Bogor (3/7). Saya berdiri di rerimbunan pohon depan Swalayan ADA. Jalan Raya Padjajaran. Menunggu isteri yang sedang mampir di swalayan tersebut. Walau Jam 2 siang, rerimbunan di pedestrian depan swalayan cukup nyaman. Jalan Padjajaran yang penuh pepohonan memang tetap sejuk walaupun di tengah teriknya matahari.
Dari jarak 30an meter, sekelabat sosok terlihat. Ia menunduk. Mendorong gerobak di tengah terik. Ia berjalan tertatih. Kakinya tak beralas. Panas aspal yang menerpa telapaknya, sepertinya sudah tak terasa. Tak ia bpedulikan. Ia tetap berjalan. Perlahan mendorong gerobak dengan tenaga penuh. Wajahnya meringis. Sesekali menyeka keringat yang bercucuran.
Ketika sosok itu mendekat di tempat saya berdiri, refleks saya datangi. Ia lalu menghentikan gerobaknya. Ia menyeka keringat yang menderas.
“Mari saya bantu,” saya inisiatif untuk menawarkan jasa. Entahlah, saya tidak hirau puluhan tatap mata di kiri kanan. “Punten, terima kasih,” ia dengan ramah menolak halus.
Saya mengakrabi. “Jerigen itu isinya pak?”.
“Isinya air Pak. Buat dijual keliling,” jawabnya sumringah. Ia tak lagi muda. Wajahnya sepuh. Sebarisan jenggot di dagunya telah memutih. Saya perkirakan, sekira 55an tahun.
Namanya, Jumari. Di gerobaknya, saya hitung ada 11 jerigen air. 10 jerigen berwarna kuning dan biru itu ditata rapi di gerobak. Satunya ditumpuk. Setiap jerigen berisi 20 liter air.
Pak Jumari mengambil air di Terminal Baranangsiang. Dengan tenaganya yang tak lagi muda, ia mendorong gerobak, menyusuri jalan Padjajaran. Jerigen–jerigen air itu dijual kepada pedagang di sepanjang jalan padjajaran. Ia tak pernah berhenti berjalan, hingga jerigen tersebut laku dan tak bersisa.
Setelahnya, Pak Jumari Kembali ke terminal Baranangsiang, mengulang lakon yang sama. Mengisi jerigen, mendorongnya di terik siang yang menyengat, sepanjang Jalan Padjajaran.
“Saya ngisi airnya, Rp3 ribu per jerigen. Saya jual Rp4 ribu. Alhamdulillah untung seribu setiap jerigen,” ia masih menyelipkan rasa syukur.
Isteri saya yang sudah berada di tengah-tengah kami menimpali dengan suara haru. “Kenapa tidak dibantu anak-anaknya, Pak?”.
“Anak–anak saya tiga orang. Masih kecil–kecil. Tinggal di kontrakan dengan ibunya”, jawab Pak Jumari.
Segerobak yang didorong keliling, Pak Jumari mendapatkan keuntungan Rp 11ribu. Nilai yang amat jauh dari tenaga yang dikeluarkan. Setiap hari, Pak Jumari hanya mampu mendorong 3 gerobak. Usia tuanya tak memungkinkan mendorong beban lebih dari itu. Setiap hari, ia membawa pulang Rp 33.000 untuk isteri dan tiga anaknya.
Saya tidak banyak menimpali. Saya perhatikan, wajahnya kelelahan. Berulang menyeka keringat yang menderas. Mengusulkan kepadanya untuk istirahat sejenak, berarti membiarkan asap dapur di rumahnya tidak mengepul. “Jaga Kesehatan ya pak”, empati saya. Ia tersenyum mengangguk.
Isteri saya membuka dompetnya. Memberi beberapa helai. Pak Jumari berkaca. Ia mengucap syukur dan terima kasih berulang.
Pak Jumari, penjual air keliling itu adalah pejuang hidup. Ia tak putus asa. Lelah dan terik yang menerpanya tak membuatnya berhenti mencari nafkah. Ia adalah pelajaran hidup, tentang makna kerja keras dan perjuangan menafkahi keluarga.
Semoga Allah selalu menjaganya.
Oleh: M. Suhfi Majid (warga Bogor, asal Ambon)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi