Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-19 dari tulisan bersambungnya.
Tanggal 30 Maret 2020, jam 12 malam. Meskipun sudah berusaha menutup mata, saya sulit tertidur. Sejak pulang dari New York, saya memang mengalami kesulitan tidur pada malam hari. Jetlag? Bisa jadi.
Setiap pulang dari perjalanan antarbenua, terutama dari bagian Utara dunia, saya pasti akan mengalami kesulitan tidur. Perbedaan siang dan malam mengganggu jam biologis. Kemungkinan lain, kesulitan bernafas membuat saya sulit tertidur. Bisa juga, khawatir tidur “bablas” adalha penyebab utama mata saya sulit terpenjam.
“Mas bisakah saya dikasih obat tidur?” tanya saya pada petugas medis yang memasang kateter dan sungkup nafas. Perawat itu sudah hampir berjalan keluar dari ruang ketika saya menghentikan langkahnya dengan pertanyaan itu.
Sejak tiba di Salatiga tanggal 19 Maret itu, supaya terlelap, saya harus minum obat tidur kecil berwarna kuning. Tidur ini memang bukan hanya memejamkan mata, tetapi soal merilekskan pikiran. “Saya harus berkonsultasi dengan dokter dulu,” jawab pertugas tadi. Entah obat apa yang diberikan, saya bisa tertidur malam itu.
“Selamat pagi. Sarapan dulu yah Mas,” kata perawat medis ketika membuka pintu kamar. Petugas berbaju pelindung diri (APD) lengkap berwarna putih dengan sepatu boots karet berwarna kuning, sarung tangan, masker dan helm penutup wajah berwarna kuning. Nampan makan diletakan di atas meja, persis di samping tempat tidur saya.
Nampan putih berisi nasi dan beberapa lauk. Di samping makan itu ada obat dalam plastik biru. Ada tulisan RSUP Dr Kariadi pada kemasan platik obat itu. “Selamat pagi, terimakasih,” jawab saya. “Nanti setelah makan, obatnya diminum yah,” jelas perawat tadi sambil keluar dari dalam ruangan.
Seperti pagi-pagi sebelumnya saya berdoa sebentar kemudian makan. Plastik makanan saya buka. Sendok pertama masuk ke mulut saya. Masih sama, hambar. Makanan tidak berasa sama sekali. Virus Covid-19 masih membuat lidah saya tidak bisa mengecap rasa. Saya tetap berusaha memaksa diri makan. Hampir setengah dari makan itu saya habiskan. Sendok demi sendok masuk ke mulut saya bukan karena rasa makanan, tetapi dorongan bertahan hidup.
Plastik obat berwarna biru saya buka. Beberapa pil yang tidak saya kenal berpindah ke tangan. Air minum mineral yang Billy beli beberapa waktu masih ada. Masih sempat dibawa ke dalam ruangan ini. “Tuhan tolong saya. Engkaulah tabib yang benar,” doa pendek saya dalam hati sebelum minum obat.
Kata tabib yang benar ini juga berasal dari doa-doa orang tua pada masa kecil saya. Frase “tabib yang benar” keluar lagi dari memori pergumulan bersama orang tua. Sekali lempar ke dalam mulut, dengan seteguk air, semua obat tadi sudah berpindah ke perut saya.
Saya sama sekali tidak menggunakan toilet pagi itu. Rasa untuk mengeluarkan isi perut tidak ada sama sekali. Tidak ada kegiatan sikat gigi juga pagi itu. Kateter sudah terhubung dengan kantong penampung air seni. Sulit sekali berjalan dengan kateter dan kantong itu. Lagipula, badan saya terlalu lemah untuk berjalan ke kamar mandi. Betis dan bagian lain kaki terasa letih dan lemah untuk sekedar melangkah lima meter saja.
Setelah minum obat, saya coba untuk tidur sebentar. Selimut rumah sakit saya tarik ke atas. Lumayan untuk membuat saya tidak kedinginan karena air conditioner (AC) di dalam kamar itu. Barangkali bukan karena dinginnya AC saja.
Saya memang masih demam dan panas-dingin masih melekat pada tubuh saya. Virus ini masih membangun koloni di dalam paru-paru dan mungkin bagian lain dari tubuh saya. Tertidur sebentar saja saya waktu itu. Obat bekerja, saya bisa sedikit memenjamkan mata.
Saya terbangun ketika perawat medis tadi masuk lagi ke dalam ruang. Mata saya buka ketika perawat itu merapat ke tempat tidur saya. “Sudah selesai makan dan minum obat?” tanya perawat itu. Saya mengangguk kepala sambil mengarahkan kepada ke tempat nampan makanan. Saya hanya memberikan jawaban melalui
isyarat dengan anggukan dan arah kepala.
“Kita tensi dulu dan cek suhu dulu,” kata perawat tadi sambil mengambil alat tensi dan thermometer. Alat tensi dipasang pada tangan dan thermometer ditaruh di ketiak saya. “Panas masih tetap tinggi,” jelasnya. Petugas medis itu tidak mengatakan apapun tentang hasil tensi. Virus Corana 19 ini memang membuat penggumpalan darah yang menyebabkan tekanan darah meningkat. Berapa angkanya saya tidak berani liat.
“Kata dokter, hari ini harus pasang ventilator yah Mas,” kata petugas medis. “Baik Pak, jawab saya. Saya tidak paham apa itu ventilator. Meskipun sudah puluhan tahun tinggal serumah dengan tenaga kesehatan, Retno, saya sama sekali tidak tahu alat apa itu, ventilator. “Supaya bisa sembuh,”pikir saya waktu itu. Apapun boleh
dilakukan tim kesehatan asal saya bisa sembuh. “Saya percaya pada dokter dan perawat. Mereka lebih tahu,” kata saya dalam hati sambil menjaga kepala terus berpikir positif.
‘Siap-siap dulu yah Mas. Saya tinggal dulu,” kata perawat itu sambil menutup pintu ruangan. “Retno harus saya kabari,” pikir saya. Telpon genggam saya ambil dari atas meja di samping tempat tidur. “Gimana? Sudah makan dan minum obat?” tanya Retno. “Dikasih obat apa sama rumah sakit?” lanjut Retno tanpa jeda.
“Sudah makan dan minum obat, tapi aku ga tahu obat apa yang dikasih,” jelas saya. “Kamu sudah makan? Anak-anak gimana?” saya balik bertanya. Retno menjelaskan mereka baik semua. Tadi malam sebelum tidur, mereka berdoa untuk saya. “Jessy yang mimpin doa dan Jenny bilang I miss Daddy,” kata Retno.
“Tadi perawat datang, kata dokter, aku mau dipasangkan ventilator. Ventilator itu apa? Nanti dipasang di mana? Fungsinya apa? Sakit ga?” tanya saya bertubi-tubi. “Oh, OK,” jawab Retno tertahan. Dia berhenti bicara beberapa detik. Terdengar di balik telpon itu, Retno menarik nafas panjang. Dengan sabar, pertanyannya saya dia jawab satu-satu.
Retno sudah tahu, alasan saya dipindahkan dari rumah sakit Kaki Merbabu ke RSUP Dr Kariadi karena soal ventilator. Rumah sakit Kaki Merbabu belum punya ventilator untuk pasien Covid-19. Maret 2020 itu memang belum semua rumah sakit dan tenaga medis siap menghadapi pandemi global ini. Dia tahu alasan itu, tetapi berharap saya tidak dipasangkan ventilator. Sebagai tenaga medis, dia tahu apa dan bagaimana ventilator. Dia sangat paham apa resiko menggunakan ventilator.
“Supaya bisa sembuh, memang, harus pasang ventilator,” jelas Retno. Informasi Retno pagi itu sangat positif tentang ventilator. Saya yang tidak paham apa, bagaimana dan resiko ikutannya sangat optimis menggunakan ventilator pagi itu.
Secara psikologis saya sangat siap. Ketidaktahuan tentang ventilator membantu saya melihat alat bantu nafas itu sebagai satu-satunya harapan hidup. Ketika mau berangkat memang perawat di rumah sakit Kaki Merbabu dan Retno sudah menjelaskan alasan saya dirujuk ke RSUP Kariadi supaya mendapat alat bantu pernafasan yang lebih baik. “Syukurlah bisa dipasangkan ventilator,” pikir saya. Sekali lagi, tanpa tahu apa ventilator itu.
“Tidak apa-apa kan? Kita pasti bisa lewati semua ini kan?” tanya saya kepada Retno, sambil berharap mendapat dukungan positif. “Kita sangat bisa melawati semua ini. Tuhan bersama kita,” tegas Retno. Saya meminta Retno berdoa bersama untuk proses pemasangan ventilator itu. “Tuhan kami tahu Tuhan akan membawa kami keluar dari lembah kekelaman ini. Kami yakin Tuhan memakai ventilator ini sebagai alat kesembuhan,” doa Retno kira-kira begitu.
Pagi itu adalah saat di mana Retno memagang tangan saya dari jauh. Sikap positifnya menjadi genggaman tangan. Genggaman tangannya kuat sekali. Seperti tidak ingin melepaskan saya. Doanya adalah pelukan. Di saat kritis itu, doanya menghangatkan saya dari dinginnya harapan. Doa dan tanggapan positifnya menjadi
modal penting menghadapi ventilator yang misterius itu.
Saya meminta Retno untuk bervideo call dengan anak-anak. “Hi bapak,” kata Jessy dan Jenny di balik layar telpon. “Cepat sembuh yah,” kata mereka sambil tersenyum. Rasanya ingin sekali memeluk mereka pagi itu. Pingin cium pipi mereka dan bilang I love you. Senyum mereka adalah kekuatan. “Bapak pasti pulang. Tuhan
pasti tolong,” balas saya.
“I love you soooo, very much. Sampe di Jantong Hati” kata saya menutup video call bersama mereka. Sejak kecil, saya mengajarkan mereka untuk menggunakan frase “sampe di Jantong Hati,” untuk menegaskan betul-betul saya.
Frase ini adalah warisan turun temurun keluarga kami dan banyak keluarga lain di Ambon. Tidak ingin saya melihat mereka bersedih. Mereka tidak boleh tahu, bapaknya sedang berada dalam batas kehidupan dan kematian.
Meskipun Retno dan anak-anak memberikan semangat hidup, saya sudah mulai siap-siap jika pagi itu adalah pagi terkahir. Mama, Kaka De dan Kaka Eda saya telpon. “Nyong kuat eee,” kata Mama setelah berdoa. “ Om pasti bisa,” sambung Kaka De. “Ade jangan takut. Tuhan bersama,” lanjut Kaka Eda. Saya merasa mendapat
kekuatan dari Solo dan Ambon.
“Tuhan jadikah kehendakmu,” saya mulai berserah saja. “Saya tahu Engkaulah benteng dan dewala,” begitu doa saya dalam lirih. Sambil menunggu petugas datang, saya mulai mempersiapkan diri sendiri. Saya masih sama sekali tidak tahu apa itu ventilator. Berpikir positif, tetapi mulai siap-siap juga. Setelah telpon dengan saya, Retno meminta anak-anak keluar dari kamar. Jessy dan Jenny diajak keluar kamar oleh Yangti (Nenek) mereka. Kebetulan jarak antara kamar kami di rumah Bapak-Ibu Mertua dengan rumah utama, sekitar 10 meter.
Ketika bertelpon dengan saya, waktu mengabarkan saya akan dipasangkan ventilator, Retno sangat positif dan kuat. Dia menjadi sandaran saya waktu itu. Ketika berada di kamar sendiri, dia menangis sejadi-jadinya. Dia berdoa lagi, sendiri, dan menangis di dalam kamar. Sebagai tenaga medis, dia tahu kesempatan hidup saya hanya 17 – 20 persen. Peluang hidup yang sangat kecil bagi suaminya, bapak dari dua anak kecil dan bayi dua bulan di dalam kandungannya.
(bersambung besok)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi