Oleh: Revaldo Salakory
Dosen Program Studi Sejarah, Universitas Pattimura, dan Alumni Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga.
Tulisan ini membahas tentang Baileo (rumah adat) di Maluku, simbol rumah adat, menjadi ruang yang menjembatani hubungan kekerabatan pela gandong. Penulis sebelumnya yang membahas tentang Baileo antara lain: Salhuteru, menurutnya rumah Baileo tidak difungsikan sebagai rumah tinggal, melainkan hanya digunakan pada pelaksanaan acara adat atau keagamaan. Berdasarkan fungsinya, maka Baileo kurang lebih sama dengan kata balai dalam bahasa Indonesia (Salhuteru, 2015).
Namun dalam artikel Salakory, Baileo memiliki konsep sakralitas, sebab dalam rumah adat tersebut merupakan ruang perjumpaan dengan roh leluhur misalnya acara panas pela, acara pelantikan raja, pamoi, tomanusa dll (Salakory dkk, 2020).
Berdasarkan dua penulis di atas, dapat lihat bahwa Baileo dan balai desa memiliki fungsi yang sama, namun memiliki perbedaan. Baileo bagi masyarakat Maluku adalah ruang menghidupkan sejarah lisan dari kepercayaan masyarakat lokal.
Pada masa konflik konflik agama di Maluku, dapat dilihat bahwa konflik tersebut terjadi dalam ranah publik. Sehingga ruang publik menjadi arena peperangan saudara yang menimbulkan kesedihan antar basudara salam-sarane di Maluku.
Dalam konsep Habermas mengenai ruang publik terbagi menjadi dua bagian salah satunya, publik bourjuis, menurutnya keinginan untuk menempati posisi lebih tinggi dari yang lain bukanlah status, pangkat, harta, atau keturunan, melainkan argumen yang lebih baik. Hal inilah yang terjadi di Indonesia sekarang ini, “perang doktrin” mengenai ideologi kebenaran sepihak membuat terjadi disintegrasi masyarakat.
Ketika konflik antara agama di Maluku, agama seakan-akan kehilangan marwah sebagai lembaga yang mewartakan tentang kebenaran. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sumanto Al-Qurtuby, “kelompok Kristen yang ramah dan toleran terhadap keragaman budaya dan agama lokal Nusantara. Sebagian dari mereka membangun dialog dengan para penganut agama dan kepercayaan lokal dengan semangat pluralisme atau kemajemukan tanpa berusaha menjadi “kelompok superior” (merasa diri yang paling benar) dan memandang umat lain sebagai “kelompok inferior” (salah dalam berteologi). Kelompok model ini biasanya berusaha memahami kekayaan, keunikan, dan kearifan masing- masing agama dan/atau kepercayaan” (Bawono dkk, 2020).
Teong Negeri dan Baileo Haya, Hatu, Tehua
Berdasarkan cerita para leluhur, simbol fisik Teong Negeri salah satunya ialah Baileo. Masyarakat memandang Baileo sebagai sejarah yang berbentuk fisik, maka dari itu dianggap sakral karena tempat tersebut berkaitan dengan roh para leluhur. Bagi ketiga negeri ketika melaksanakan pertemuan pela gandong, mereka menggunakan Baileo dari negeri Hatu untuk melaksanakan upacara adat dan pertemuan antara ketiga negeri.
Dalam kehidupan masyarakat pela gandong dari keempat negeri, kehidupan saling membantu telah menjadi kebiasaan yang sering dilakukan oleh negeri Haya, Hatu, Tehua dan Wassu. Pada bagian ini penulis akan mengkaji tentang data hasil penelitian yang didapatkan di lapangan.
Hal menarik yang didapatkan ialah tentang Baileo (rumah adat). Baileo merupakan tempat musyawarah dan pelaksanaan ritual adat misalnya pertemuan pela gandong dan pelantikan raja. Namun pada konteks sekarang, banyak sekali negeri adat di Maluku sudah tidak memiliki Baileo. Khususnya kedua negeri pela gandong dari Hatu dan Wassu yaitu Haya dan Tehua. Meskipun mereka tidak lagi memiliki Baileo, namun bagi kedua negeri menganggap Baileo dari pela gandong yaitu Hatu milik bersama. Sesungguhnya ketiga negeri ini sendiri memiliki Baileo atau rumah adat akan tetapi bagi kedua negeri adat Haya dan Tehua sudah tidak memilikinya, hanya Hatu yang masih memiliki Baileo.
Berdasarkan pada hasil wawancara dapat dilihat bahwa ada beberapa kemungkinan sehingga kedua negeri ini tidak lagi memiliki Baileo. Pertama berdasarkan cerita oleh orang tua, menurut Haris Key, zaman dulu Baileo negeri Haya itu ada akan tetapi sekarang sudah tidak ada.
Hal ini dikarenakan untuk pembuatan Baileo terkhususnya di negeri Haya, kayu yang digunakan untuk pembuatan Baileo atau rumah adat haruslah diambil di kepala air masiwang yaitu di Seram bagian timur. Ini sangat sulit dilakukan karena untuk mengambil kayu tersebut harus menempuh jarak yang sangat jauh. Apalagi ada satu pantangan bahwa untuk mengangkutnya tidaklah boleh menggunakan jasa angkutan, akan tetapi perlunya kerjasama setiap negeri yang berada di seluruh Teluti untuk membantu.
Kayu yang diambil dari Seram Timur itu harus dipikul secara bergantian. Inilah yang membuat negeri Haya tidak memiliki Baileo sebagai masyarakat adat. Kemungkinan berikut, adanya unsur keagamaan yang sehingga beberapa negeri di Maluku, Kristen-Islam, tidak memiliki Baileo atau rumah adat.
Hal yang menarik dari ketiga negeri yang berada dalam wilayah Tellutih ini antara lain, ialah setiap acara adat pela gandong maka digunakan Baileo negeri Hatu sebagai tempat berkumpul. Berdasarkan hasil wawancara, bagi Haris Key, meskipun negeri Haya tidak memiliki Baileo akan tetapi Baileo dari saudara kami di negeri Hatu digunakan untuk pertemuan kami ketiga pela gandong. Sama halnya dengan Umar Ulayo, yang mengatakan bahwa, “kami negeri adat meskipun kami tidak memiliki Baileo, namun kami anggap Baileo dari saudara kami adalah milik kami juga”.
Dapat dilihat bahwa Teong Negeri dan Baileo bukan hanya dilihat dari segi fisik, akan tetapi pemaknaan atas nilai-nilai sejarah persaudaraan, telah menjadi dasar masyarakat yang memiliki ikatan pela gandong. Hal ini tergambar dalam relasi yang dihidupkan oleh ketiga negeri pela gandong Haya, Hatu, dan Tehua. Dengan demikian, Baileo merupakan tempat suci yang memiliki nilai persaudaraan bagi setiap masyarakat adat di Maluku.
Peran Migran Buton di Seram Selatan
Berdasarkan data dapat dilihat bahwa warga keturunan Buton (Sulawesi Tenggara) diberikan kesempatan untuk berbagi wilayah petuanan. Penerimaan terhadap masyarakat dari luar dikarenakan narasi orang tua terhadap generasinya, untuk hidup sebagai masyarakat yang memiliki nilai (value). Nilai tersebut menjadi dasar agar seluruh masyarakat dapat berinteraksi dalam suatu wilayah komunal. Sehingga melampaui batas-batas identitas yang melekat dalam diri.
Alexis De Tocqueville dalam pandangan terhadap masyarakat aristokrasi yang melakukan hubungan timbal-balik, yang adalah bagian dari hukum kemasyarakatan; dan tuntutan kewajiban sosial ini dan bukan karena urusan kemanusiaan. Kaum aristokrasi hanya melakukan kewajiban membantu sebagai tuan dan budak, akan tetapi tidaklah dengan ketulusan hati, sebagaimana manusia yang membantu manusia lainnya (Tocqueville, 2005).
Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Islam dan Kristen Dinamika Pascakonflik dan masa depan perdamaian di Ambon. Membedakan antara “Buton Kultural” dan “Buton Pedagang”. Menurutnya, Buton Kultural merujuk kepada etnis Buton yang sejak ratusan tahun lalu bermigrasi ke Ambon. Mereka biasanya didatangkan dari daerah asal mereka di Sulawesi Tenggara oleh pemerintah kolonial Belanda dan dipekerjakan sebagai budak di Ambon (Al Qurtuby, 2018).
Dalam tulisan saya sedikit berbeda berdasarkan temuan penulis ketika melakukan penelitian di pulau Seram Selatan – Maluku Tengah. Penulis melihat di Negeri Haya sendiri, terdapat para pendatang dari Sulawesi, yaitu masyarakat Buton yang sudah berada 90-an tahun bermukim Negeri Haya, Hatu dan Tehua.
Meskipun mereka adalah pendatang, namun mereka ikut berpartisipasi dalam kehidupan kekerabatan bersama dengan masyarakat Haya, Hatu dan Tehua. Misalnya acara pelantikan raja di Negeri Haya dan Negeri Wassu pada 19 Oktober 2019 lalu, melaluin adanya bantuan-bantuan material yang disumbangkan demi kelancaran kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, mereka juga menghargai negeri-negeri yang memiliki hubungan pela gandong dengan Negeri Haya tempat mereka tinggal.
Masyarakat Haya sendiri memandang mereka sebagai bagian dari negeri tersebut, karena itu mereka perlu menghormati kebudayaan di negeri tempat mereka tinggal. Hal ini dapat dilihat bersama ketika adanya kegiatan pencarian dana yang dilakukan oleh Negeri Wassu (Erihatu Samasuru). Masyarakat Buton juga ikut berpartisipasi bersama-sama sebagai bagian dari masyarakat Negeri Haya (Nakajarimau).
Indonesia kaya dengan budaya yang di rekonstruksi dalam kebhinekaan, sehingga meskipun berbeda tapi tetap satu dalam kemanusiaan. Isu politik identitas seyogiyanya tidak mampu menghancurkan kesatuan di negara tercinta. Belajar dari kehidupan masyarakat Maluku, simbol adat Baileo memiliki nilai sejarah. Maka perlu dilestarikan melalui lisan lintas generasi. Dengan demikian dalam konteks dewasa ini Baileo tentu warisan leluhur yang membantu masyarakat menghadapi perubahan sosial di Indonesia.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi