PendapatPuisi

Semesta Kegilaan: membaca (sebagian) hidup Chalvin Papilaya dalam Mokolo

PENDAPAT

Chalvin amat berhasil menggunakan seluruh diksi dan imaji puitik secara melimpah tetapi padat dan proporsional. Dia menulis dengan pengetahuan dan perenungan yang mendalam, menuangkan semesta yang tentu sudah diselaminya selama bertahun-tahun. Hal itu terbaca dalam banyak diksi yang digunakannya, semisal diakonos, hamba tuhan, pendeta, golgota, atau roti dan anggur perjamuan.

Dalam puisi “di ruang observasi” dengan kematangan diksinya, dia memadukan imaji taktil dan visual dalam bait awal, misalnya pada larik kau sedang membersihkan kutil; aku menggigil nyilu dan keram-keram di badan ini. Eksplorasi diksi Chalvin hingga menemukan leksikon lokal seperti stegi, kapata, atau pombo dan goheba; sebaik meramu larik dengan menggunakan leksikon ilmiah, semisal skizofenia, miom, dan cogito kejiwaan adalah jejak-jejak kecerdasannya yang mungkin akan membikin pembaca tertentu harus membuka kamus atau ensklopedia untuk memahaminya secara utuh.

Lahirnya Mokolo dari ke-ada-an yang ingin disajikan oleh Chalvin, sekaligus menggunakannya untuk melawan stigma kegilaan dan kenormalan, serta pembingkaian dan penindasan simbolik terhadap itu, yang secara tidak sadar sering dilekatkan oleh manusia terhadap manusia lain atas nama ajaran agama, orientasi, serta kecenderungan perbedaan preferensi dan perilaku; juga kategori-kategori yang kadang tidak cukup bisa terjelaskan dengan aneka definisi.

Lebih lanjut, dengan pendalamannya terhadap stigma kegilaan yang dilekatkan oleh semesta terhadap subjek yang digaulinya, beta merasa bahwa Chalvin menemukan refleksi perihal kegilaan dan kenormalan manusia sebagai hasrat untuk mencari dan mengisi kekosongan dan kekurangan pada dirinya, serta menemukan harkat diri yang kemudian, secara eksplisit, ditampilkannya sebagai sesuatu yang liyan, semu, absurd.

Menjelang akhir pembacaan Mokolo, samar-samar beta teringat Jacques Lacan, teoretikus psikologi penerus Feud yang dalam beberapa hal justru menolak pandangan Freud tentang memahami kaitan mimpi dengan hasrat biologis; menekankan pentingnya memberi ruang terhadap irasionalitas dan budaya sebagai jalan untuk memahami kelindan pikiran manusia. Melalui pemerian terhadap vonis abnormalitas pada orang terdekatnya itu, tampaknya Chalvin hendak menunjukkan bahwa pencarian terhadap kenormalan. Dalam Mokolo terasa jelas kegelisahan Chalvin justru menjadi titik awal perjalanan untuk menemukan dan memahami absurditas dan keterbelengguan manusia dalam ruang dan waktu, sebagaimana yang dituangkannya secara menakjubkan, selesai, orgasmus; antara lain dalam puisi “di ruang observasi”, berikut ini:

ketika kusadar, tubuhku dini rimba
kutanyai negara, apabila ini sementara
kita terlantar di dalam kalut lautan

tubuh dipunyai rezim, lain punyaku ini
adalah pengungkungan cogito kejiwaan
jiwa sama tuhan, berisi keseluruhan
bersatu namun tidak dapat dimengerti
tak kumiliki, tak pandai kumenemu

tapi setiap kali aku ke situ, kau angkuh
menjelaskannya dengan bahasa waras

 sepertinya  kutak bisa lari dari kejammu

Seusai membaca Mokolo, beta didera oleh kesadaran yang makin menggelisahkan tentang betapa Chalvin adalah salah satu penyair Maluku dengan kedalaman dan ketajaman pikiran nan subtil sekaligus daya hentak diksi yang mencengangkan, bukan recehan. Sayang sekali, beta belum banyak bergulat dengan karya-karya Chalvin semasa dia hidup.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Previous page 1 2 3Next page

Berita Serupa

Back to top button