Pemilu Bermartabat: Melampaui Prosedur, Menuju Substansi Demokrasi
Oleh : Abd Karim Angkotasan (Pegiat Demokrasi)
Pemilu selalu menjadi penanda proses demokratisasi. Alasannya sederhana, Pemilu membuka ruang bagi warga negara untuk terlibat aktif sebagai subjek politik. Tidak sampai di situ, Pemilu mereaktivasi rekognisi (pengakuan) dan representasi (perwakilan) sebagai mode utama kerja politik.
Dengan bahasa yang sederhana, Pemilu menjadi momentum yang melegitimasi hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih, sekaligus memungkinkan terbentuknya komunitas politik yang bekerja berdasarkan prinsip keterwakilan.
Dalam tradisi Ilmu Politik, Pemilu disebut sebagai arena partisipatif kewargaan. Meski begitu, tampaknya kita perlu mempertanyakan sudah sejauh mana Pemilu digunakan sebagai instrumen untuk mengkonsolidasikan demokrasi.
Pertanyaan ini cukup relevan mengingat dalam 20 tahun terakhir (terhitung sejak transisi dari orde baru menuju ke reformasi), Pemilu mampu menghasilkan sirkulasi elite di satu sisi, dan menyisahkan keterbelahan serta fragmentasi komunitas warga di sisi yang lain (Aspinal & Sukmajati: 2015).
Mesti diingat bahwa meskipun Pemilu menjadi penanda proses demokratisasi, namun Pemilu tidak sepenuhnya menghasilkan rezim kekuasaan yang demokratis. Kita dapat berkaca dan belajar dari sejarah ketika Soeharto yang banyak disebut sebagai pemimpin otoriter, tidak pernah absen menggelar Pemilu selama 32 tahun berkuasa. Meski dicap bertangan besi, namun Pemilu tetap diletakan sebagai prosedur penting untuk menghasilkan pemimpin. Bila begitu situasinya, lantas apa yang membedakannya dengan Pemilu era Reformasi ?
Reformasi setidaknya membawa spirit perubahan terhadap praktik politik, termasuk pemilu. Bila pada masa orde baru, proses representasi politik bekerja hanya melalui elite Negara, kini proses politik menjadi semakin terbuka dan memungkinkan semua orang terlibat, baik sebagai subjek/individu, maupun sebagai komumitas politik.
Situasi ini tampak melalui dua sistem Pemilu yang diterapkan pada dua rezim politik yang juga berbeda, yakni sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan Proporsional Terbuka.
Kecenderungan menggunakan sistem Proporsional Tertutup menjadikan orde baru sebagai rezim yang menjauhkan warga dari proses politik, dengan demarkasi yang cukup tegas.
Itu sebabnya, tidak semua orang dapat memiliki hak serta akses politik yang setara. Patronase, klientalisme, kolusi dan nepotisme, adalah peristiwa lumrah yang lazim ditemukan ketika praksis politik sekedar menjadi urusan petinggi Partai, pejabat dan elite.
Berbeda dengan itu, sistem Proporsional Terbuka menjembatani relasi antara elite dan warga yang sebelumnya berjarak. Selain memberi kemungkinan bagi warga untuk terlibat dalam politik elektoral, Proporsional Terbuka juga dirancang untuk merevitalisasi fungsi partai sebagai medium ideologis dan kerja politik keterwakilan.
Meskipun format sistem Pemilu sudah semakin canggih, namun kerentanan pemilu tampak masih bergeliat masif. Politik uang, pelanggaran ketentuan kampamye, transparansi hasil pemungutan suara, netralitas ASN, hingga netralitas penyelenggara pemilu, menjadi sekian dari jamknya kerentanan yang berulang kali muncul dalam praktik penyelenggaraan Pemilu.
Tentu, sejumlah kerentanan di atas tidak tercipta dengan sendirinya. Terdapat kondisi yang memicu sekaligus merawat situasi ini. Satu diantaranya yakni ketidakberhasilan mentransformasi wacana Pemilu dari prosedur menuju ke substansi.
Hasil riset Pusat Studi Politik dan Pemerintahan UGM (PolGov), mengurai kecenderungan partisipasi warga dalam politik elektoral. Di Indonesia, jabatan legislator dan kepala daerah dilihat sebagai profesi. Persepsi ini sepenuhnya mempengaruhi orientasi dalam berpolitik. Situasi ini semakin diperparah dengan ketiadaan simpul politik kewargaan, yang menggarap perjuangan dan kepemimpiman politik dari akar rumput.
Pemilu tampak berfungsi untuk memilih dan mengganti, sebagaimana pencari kerja yang hendak melamar dan melepas pekerjaan.
Alhasil, praktik penyelenggaraan Pemilu terjebak dalam debat tentang tata prosedur pemenangan, yang sangat rentan pada keasalahan.
Sudah saatnya Pemilu dijadikan sebagai momentum untuk tidak sekedar memilih pemimpin. Lebih dari itu Pemilu hendaknya difungsikan secara substantif sebagai momentum perjuangan politik, mendistribusikan kepemimpinan politik, yang representatif dan mengakar. (*)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi