PendapatCitizenMaluku

Mengangkat Cerita-cerita dari Banda Elat dan Banda Eli

PENDAPAT

Oleh: Riyan Hapriyani Suatrat (Pegiat literasi, tinggal di Ambon)


Nama Suatrat yang tersemat di belakang nama saya, berasal dari nama keluarga atau lazim disebut fam. Setiap mendengar nama fam ini orang-orang ( Maluku ataupun yang tinggal di Maluku pasti akan langsung tahu kalau kami berasal dari Banda Elat).

Salah satu ciri khas orang Maluku adalah dapat dengan mudah  dikenali dari nama keluarga.

Hingga beberapa tahun lalu saya masih merasa biasa saja dengan sematan nama belakang itu. Suatrat. Biasa saja. Semua sepupu saya juga memilikinya.

Lalu suatu saat saya tergerak untuk mengetahui lebih jauh lagi, seperti apa kehidupan moyang saya dulu. Bagaimana sepak terjang orang-orang pemikul marga Suatrat, Suatkab, Suatrean, Suat, dan marga-marga lainnya asal Banda Elat dan Banda Eli.

Sebagai informasi, marga-marga yang saya sebutkan di atas, adalah marga yang datang dari Pulau Banda, yang kemudian karena sebuah peristiwa menyebabkan mereka keluar dari Pulau Banda. Mereka mulai mendiami beberapa wilayah dalam gugusan pulau-pulau di Maluku.

Nah kisah inilah yang telah saya tuangkan dalam salah satu cerita rakyat bernafas sejarah dalam projek Penulisan, Penerjemahan, dan Penyuntingan Cerita Rakyat Maluku.

Awalnya saya kesulitan bagaimana caranya mengangkat cerita-cerita dari Banda Elat dan Banda Eli.

Lalu datanglah kesempatan itu. Usi Evi Olivia Heumasse  yang periang dan energik memberi saya kesempatan menulis cerita rakyat Maluku. Saya senang bukan kepalang. Dalam kepala saya, yang terpikirkan adalah inilah kesempatan baik untuk menulis cerita dari Banda.

Bersama penyunting dan penerjemah dalam satu tim ( usi Mey dan Destiny Grcia ) kami bertiga meramu kisah yang mengagkat sejarah orang Banda.

Cerita ini terjadi pada 21 April 1621 di Pulau Banda. Pada saat itu Jan Pieterszoon Coen memerintahkan anak buahnya membunuh 40 orang kaya yang dia yakini sebagai pemberontak.

Mereka dihabisi tanpa ampun. Kepala mereka dipenggal. Seakan belum cukup, tubuh yang tak berkepala itu dipotong lagi menjadi empat bagian dan bagian-bagian tubuh itu, dibuang dalam lubang yang digali para serdadunya.

Saya bukan bermaksud mengungkit kisah lama menyakitkan yang bisa menyebabkan perpecahan. Saya hanya ingin menulis sejarah ini sebagai pengingat untuk anak cucu nanti. Mereka harus tahu sejarah kampung halaman orang tua dan oyang-oyang mereka. Jangan sampai generasi Banda selanjutnya buta sejarah akan asal usul mereka sendiri.

Cerita ini akan dibukukan oleh Kantor Bahasa Kbm Maluku . Selain cerita saya, ada sembilan cerita lainnya yang ditulis oleh penulis-penulis muda yang saya banggakan.

Ada cerita dari Negeri Liang (Legenda Kolam Tujuh Putri), cerita dari Selaru (Patung Sinedenama), cerita dari Hila (Apitule Yang Nakal), Batu Badaong, cerita dari Negeri Oma (Nenek Latu dan Batu Bedak), Malen dan layun, Wuar Mala, Nene Sirimau dari Negeri Lima, dan Moyang Kawal.

Cerita-cerita ini akan disajikan dalam tiga versi bahasa. Bahasa Indonesia, bahasa daerah (sesuai asal cerita rakyat tersebut), dan bahasa asing (bahasa Inggris, Jerman, dan Arab).

Mari kita berikan perhatian dan dukungan dalam pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Maluku.

Terima kasih Kantor Bahasa Maluku  yang telah memberikan begitu banyak kesempatan kepada saya untuk mengembangkan bakat menulis yang terpendam selama ini.

Saya sendiri merasa sangat terbantu atas semua pelatihan dan projek menulis yang diselenggarakan KBM.

Semoga selalu dalam lindungan Tuhan agar senantiasa menjadi lentera untuk perkembangan bahasa, sastra, dan budaya di Maluku.

Ahhaa sebelum saya lupa dan tidak bisa memafkan diri sendiri, saya mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya buat bibi paling baik sedunia, bibi Nina Baranyanan Nina Baranyanan yang “su bantu Beta par terjemahkan Beta tulisan ke dalam versi bahasa Elat”. Luv u bibi. Sehat terus dan selalu bahagia.

Salam literasi


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button