Nasional

Buku Tak Punya Kaki Sendiri Menemui Kandidat Wali Kota Makassar 2024

PENDAPAT

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)


Ide dan gagasan-gagasan dalam buku ini, tak punya kaki sendiri untuk menemui calon Wali Kota Makassar, yang akan bertarung pada pilkada serentak, tanggal 27 November 2024.

Itu yang saya kemukakan di hadapan warga, tetamu, dan para penulis, sambil memperlihatkan buku “Jika Saya Menjadi Wali Kota Makassar”, yang disunting Rahman Rumaday, Minggu, 1 September 2024.

Saya katakan, butuh strategi tertentu agar ide-ide bernas dan gagasan-gagasan ideal dalam buku ini bisa sampai ke pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, yang akan memimpin kota ini lima tahun ke depan. Kalau tidak, buku ini hanya berupa kumpulan lembaran kertas cetakan, dokumen, dan arsip dari para penulisnya.

Mengapa? Karena ini buku bunga rampai yang ditulis dan dikirim penulisnya langsung kepada inisiator, sekaligus editornya. Bukan buku kumpulan tulisan yang sudah terpublikasi sebelumnya. Bukan hasil kumpulan tulisan yang sudah tersiar luas di media massa, yang sudah dibaca orang dan ikut mempengaruhi wacana publik.

Apalagi, buku ini dicetak (sangat) terbatas, sehingga tidak semua pemikiran di dalamnya bisa menjangkau pembaca yang luas. Kecuali nanti dibagikan dalam format pdf.

Maka perlu ada strategi untuk mewarnai pemberitaan media agar mendudukkan buku ini pada daya tawar yang kuat. Publikasi kegiatan soft launching yang diadakan sekaligus memperingati ulang tahun ke-14 Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) di Lorong Daeng Jakking, Kelurahan Parangtambung Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, baru langkah kecil, meskipun itu sangat berarti. Itupun beritanya seputar peristiwa kegiatan peluncuran buku.

Dalam soft launching ini diadakan pula diskusi buku. Pemantiknya, saya dan Aslam Katutu, dengan moderator Rusdy Embas. Kami bertiga ikut menyumbang tulisan dalam buku ini.

Menurut saya, perlu dipertimbangkan setiap tulisan dalam buku “Jika Saya Menjadi Wali Kota Makassar” ini, dipublikasikan secara terpisah melalui media online, portal berita, atau medsos dengan tagar yang sama. Misalnya: PilkadaMakassar2024 atau JikaSayaWalikotaMakassar2024.

Strategi advokasi melalui platform digital perlu jadi pilihan. Sebab, buku ini bisa jadi medium literasi politik agar pemilih tercerahkan.

Begitupun dengan para kandidat, mereka akan tahu apa yang jadi aspirasi dan kebutuhan warga, sebagaimana disuarakan 31 penulis dalam buku ini.

Saya percaya, tulisan-tulisan dalam buku ini, walau tidak semua kuat memaparkan data, tapi mereka berangkat dari harapan yang sama.

Ada kegelisahan, kerisauan, sekaligus kepedulian terhadap Kota Makassar. Mereka mau, persoalan-persoalan kemacetan, persampahan, perparkiran, banjir, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, layanan publik dan hak-hak dasar warga, segera terurai dan menemukan solusinya.

Ada yang ingin menjadikan Makassar Kota Berkesetaraan, Kota Gizi, Kota Rahmatan Lil Alamin, Kota Buku, Kota Budaya, Kota Sastra, Kota Sehat, Kota Ramah Anak, Kota Beradab dan Berakal, dll.

Latar belakang penulis ikut mempengaruhi imajinasi, aspirasi, dan argumentasi mereka dalam menuangkan gagasannya demi kemajuan pembangunan kota ini. Jurnalis, akademisi, guru, aktivis, pegiat literasi adalah beberapa di antaranya.

Nama-nama penulis pun bukan kaleng-kaleng. Ada M Dahlan Abubakar, Andi Wanua Tangke, Dian Ekawati Mansyur, Rahman Rumaday, Zulkarnain Hamson, Mahrus Andis, Badaruddin Amir, Muliaty Mastura Yusuf, dan Dr Dirk Rukka Sandarupa.

Di deretan nama-nama itu terdapat pula Arwan Daeng Awing, Muhammad Arafah, Suradi Yasil, Efa Patmawati Halik, Asnawin Aminuddin, IR Makkatutu, M Amir Jaya, Muh Rusdy Embas, Syahril Rani Patakaki, dan Zahir Juana Ridwan.

Sederet nama-nama itu, ditambah lembaga-lembaga yang menyertai mereka plus kolaborasi dengan media massa, saya optimis mampu menjadi pressure group untuk menghadirkan para kandidit dalam forum diskusi publik. Forum untuk mendengar suara-suara kritis yang nanti bisa dielaborasi ke dalam visi-misi, dan program.

Pasangan Amri-Rahman, Appi-Aliyah, Indira-Ilham, dan Seto-Rezky perlu menangkap apa yang jadi aspirasi warga. Jauh lebih baik, jika dalam forum diskusi publik itu dikunci rekomendasi yang jadi kontrak politik dengan masing-masing pasangan kandidat Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar.

Para penulis dalam buku “Jika Saya Menjadi Wali Kota Makassar” ini, harus diakui, telah mampu menangkap lanskap persoalan kota, termasuk persoalan kepemimpinan dan tata kelola pemerintahannya. Problem kita memang bukan cuma soal kebijakan dan program, tapi juga menyangkut karakter kepemimpinan.

Buku ini bukanlah mantra dalam menata dan memajukan kota –sebagaimana disampaikan Rahman Rumaday, dalam Kata Pengantarnya. Sebab, meminjam istilah M Dahlan Abubakar –ketika mewawancarai seorang wali kota terpilih– bahwa visi-misi itu bukan barang jadi yang siap disantap. Dengan begitu, masih butuh strategi lobi dan advokasi agar gagasan-gagasan dalam buku ini bisa mewujud nyata.(*)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button