PendapatMalukuSeram Bagian Barat

Spiritual Damai Jawa – Maluku di Waihatu Seram Barat

PENDAPAT

Oleh: Joberth Tupan, Mahasiswa Doktoral Program Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga


Kerentanan spiritual merupakan salah satu penyebab terciptanya tindakan ekstremisme bahkan terorisme mengatasnamakan agama di Indonesia. Robert Hefner (2010) mengakui bahwa ajaran agama sengaja dimanipulasi para aktor ekstremis untuk tidak berkomitmen dengan demokrasi, sehingga melahirkan spiritual destruktif di kalangan umat beragama.

Kini, diskursus spiritualitas telah mengalami pergeseran  dari dimensi transendensial ke relasional. Karena itu, orang tidak beragama pun memiliki spiritualitas apabila ia mampu membangun relasi sosial harmonis dengan orang beragama  (Wigglesworth 2014).

Korelasi antara yang trasendensial dan relasional adalah sama-sama lahir dari kecerdasan spiritual.  Kecerdasan spiritual (SQ) mampu mengontrol kecerdasan emosional (EQ) dan intelektual (IQ) sebagai motivasi individu untuk berbuat kebaikan (Zohar dan Marshall 2000), termasuk dalam beragama.

Beragama dengan kecerdasan spiritual tidak hanya tentang skriptual. Usaha memahami agama dalam berteologi secara skriptual melalui  teks kitab suci atau tulisan para teolog klasik dan modern justru memenjarakan orang  dalam kuasa tinta (Lattu 2020). Diperlukan sebuah pendekatan lain yang bersifat etnografis, agar perasaan bersama umat berbeda agama saling terhubung (lihat juga Lattu 2019, 2020). Keseriusan memahami agama secara skriptual tanpa kecerdasan spiritual agaknya membelenggu orang dalam bayang-bayang radikalisme, dan berakhir dengan segregasi imajiner terhadap agama lain.

Pada level kuantum, spiritualitas membantu relasi antar manusia sebagai harmoni sosial di luar dunia material. Dengan kata lain, kontemplasi sosial dan pengalaman inderawi terhadap alam semesta merekonstruksi masyarakat untuk menyadari kesucian ruang sosial.

Kesucian ruang sosial sebagai rekonstruksi masyarakat mampu terwujud apabila pengakuan dan perayaan terhadap keragaman dimaknai mendalam sebagai kekhasan masyarakat di Indonesia. Pluralisme sebagai suatu kekhasan di Indonesia ditandai dengan etnisitas yang fleksibel. Mobilisasi komunitas dan perjumpaan budaya antara komunitas berbeda etnis dan agama melalui proses (trans)migrasi dirasakan mampu menciptakan ruang sosial, di mana kecerdasan spiritual menambah dimensi kesuciannya.

Melalui tulisan sederhana ini, saya akan menceritakan sedikit pengalaman penelitian di Pulau Seram, tepatnya di Desa Waihatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, tentang bagaimana spiritual damai Jawa-Maluku terkonstruksi dalam ruang hidup multietnis, antaragama dan multikultural.

Belajar Damai Kepada Migran Jawa di Waihatu

Sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, kerentanan spiritual merupakan salah satu penyebab kerentanan lainnya, termasuk kemunculan ekstremisme beragama. Melalui hasil penelitian di Waihatu sejak tahun 2017, saya menemukan konstruksi spiritualitas yang saya sebut “spiritual damai Jawa-Maluku”.

Waihatu merupakan salah satu desa transmigrasi di Maluku yang ditempati oleh 90% migran Jawa Islam, sisanya adalah migran multikultural beragama Islam-Kristen. Waihatu bersebelahan dengan tiga negri (baca: desa) Kristen, yaitu Hatusua, Waisamu dan Lohiatala. Melalui penelitian di Waihatu, saya menemukan sedikitnya tiga situasi kunci yang menjelaskan kemunculan spiritual Jawa-Maluku.

Pertama, historisitas toponim (baca: penamaan desa) Waihatu terbentuk oleh pengalaman spiritual-geososiologis pada tahun 1975. Melalui hasil wawancara, saya menemukan dua kisah yang melatarbelakanginya. Kisah pertama menceritakan bahwa toponim Waihatu adalah sebuah proses akronimisasi ruang sosial dari desa Waisamu dan Hatusua (WaiHatu) – komunitasnya merupakan penjamin sosial saat itu.

Sedangkan, kisah kedua menceritakan toponim Waihatu sebagai proses adaptif ruang kebumian Maluku secara kejawen; sungai Nala dan telaga sagu-sagu menjadi pembatas desa (karena air menjadi batas wilayah maka mereka menggunakan bahasa tradisional orang Seram Barat wai [air]) dan; kedatangan migran Jawa ke pemukiman baru bertepatan dengan bulan Apit (bulan tersebut bagi orang Jawa identik dengan elemen tanah sehingga diteritorialisasikan secara Maluku menjadi hatu atau batu).

Kedua, Waihatu adalah salah satu desa yang damai pada era konflik komunal 1999 di Maluku. Migran Jawa Waihatu juga berperan sebagai aktor perdamaian dalam konflik komunal di Maluku. Matheos Sutarly (alm), seorang Kristen, kejawen dan Pancasilais yang mengakui dirinya sebagai wong Jawa asli Seram (masyarakat Seram etnis Jawa) merupakan penggagas ikrar damai bersama.

Diakui oleh beberapa kerabat terdekatnya, pengikraran damai bersama yang dilakukan di Waihatu dipengaruhi oleh pengetahuan Sutarly tentang seduluran saklawase (kekerabatan tanpa batas) – yang berfungsi untuk memastikan migran Jawa Islam Waihatu terhindar dari ketakutan. Sutarly juga menggunakan kosmogoni Nusa lna (pulau ibu) kepada orang Kristen di Seram agar tetap mempertahankan sakralitas folklore tersebut, tidak hanya secara relasional antara sesama orang Maluku tetapi juga dengan etnis lain.

Ketiga, migran Jawa Waihatu tidak hanya berlatarbelakang Islam kejawen (mereka menolak disebut abangan karena tidak memahami terminologi tersebut) tetapi juga santri. Kelompok-kelompok tersebut mudah dikenali karena setiap musholah di Waihatu mewakili eksistensi mereka, sekaligus menjadi tempat berjumpa secara intensif.

Namun demikian, satu hal yang mengintegrasi mereka sebagai orang Jawa diaspora adalah falsafah kejawen sebagaimana tepa salira (empati), nrimo ing pandum (menerima pemberian dengan kerja keras) dan memayu hayuning bawana (memperindah dunia fisik dan spiritual). Selain itu, ritual ataupun festivitas kejawen dalam ruang publik di Maluku – tentu saja melibatkan tradisi Maluku sebagaimana makan patita – menjadi satu-satunya fase perjumpaan secara  liminal tanpa membedakan agama maupun aliran keagamaan.

Melalui ketiga temuan empirik tersebut, secara singkat dapat disimpulkan, spiritual damai Jawa-Maluku merupakan perwujudan kesucian ruang sosial. Lanskap spiritual orang Maluku secara fisik terintegrasi dengan kosmologi orang Jawa tentang falsafah. Mereka pada akhirnya menampilkan citra desa transmigrasi tidak sebagai arena yang memproduksi etnosentrisme atau radikalisme, tetapi sebagai ranah sipil berbasis solidaritas secara keseharian maupun dalam ritual.

Sebagai penutup tulisan ini, saya teringat perkataan pak Kartoyo di Waihatu kepada saya, “Jang talalu serius soal agama nyong. Selama katong saling menghargai, Islam deng Kristen tetap bae-bae saja. Agama ageming aji. Agama itu parsis baju, cuma pake par tutup badang supaya kelihatannya bagus to. Tapi persaudaraan (ikatan sosial migran Jawa dan host Maluku) itu ibarat kulit nyong, kalo cubi padis kan”. Artinya, suami ibu Katiyem ini ingin mengajarkan primordialismenya melalui falsafah kejawen kepada saya, tetapi ia begitu cerdas menempatkan nilai   multikulturalisme untuk mempengaruhi spiritualitas saya dalam memahami pluralisme. Begitu mudah spiritualitas terpengaruh oleh teks-konteks manipulatif, tetapi akan tertolong apabila guru spiritual anda  cukup moderat untuk mengajarkan kebaikan, termasuk mengakui dan merayakan keragaman.

Salam Damai.

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button