Pendapat

Doa-doa Lintas Agama

BERJALAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (21)

Oleh: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Selama bulan Maret ini penulis akan menuturkan kisah bagaimana dirinya terpapar Covid, dan bagaimana bisa sembuh dari Covid. Setiap hari, kecuali hari Minggu, akan ada satu kisah yang kami tampilkan. Ini bagian ke-21 dari tulisan bersambungnya.

Tanggal 31 Maret 2020 dan seterus, sampai saya bangun dari tidur panjang. Hidup menjadi gelap serta misterius. Informasi tentang saya tidak kalah gelapnya. Retno tidak memperoleh informasi apapun tentang kondisi saya. Bagaimana keadaan saya setelah dipasangkan ventilator? Apakah kondisi saya stabil atau tidak? Sama sekali tidak ada informasi dari rumah sakit.

Tanggal 1 April, Retno terpaksa harus kembali lagi ke Semarang. Bersama Bapak mertua saya, dia datang ke rumah sakit. Setelah berkendaraan selama satu setengah jam dari Solo, Retno dan Bapak tiba di rumah sakit. Mobil diparkir, Retno menuju Gedung Rajawali. Bapak tetap menunggu di mobil. Gedung Rajawali berbahaya untuk orang tua. Kali ini, Gedung Rajawali, tempat saya dan pasien-pasien Covid-19 lain dirawat, sudah dijaga lebih ketat.

Satpam sudah ditempatkan di depan gedung itu. Petugas keamanan memastikan Gedung itu bebas dari masyarakat umum. Tidak ada yang boleh masuk kecuali tenaga medis. Keluargapun tidak diijinkan masuk. Covid-19 membuat gedung dengan cat merah dan putih ini menjadi tempat berbahaya. Hanya tenaga medis dengan APD lengkap boleh lalulang di sana.

“Selamat siang Mbak. Bagaimana keadaan Pak Izak, suami saya?” tanya Retno pada seorang tenaga medis yang kebetulan lewat di depan penjagaan satpam. Retno juga menjelaskan: saya adalah pasien yang baru masuk tanggal 31 Maret dan menggunakan ventilator.

“Selamat siang Ibu. Nanti dokter yang bisa menjelaskan,” kata tenaga medis yang lewat tadi. Stres dengan informasi yang tak kunjung diperoleh, Retno terpaksa menggunakan kartu tenaga medisnya.

“Minta tolong Mbak. Saya juga dokter. Tolong saya supaya bisa liat data suami saya. Tidak perlu tunggu dokter. Saya bisa baca sendiri. Tolong yah,” pinta Retno pada tenaga medis itu. “Saya minta nomor dokter saja kalau begitu, nanti dihubungi residen,” jelas tenaga medis. Residen adalah dokter yang sedang melanjutkan pendidikan spesialis di fakultas kedokteran tertentu. Untuk mendapatkan spesialisasinya, dokter harus berprakter di rumah sakit.

“Terimakasih. Saya menunggu informasi,” kata Retno lalu berlalu dari depan Gedung Rajawali. Setelah menunggu hampir dua jam di dalam mobil, akhirnya Retno ditelpon oleh rumah sakit. Residen yang ikut menangani saya, menjelaskan kondisi baik, darah normal, dan denyut nadi stabil. “Kondisi Pak Izak baik dan stabil,” kata dokter residen itu dari balik telpon genggam. Retno bisa bernafas sedikit lega.

Denyut nadi menunjukkan peredaran darah ke dan dari jantung. Jika denyut nadi stabil berarti dari dapat dipompa oleh jantung dengan baik. Serangan virus Covid-19 dapat menyebabkan pembengkakan jantung. Darah yang menggumpal akibat serangan Covid-19 menyebabkan kerja jantung jadi lebih berat. “Dalam beberapa kasus, pasien Covid-19 mengalami kematian karena kegagalan jantung bekerja,” kata beberapa seminar Covid-19 yang saya ikut ketika berada di hotel waktu isolasi mandiri.

“Pak Izak itu atlet yah dokter?” tanya residen lagi. Rupanya, dokter residen itu ingin tahu tentang kondisi saya sebelum terinfeksi Covid-19. “Suami saya berenang rutin. Sebelumnya, dia suka bermain sepakbola,” jawab Retno. Menurut dokter dan pegawai di rumah sakit, baru kali ini ada pasien Covid-19, menggunakan ventilator, dengan denyut nadi sestabil saya. Kebetulan, selain berolahraga rutin, saya juga tidak merokok. “Pak Izak kuat sekali,” jelas dokter residen tadi menutup pembicaraan dengan Retno.

IMG 20210326 200717
Bersama tim sepakbola mahasiswa lintas negara di Lapangan Hocky Es, Peabody Terrace, Harvard Housing.(Foto: Dok. Penulis)

Sejak masih mengikuti persiapan sepakbola Suratin Cup di Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, 1991 – 1993, kami sama sekali tidak boleh menyentuh rokok. “Bagaimana mau menjadi pemain bola yang baik, jika merokok,” kata Coach Kotta, pelatih kami waktu itu. Semua yang ketahuan merokok, pasti “habis” di lapangan. Jalan katak bolak-balik Lapangan Nusantara, Masohi.

Kebiasaan bermain sepakbola ini saya teruskan. Bahkan ketika belajar di Amerika Serikat, saya masih menyempatkan diri bermain sepakbola sekali seminggu.

Pulang dari Amerika, saya masih bermain sepakbola sekali-sekali di lapangan kampus dan lapangan-lapangan lain sekitar Kaki Merbabu. “Olahraga yang baik bagimu sekarang bukan lagi sepakbola, tetapi renang,” kata Retno mengingatkan saya waktu itu.

“Renang lebih baik karena kaki dan tangan bergerak. Juga, baik untuk kaki,” tambah Retno. Sejak itu, saya belajar renang. Mulai dengan gaya renang seadannya, sampai dapat melakukan gaya dada dan gaya bebas dengan baik. Rajin berolahraga ini membuat denyut nadi stabil. Jantung bekerja dengan baik.

Sejak berada di rumah sakit, keluarga memang belum mendapat informasi tentang saya. Apakah karena kebijakan rumah sakit atau data pasien Covid-19 sebaiknya tidak diketahui keluarga? Saya tidak punya jawaban.

April 2020, memang komunikasi dengan keluarga pasien Covid-19 nampaknya masih belum terjadi dengan baik. Situasi menjadi gelap dan misterius bagi keluarga pasien. Sangat dapat dimengerti, Indonesia dan dunia masih bingung menghadapi virus baru yang mematikan ini.

Sahabat dan keluarga juga menunggu kabar saya. Informasi infomasi simpang siur sebelumnya membuat banyak orang-orang dekat khawatir dan takut. “Bagaimana kabar Chaken?” tanya Odhy sahabat baik saya sejak masih kuliah S1 dulu. Pendeta tempat kami beribadah juga selalu menguatkan Retno. Pimpinan di tempat saya mengajar juga menelpon untuk mendukung proses perawatan saya. Pesan dari sahabat dari berbagai negara dan tempat di Indonesia memenuhi inbox media sosial saya. Banyak orang mengirimkan doa bagi saya.

“Ummi, nanti tolong berdoa untuk junior-ku. Namanya Izak Lattu. Dia sedang dirawat di rumah sakit karena Covid-19,” pinta Mbak Irma, Fatimah Husein, pada Ibunya di Solo. Waktu itu saya sedang bergumul dengan ventilator. Pada tulisan-tulisan sebelumnya, saya sudah menjelaskan, Mbak Irma adalah senior dan co-teacher saya di CRCS UGM. Associate Professor berjilbab itu, sudah saya anggap kakak perempuan. Keluarga Hadramaut yang memiliki tradisi Islam kuat itu, berdoa khusus bagi saya.

Teman-teman aktivis muda Nahdatul Ulama di Semarang juga membuat doa bersama bagi saya. “Kami kaget sekali Bung Cak kena Covid-19. Kami bikin doa bersama, khusus mendoakan Bung Cak, waktu itu,” kata Mas Tedi dari elSA Semarang. Saya memang dekat sekali dengan komunitas ini. Sejak kembali dari studi S3 di Amerika Serikat, saya sangat sering berdiskusi dengan teman-teman muda Muslim yang kritis dan cemerlang ini.

Sebenarnya, makalah yang akan saya presentasikan di Princeton bertema “Mitos, Kejawaan dan Teologi Lokal” dari Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJU) di Lereng Merbabu. Sebelumnya, dalam Pertemuan Tahunan Asosiasi Sosiologi Agama Dunia 2019 di New York, saya memresentasikan konsep “Bali Jawa” atau kembali ke nilai-nilai Jawa oleh GKJTU Ngaduman. Sudah hampir empat tahun saya melakukan penelitian di sana. “Kami waktu itu berdoa khusus untuk Bung Chaken,” kata Pendeta Victor dari Ngaduman.

Gereja tempat kami beribadah di Kaki Merbabu juga berdoa bagi saya. Sektor-sektor mengadakan malam doa dan pergumulan khusus. “Mbak Retno, kita berdoa untuk Bung Chaken,” kata pendeta gereja kami kepada Retno. Media sosial dan telpon genggam saya dibanjiri oleh doa dan ayat-ayat kitab suci. Dukungan dari komunitas-komunitas ini menguatkan keluarga Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), gereja asal saya, juga meminta para pendeta mendoakan saya. Bung Elly, Sekretaris Umum, Sinode GPM, waktu itu, meminta doa bersama ini dilakukan di gereja-gereja. “Katong bergumul khusus deng pakiang itam voor ade,” kata salah satu Kaka Ketua Klasis.

Para sahabat di Amerika dan gereja-gereja Indonesia di sana mendoakan saya pada setiap ibadah virtual mereka. Sahabat saya Greg menggalang doa pada gereja-gereja Mennonite di New York dan sekitarnya. Dua gereja tempat saya memimpin ibadah di New York, sebelum kembali ke Indonesia, juga mengadakan doa bersama secara daring. Senior saya dan jemaatnya di Virgnia dan Richmond melakukan hal yang sama. Teman-teman di San Francisco dan Sacramento, tempat saya ikut melayani selama kuliah S3 dulu, mengirimkan doa-doa mereka.

“Ade, waktu itu PGI kirim obat. Sudah dapat?” tanya Bung Jacky, Sekretaris Umum, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) ketika saya sudah sembuh. Obat ini diterima oleh Retno di Solo. PGI mencari nomor Retno lewat para kolega dan mengirimkan obat ini. Ketika obat ini sampai, saya masih dibuat tidak sadar oleh dokter anestesis. “Ada obat dari Jakarta, katanya dari salah satu orang penting di Indonesia melalui PGI,” jelas Retno waktu saya sudah sadar.

Para mahasiswa di tempat saya mengajar di Kaki Merbabu mengadakan doa khusus. Mahasiswa-mahasiswa wali berkumpul untuk mendoakan saya. “Kami berpelukan dan menangis waktu tahu Kak Chaken pakai ventilator. Kami berkumpul di kos-kos untuk berdoa bagi Kaka,” kata teman-teman mahasiswa ketika saya sudah sadar. Para mahasiswa di tempat saya mengajar memang dekat dengan saya. Sebagian besar memanggil saya Kak bukan Pak.

IMG 20210326 200651
Komunitas anak-anak muda Muslim di Semarang, setelah diskusi buku Lebaran di Jawa, karya aktivis elsa.(Foto: Dok. Penulis)

Sejak didirikan tahun 1956, kampus kami sudah mendasarkan proses belajar mengajar pada nilai magistrorum et scholarium (dosen dan mahasiswa) yang menegaskan persahabatan ilmiah antara dosen dan mahasiswa. Diskusi-diskusi di dalam kelas tidak menakutkan.

Semua mahasiswa boleh bertanya karena tidak ada pertanyaan yang salah. Mahasiswa boleh berbeda pendapat dengan dosen sejauh memiliki argumentasi yang kuat. Pendapat paling anehpun boleh saja.

Kampus Indonesia Mini itu dibangun dengan konsep taman-taman. Sederhana tujuannya, agar para mahasiswa dan dosen bisa berdiskusi di luar kelas. Udara Kaki Gunung Merbabu yang sejuk membuat diskusi DPR (di-bawah pohon rindang) terasa lebih menarik. Kedekatan ilmiah itu membuat mahasiswa tidak ragu-ragu mengemukakan pendapat.

Fasiltas olahraga disediakan. Lapangan sepakbola mendekati standar FIFA dibangun di dalam kampus. Dua lapangan tenis, beberapa lapangan volley, lapangan bulutangkis dan satu stadiun mini basket berada di antara hijaunya pohon-pohon rindang di kampus ini. Pada kampus ini, tradisi belajar, beroganisasi dan berolahraga dibangun dengan sengaja. Sebelum berangkat ke Amerika, saya masih sesekali melatih mahasiswa bermain sepakbola di sini.

Kelas Interreligious Dialogue di CRCS UGM, tanggal 7 April 2020 berubah menjadi kelas doa bersama. “Before we start our class, let’s pray for Pak Izak,” (sebelum kelas mulai mari kita berdoa untuk Pak Izak), kata Mbak Irma sambil meminta Dodhy pendeta dari Lampung untuk memimpin doa. Kelas internasional ini berbahasa Inggris. Juga, memiliki mahasiswa lintas agama dan negara. Air mata mahasiswa dan Mbak Irma bercucuran. Doa-doa lintas agama-agama naik pada Sang Ilahi pemilik kehidupan.

Covid-19 menyerang siapa saja. Tidak pandang bulu. Tanpa melihat identitas suku dan agama. Solidaritas lintas batas sosial dan agama ini menguatkan. Kita memang berbeda agama, tetapi kita satu dalam kemanusiaan. Covid-19 sedang menyerang manusia dan kemanusiaan. Menjaga batas fisik dengan manusia lain, tetapi memperkuat rasa kemanusiaan dengan sesama yang menderita.

(bersambung besok)

 

 

 

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button