Oleh: Eltom (Pemerhati sosial)
“Dengarlah titah. Titah dari bapa Raja. Eso pagi samua orang, mulai dari anana, jujaro mungare, orangtatua kaluar par karja bakti negri.”
Itu suara Marinyo yang selalu didengar setiap malam di negeri-negeri adat ketika ada suatu pekerjaan yang hendak dilakukan. Titah itu adalah titah seorang raja yang merupakan simbol kehormatan rakyatnya.
Tidak perlu sampai ia berprintah, cukup dititipkan melalui Marinyo maka titahnya dituruti rakyat dengan segenap hati.
“Asal Tuan bertitah, beta turut printah”. Ungkapan itu lahir dari rakyat yang merasa rajanya selalu ada dan hidup bersama mereka. Segala titahnya dituruti sebagai wujud kecintaan kepada raja dan negeri.
Semasa saya melayani sebagai Pendeta di Jemaat Rumahtiga, saat acara adat tiga negeri gandong: Wakal-Hitu Messing-Rumahtiga (2011), saya melihatnya pada sosok Raja Hitu Messing sebagai sosok yang dihormati rakyatnya dan segala titahnya mereka turuti.
“Asal Tuan berprintah, beta turut di muka”, ungkapan ini sudah menunjuk pada tingkat tertentu di atas ungkapan pertama tadi.
Bahwa apa pun perintah raja, rakyatnya selalu siap di muka (=depan) sebagai simbol mereka bersedia menjadi “pampele” (tameng) yang melindungi raja sebagai simbol kehormatan negerinya.
Tahun 2008, saat Panas Pela Tuhaha-Rohomoni di Tuhaha, sosok itu muncul pada Raja Adat (=Raja Gunung) Tuhaha, Max Aipassa, yang dikawal kapitang-kapitang dan pasukan cakalele negeri Beinusa Amalatu saat menyambut saudara pelanya dan dalam seluruh prosesi ritus adat.
“Tagal Tuan hidop lurus, Tuan di muka, beta su somba”, ini ungkapan tentang raja yang berkharisma. Rakyat melihat pada pola dan laku hidupnya. “Raja hidop lurus” (=jujur, benar, adil), tanpa berprintah, ia dihormati rakyatnya.
Sebab ia membela rakyatnya dengan segenap hati, menyelesaikan masalah rakyatnya, termasuk “soal sipat tanah” (=batas tanah) dengan adil. Raja seperti ini mengenal seluruh “jiku-jiku negri” (=seluruh petuanan, bahkan nama dusun) termasuk “akang pung salekar-salekar alus lai” (=hal-hal kecil yang tidak tersingkap). Ia mengenal rakyatnya, dari “turunan pertama sampe ana cucu cece yang ada oras ini” (=dari leluhur sampai generasi saat ini). Ia dapat menjelaskan suatu hal dan memberi jalan keluar yang bijaksana.
Kharisma itu membuat namanya harum sampai kapan pun dan kepemimpinanya melahirkan kebanggaan semua anak negeri. Dalam jumpa dengan Jou Ngofa Hidayat di Kedaton Ternate, sungguh ia menceritakan sosok para Kolano Ternate yang memancarkan “cahaya hati” dan benar-benar dicintai rakyatnya. Kolano-kolano yang mampu memikat hati rakyat karena keluhuran hati mereka karena mereka benar-benar lahir dari rakyatnya sendiri.
Raja/pemimpin dengan kharisma seperti itu membuat namanya abadi di hati dan hidup rakyatnya dan disegani orang lain.
Bri hormat par tuan raja!
Kotamahu, Wailela, Rumahtiga
Jumat, 26 Maret 2021
Elifas Tomix Maspaitella (Eltom)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi