Oleh: Ikhsan Tualeka (Direktur Beta Sport dan Beta Kreatif)
Ada yang menarik dari perhelatan MotoGP 2022 di Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun ini bukan soal persaingan para pembalap dalam memacu kuda besinya, tapi soal pawang hujan.
Betapa tidak, aksi pawang hujan menjadi viral. Wajar saja, karena kalau di tempat lain yang juga menggunakan pawang hujan, aksi mereka cenderung dilakukan diam-diam, tapi tidak di arena MotoGP kali ini, karena justru ditampilkan di depan panggung.
Di media sosial sejumlah publik figure hingga pejabat publik memuji juga menyampaikan terima kasih untuk sang pawang. Belakangan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika atau BMKG mengungkapkan hujan berhenti saat perhelatan event balap di Mandalika itu karena memang durasinya sudah selesai.
Hujan berhenti bukan karena aksi pawang hujan. Namun sesuai prediksi, hujan memang diperkirakan selesai pada sore hari. BMKG menyebut pawang hujan itu merupakan kearifan lokal yang sulit dibuktikan secara sains.
“Ya sebenarnya kalau dilihat pawang hujan itu adalah suatu kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Secara saintis itu sulit untuk dijelaskan,” kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto kepada wartawan, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 23 Maret 2022 dikutip dari detikcom.
Guswanto mengungkapkan BMKG memiliki prediksi tersendiri terkait prakiraan cuaca. Sebelumnya, BMKG telah memperkirakan akan terjadi hujan di Mandalika dengan intensitas ringan hingga lebat pada 17-20 Maret 2022.
“Namun untuk BMKG sendiri sebenarnya memiliki (prakiraan) sendiri. Kalau kita lihat fenomenanya kemarin sejak 3 hari yang lalu tanggal 17, 18, 19 itu sudah diperkirakan BMKG, bahwa di Mandalika itu akan terjadi hujan dengan intensitas ringan sampai lebat”, jelas Guswanto.
Ia menambahkan, kemudian tanggal 20 diperkirakan juga hujan lebat disertai badai petir. “Kenapa perkiraannya itu? Karena pada waktu itu terjadi bibit siklon tropis 93F yang dampaknya itu memberikan potensi pertumbuhan awan hujan di Mandalika,” ujarnya.
Fenomena di atas tidak ingin saya perdebatkan. Yang pasti ini adalah satu realitas yang mencerminkan betapa kuatnya budaya irasional di bangsa ini. Dimana cara berpikir dan bertindak masyarakatnya lebih didasarkan pada sesuatu yang irasional, atau tahayul dibandingkan dengan cara berfikir rasional.
Dimana-mana, mulai masyarakat bawah sampai masyarakat kelas atas, aktivitas tahayul kerap ditemukan. Misalnya fenomena percaya pada pawang hujan di atas, atau memberikan atau meletakan sesajen oleh sekian pejabat ketika akan meresmikan suatu proyek, adalah hal lumrah ditemui.
Sehingga tidak heran, bila bangsa ini sulit terangkat dari keterpurukan dan kerap tak mampu bersaing dengan bangsa lain. Saat bangsa lain berlomba membuat penemuan baru, termasuk rekayasa teknologi untuk adaptif dengan alam, kita justru terjebak pada mitos.
Ketika negara-negara lain berlomba untuk menonjolkan aspek teknik sepak bola dan kenyataannya lebih maju dalam bidang tersebut, masih banyak di masyarakat kita yang percaya bahwa dengan menggunakan kekuatan-kekuatan magis maka akan mampu memberdayakan penjaga gawang.
Seperti pula dengan aksi pawang hujan di Mandalika, yang bahkan untuk melegitimasi ada yang menyebutnya sebagai kearifan lokal. Ya bebas aja sih, tapi rasanya terlalu berlebihan juga, apalagi hingga ditampilkan di depan panggung yang bahkan pemberitaannya lebih kuat dibanding banyak hal lain yang lebih positif untuk diberitakan.
Memang, kebiasaan bangsa kita dalam beberapa aspek kehidupan masih diwarnai dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, karena itu bagian dari proses sejarah bangsa ini. Ditambah dengan masih rendahnya budaya literasi, membuat sebagian besar masyarakat di negara ini masih terus tergantung pada kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Bahkan ada founding father kita yang menulis, “Tetapi kamu yang 55.000.000 tidak akan mungkin merdeka, selama kamu belum menghapuskan ‘kotoran kesaktian’ itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia (Tan Malaka: Dialektika Mistika)
Kata-kata itu sudah disampaikan Tan puluhan tahun lalu pada masa pra kemerdekaan, dan semua itu masih terasa nyata adanya hingga saat ini. Apa mungkin kita perlu ‘revolusi’ sekali lagi?
Ambon, 22 Maret 2022
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi