Pada konteks ini, langkah pertama menurut saya ada pada political will pemerintah daerah untuk tidak memunggungi (baca: membelakangi) masalah pendidikan.
Apa yang menjadi prioritas program seperti yang tertuang dalam Sapta Cipta pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, Hendrik Lewerissa dan Abdullah Vanath, khusus pada poin 3, kiranya tidak sekedar retorika semata.
Gubernur harus benar-benar turun gunung untuk memastikan bahwa apa yang menjadi janji politiknya bukanlah isapan jempol semata. Gubernur wajib melakukan konsolidasi semua potensi yang ada untuk mendapatkan hasil yang maksimal pengembangan SDM masyarakat Maluku.
Langkah berikut setelah komitmen adalah melakukan pemetaan terhadap problema pendidikan kita di Maluku. Setiap daerah pasti memiliki problema tersendiri dan pola penanganan yang juga berbeda.
Saya yakin Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kita juga sudah memiliki pemetaan itu, hanya saja belum ada langkah serius untuk menyelesaikan secara profesional.
Mungkin saja ada kendala, misalnya keterbatasan fiskal dan lainnya. Namun ketika semua memiliki komitmen yang sama terhadap tujuan yang satu, maka sebesar apapun hambatannya pasti bisa teratasi.
Yang tak kalah penting juga adalah bebaskan pendidikan kita dari unsur politik. Sepanjang pendidikan dibayang-bayangi oleh kepentingan politik, like and dislike, jangan pernah berharap untuk mendapatkan kemajuan pendidikan di daerah ini. Adalah menjadi rahasia umum, banyak guru-guru di Maluku menjadi korban politik dan nasibnya terkatung-katung hingga hari ini.
Ratusan sekolah SMA yang hingga kini tidak memiliki kepala sekolah definitif selama bertahun-tahun dan hanya dipimpin oleh Plt., ribuan guru yang tehambat kenaikan jabatan fungsionalnya karena mereka beririsan dengan masalah politik selain kendala teknis administratif, puluhan guru telah lulus mengikuti fit and proper tes untuk jabatan kepala sekolah hingga hari ini tidak jelas nasibnya, karena politik.
Persebaran dan penempatan guru-guru PPPK pun tidak terlepas dari intervensi politik. Semua ini menjadi potret buram wajah pendidikan kita di Maluku.
Dengan fakta interfensi politik seperti dikemukakan, Gubernur kita sejatinya tidak menjadikan pertimbangan politik ke dalam urusan pendidikan.
Gubernur harus memastikan Kepala Dinas dengan segenap perangkat yang akan menggawangi urusan pendidikan sejatinya ditunjuk mereka yang kapabel dan profesional, bukan karena dia dari tim sukses atau dia yang menjabat karena bagian kompensasi (balas jasa).
Pada titik ini komitmen Gubernur Hendrik Lewerissa akan menghadapi ujian sejarah.(*)
IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi



