Menelusuri Jejak Polisi Belanda di Tanah Papua
Kapita Selekta Perkembangan Jumlah Personel dan Kegiatan Kepolisian di Tanah Papua pada Masa Belanda (1920-1962)

“Itu sebuah daerah dimana amtenar tidak punya rumah yang layak huni dan asrama polisi tidak lebih daripada gubuk-gubuk, […] yang […] biasanya hanya dua bulan sekali didatangi kapal, dan pada selang waktu di antaranya merasa terkucil; dimana pemeliharaan medis sangat kurang. Tidak seorang pun terhindar dari cengkeraman malaria dan depresi.
Mengherankah jika Nugini-Belanda (Papua) merupakan daerah terkutuk, jika setiap pegawai berusaha mengelakkan penempatannya di sana atau berusaha sekuat tenaga secepatnya meninggalkannya, dan jika ambisi segelintir pegawai yang ambisius pun segera pudar di suatu kawasan dimana tidak pernah tersedia uang untuk melakukan perbaikan sekedarnya bahkan sarana transportasi untuk mengenal daerahnya sekalipun?”
Bagi Eechoud dan banyak orang lainnya menganggap (bahkan hingga hari ini!), bahwa penempatan di Tanah Papua itu sebagai bentuk hukuman atau telah dibuang oleh pimpinan.
Namun, bagi sebagian yang lain, justru ini merupakan sebuah tantangan untuk menjadikan lokasi tersebut maju dan berkembang. Sebab, Pemerintah Hindia-Belanda (Nederlands Nieuw Guinea) telah mempersiapkan hal itu sejak 1907 hingga 1915.
Pada 1906, H. Colijn diberi tugas oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz ke Indonesia Timur termasuk Nugini-Belanda untuk meneliti kemungkinan meningkatkan perkembangan ekonomi, mereorganisasi pemerintahan dan mengupayakan keseimbangan antara pengeluaran dan pemasukan.
Berkat kegiatan ini dan berbagai ekspedisi ilmiah, pengetahuan tentang daerah dan rakyat di sini terus bertambah. Hal ini bisa terjadi, salah satunya, melalui aktifitas militer atau patroli kepolisian yang berlangsung hingga 1935 untuk di kawasan Ayamaru.
Personel Kepolisian juga berjasa dalam membangun landasan pacu di beberapa lokasi di Tanah Papua. Sebut saja di Lere, di Onder Afdeling Nimboran. Selama satu minggu, personel kepolisian melakukan perjalanan darat –jalan kaki—untuk menemukan lokasi landasan pacu.
Adalah Inspektur Polisi Eed Markhorst dan enam orang Papua anggota Polisi yang melakukan pencarian lokasi untuk landasan pacu pesawat antara Hollandia (Jayapura) dengan Lembah Baliem. Persis di tengah hutan (in the middle of nowhere), mereka akhirnya menemukan lapangan kecil yang kemudian akan dibangun menjadi landasan pacu.
Peran Kepolisian lainnya di Tanah Papua adalah menyelesaikan masalah sosial yang timbul di masyarakat. Di Amberbaken, misalnya, sering terjadi percekcokan, keonaran dan perkara perempuan.
Penyebabnya adalah masyarakat banyak minum-minuman keras yang berasal dari tuak. Oleh sebab itu personel polisi pun ditempatkan disana untuk melakukan pengawasan.
Untuk solusi, dibangun juga pabrik gula merah. Meskipun tidak seluruhnya hilang, kebiasaan minum tuak kemudian turun drastis dan produksi gula aren meningkat drastis pada 1960 itu.
Frans Peters, Kepala Onder Afdeling Manokwari menceritakan, bahwa saat menjabat sebagai Kepala Onder Afdeling, dia juga otomatis menjadi Kepala Polisi di Manokwari.
Frans Peters sebelumnya pernah ditugaskan sebagai kontrolir di pos-pos pedalaman: Wisselmeren, Kaimana dan Boven Digoel. Dalam kata-katanya sendiri, dia menceritakan:
“Sebagai Kepala Onder Afdeling, karena jabatan, saya merangkap menjadi Kepala Polisi di daerah saya. Detasemen Polisi di Manokwari (Korps Algemene Politie Detachement Manokwari Afdeling Noord Nieuw Guinea) beranggotakan kira-kira seratus orang. Hanya empat dari 19 anggota kader itu orang asli Papua. Fungsi-fungsi lainnya terutama diisi oleh orang Indo-Belanda.”
Terkait tugas lain dari Kepolisian di Tanah Papua, Peters juga menceritakan kisah saat pembukaan lahan untuk perkebunan di Kampung Mokwam –salah satu kawasan Moile/Moire terbesar di Warmare.
Setelah dilakukan sebanyak 11 kali kunjungan, diputuskan untuk membuka dataran yang kosong itu. Pada Mei 1960, dua orang agen polisi ditempatkan di sana untuk membantu penduduk dan memberikan perlindungan sekedarnya. Salah satu agen polisi itu adalah Pieter Mandatjan, orang asli Moire sendiri.(*)
*) Penulis merupakan Ikon Prestasi Pancasila 2021 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Jakarta.
**) Selesai ditulis di Arfai 2, Manokwari, Papua Barat pada Kamis, 22 Juni 2023 pkl. 14:04 WIT.
IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi