Politisasi Biokrasi Pemerintah Daerah Menjelang Pemilu 2024 Di Maluku

Oleh: Hendriyani Sigmarlatu (Pemerhati Politik Lokal Maluku)
Tulisan ini akan mendiskusikan isu politik menjelang pemilu 2024 salah satunya politisasi biokrasi pemerintahan daerah di Maluku. Isu ini merupakan fenomena politik yang perlu dilihat sebagai power yang memiliki dampak pada keberlangsungan pelayanan biokrasi dan kekuasaan.
Politisasi birokrasi kabupaten/kota sudah menjadi strategi dalam perebutan kekuasaan pemerintah. Pejabat hierarki atas gencar memobilisasi bawahannya, untuk menciptakan sebuah kekuatan politik yang besar, yang nantinya diharapkan akan mampu merebut kekuasaan tersebut.
Konstelasi kekuasaan seperti ini yang membuat birokrasi tidak mempunyai akuntabilitas, terutama kepada rakyat dan masyarakat pada umumnya. Adapun yang amat menonjol ialah diperkuatnya kewajiban untuk melakukan responsibilitas terhadap pejabat pada hierarki atas. Pejabat birokrasi diangkat oleh pejabat yang berkuasa pada hierarki tertinggi dalam departemennya.
Birokrasi sekarang ini digambarkan sebagai birokrasi moderen yang di dalamnya terdapat nilai-nilai ideal, dimana birokrasi sekarang ini sudah menunjukan manajemen yang tersistematis dalam penyelenggaraannya.
Pembaharuan-pembaharuan dalam birokrasi terus ditingkatkan demi mewujudkan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Namun di sisi lain sangat sulit untuk melihat standar ideal dalam birokrasi itu sendiri.
Kita hanya bisa melihat sistem terluar dari birokrasi tersebut atau bisa dikatakan kita hanya melihat birokrasi yang hanya tergambar pada pelaksanaan tugas-tugas yang sudah ditentukan, seperti pelayanan surat-surat kepada masyarakat, acara-acara seremonial, pemberian bantuan dan sebagainya.
Padahal jika melihat secara keseluruhan, banyak hal-hal yang jauh dari idealisme birokrasi itu sendiri seperti, netralitas, impersonalitas, akuntabilitas bahkan politisasi birokrasi yang menjadi fokus penulisan ini.
Fenomena politisasi birokrasi banyak kita lihat dalam pertarungan politik di Maluku. Itu sudah menjadi rahasia umum bagi para politisi, yang bertarung dalam perebutan sebuah kekuasaan. Masalah politisasi birokrasi menjadi persoalan hampir di seluruh daerah di Maluku.
Birokrasi sering kali terlibat dalam politik praktis pada pelaksanaan pemilihan umum kepala derah. Keterlibatan birokrasi dalam politik praktis ini dilakukan dengan menjadi anggota tim sukses salah satu calon, dan memobilisasi bawahan dan massa di sekitarnya untuk mendukung calon tersebut.
Seperti pada perebutan kekuasaan (eksekutif) di kabupaten/kota, netralitas pejabat atau aparatur pemerintahan daerah kabupaten sulit untuk duwujudkan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya para pejabat atau aparatur pemerintahan, yang ikut menjadi bagian kekuatan politik dari salah satu pasangan calon kepala daerah.
Para pejabat atau aparatur pemerintah yang tergolong dalam basis dukungan (sebutan untuk tim pemenang), berasal dari berbagai instansi dalam pemerintah kabupaten/kota. Politisasi birokrasi yang dilakukan adalah dalam bentuk menggerakan atau mengarahkan dukungan (mobilisasi) pejabat atau aparatur pemerintahan kepada pasangan calon.
Mobilisasi pegawai negeri sipil di pemerintah daerah kabupaten/kota terjadi sebelum dilaksanakannya pemilihan umum kepala daerah. Mobilisasi ini bertujuan untuk mengumpulkan basis dukungan dan menghimpun kekuatan politik dari para pegawai negeri sipil (PNS) kepada salah satu pasangan calon kepala daerah.
Mobilisasi pegawai negeri sipil ini telah menciptakan sebuah kondisi yang jauh dari jalur ideal, hal tersebut disebabkan adanya kalangan atau kelompok tertentu yang menggerakkan dan mengarahkan birokrasi sebagai sebuah komponen kekuatan untuk merebut kekuasaan. Hal ini akan berdampak dengan tidak terciptanya netralitas birokrasi di tubuh pejabat atau aparatur pemerintahan Kabupaten/kota.
Politisasi birokrasi dalam bentuk mobilisasi pegawai negeri sipil di pemerintah daerah, telah menimbulkan sebuah ukuran keloyalan antara pejabat hierarki bawah dengan atasannya. Pejabat yang memegang jabatan di bawah eksekutif (kepala daerah) dipandang loyal apabila melakukan mobilisasi kepada bawahannya, dan juga masyarakat untuk mendukung kepala daerah pada saat pemilu.
Hal ini ditandai dengan fenomena-fenomena pergeseran jabatan. Inilah saatnya para pejabat hierarki bawah menuai hasil dari tindakannya.
Bagi pejabat yang memang secara nyata mendukung kepala daerah terpilih, biasanya tidak menunggu waktu lama untuk diangkat jabatannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dan sebaliknya mutasi jabatan ketempat non-job pun atau kejenjang yang lebih rendah, akan diberikan kepada pejabat hierarki bawah yang dinilia tidak memberikan dukungan “membolik” kepala daerah terpilih.
Inilah konsekuensi yang harus didapat oleh pejabat hierarki bawah. Hal ini memang jauh dari idealisme suatu pemerintahan, standar ukuran pejabat yang seharusnya dilihat dari pengalaman, skil atau kemampuan, dan prestasi dalam memangku jabatanya sekarang berubah menjadi loyal atau tidaknya seorang pejabat tersebut kepada pimpinannya.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi