidak pernah meleset). “Kalu beta su taru kira, itu jadi sa, seng balari sacubi uing lai” (=bila sudah saya perkirakan, pasti benar, tidak keliru walau sekecil apa pun).
“Nanaku” (=kemampuan menanda) “lia tanoar” (=memahami tanda/kode alam) merupakan kemampuan-kemampuan analisis secara dasariah yang terjadi seturut pengalaman yang berulang-ulang sehingga tanda itu sudah diyakini sebagai kode tentang kebenaran dari sesuatu.
“Apalai pas ada bilang apapa lalu cicak bataria, musti capat toki-toki meja, itu batul sudah, seng kets lai” (=apalagi jika sedang membicarakan sesuatu kemudian ada suara cecak, berarti hal tersebut benar, tidak salah lagi). Semua itu lalu membentuk keyakinan atau rasa percaya awal, orang Enggres bilang sens of bilif (sense of believe), “parcaya seng parcaya, parcaya te, la barang batul nih“.
Jadi dari pengalaman dengan seseorang kita biasa memahami hal-hal detail tentangnya, termasuk “dia suka kler apa” (=warna kesukaannya), bahkan bila sudah terlampau dekat ibarat “makang sapiring, tidor sabantal” (=makan sepiring, tidur sebanta), biasanya dibilang “jang sampe se bicara, banapas lai beta su tau” (=tidak perlu sampai berbicara, helaan nafasmu pun saya sudah paham maksud/pesannya). Jadi kedekatan itu benar-benar mendalam sehingga kualitas pengenalan begitu mendalam.
Bahkan di kebun, kita bisa menandai siapa yang sudah berjalan lebih awal dengan melihat “talapak kaki di tana” (=tapak kaki) atau “suara huele” (=cara berseru/menyapa dalam jarak jauh). Begitu pula mengenal perahu di tengah laut atau warna dayung, “capeu” (=topi di kepala) atau “botol lobe” (=suluh).
Semua tanda itu sudah menjadi semacam “malakat deng badang” (=simbol identitas) yang tidak bisa dipisahkan dari diri orang itu sehingga memang tidak salah ketika tanda itu menunjuk langsung ke orang itu, baik terlihat secara langsung atau tidak. Sering ada ucapan begini: “he, la ini bakol di sini ni, akang orang di mana?” (=ini ada bakul, tapi dimanakah orangnya?) Ucapan itu menerangkan bakul itu milik seseorang yang pasti kita kenal tetapi orangnya tidak ada di tempat bakul itu terletak. Barang kepunyaan pun secara tegas menunjuk pada pemiliknya.
Dalam hal ini si pemilik atau seseorang yang kita kenal selalu melakukan sesuatu dengan caranya yang biasa, tidak berubah, sebagai pesan bahwa “beta ni suda” atau “ini beta ni” (=inilah aku). Lalu kita sering meyakinkan diri dengan berkata: “iya ale, dari slak sa beta su tau ale tu sapa” (=ya, dari caramu aku tahu siapa engkau).
Kamis, 8 April 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi