Ambon Dolo-dolo

Blajar Gambar di Museum Siwalima

AMBON DOLO-DOLO

Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)


Suatu sore beta lagi mandi. Basibor (siram badan dengan air) di luar rumah. Sambil timba air dari sumur —yang sebagian mulutnya ada di luar rumah— beta dengar tetangga putar siaran warta berita dari RRI Ambon. Begitu tiba berita tentang hasil lomba menggambar, beta pasang talinga bae-bae: Rusdin Tompo, Juara I Lomba Menggambar Tingkat SD.

Penyerahan hadiah lomba sudah dilakukan kemarin malam, dalam acara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 1980. Lomba ini diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Maluku. Pesertanya terbagi, ada untuk tingkat SD, SMP, dan SMA.

Tentu saja beta senang. Mengucap syukur, alhamdulillah. Lalu cepat-cepat kasi selesai mandi. Beta langsung bilang par (untuk) orang-orang yang ada di rumah. Apalagi, beta pung kakak, Ruslan, juga juara. Dia Juara III Tingkat SMP. Ruslan wakili SMP Negeri 3 Ambon. Beta sampaikan, barusan dengar warta berita RRI Ambon yang mengabarkan bahwa katong dua juara lomba menggambar. Saat itu, beta kelas 5 SD Negeri 7.

Besok pagi, di skola, beta ke kantor kepala skola, menyampaikan kabar gembira itu. Kepala skola lalu minta Pak Noya, guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), batamang (temani) beta ke Kanwil P & K Provinsi Maluku. Singkat carita, Pak Noya deng beta ke Kanwil. Tiba di sana, katong ketemu Ketua Panitia, Bapak J.A. Kalay. Antua tanya, kenapa seng datang tadi malam hadiri acaranya langsung. Pak Noya bilang seng dapat infonya. Maklum jua, dolo-dolo tu sarana komunikasi belum secanggih sekarang.

Pak Kalay lalu serahkan hadiah voor beta. Ada beker (piala), piagam dan Tabanas (uang dalam bentuk Tabungan Nasional). Setelah itu, katong kembali ke skola. Piala disimpan di kantor, sedangkan piagam dan Tabanas dikasi ka beta. Piagam lomba ini ditandatangani Kepala Kanwil P & K Provinsi Maluku, Drs Piet M. Syauta.

Ini lomba menggambar pertama yang beta ikuti, dan langsung juara pertama. Saat itu, beta menggambar sosok gerilya yang tangannya memegang bambu runcing. Ujung bambu runcingnya diikat kain merah putih. Gerilyawan itu tampak begitu heroik berdiri di atas batu kokoh.

Beta memang hobi menggambar. Mungkin sejak kelas 3, kesukaan itu muncul. Di sekolah, beta suka tiru gambar-gambar foto pahlawan yang dipajang di dinding kelas. Gambar Pangeran Diponegoro, Sisingamangaraja XII, Kapitan Patimura, Christina Martha Tiahahu, dan R.A. Kartini, adalah beberapa wajah pahlawan yang pernah beta gambar pake pensil. Beta juga pernah gambar pelukis Leonardo da Vinci yang janggutnya lebat.

Kalau di rumah (waktu masih rumah lama), beta biasa menggambar di muka rumah, di atas deker yang agak lebar. Suatu hari, beta lagi menggambar pemandangan pantai pake cat air. Rupanya, katong pung tamu dari Makassar perhatikan beta. Beta seng kanal antua, yang beta ingat, antua pung rambut gondrong. Katong pung rumah memang jadi semacam tempat singgah keluarga yang datang dari Makassar, atau anak-anak pasar yang seng pung keluarga di Ambon, kadang dong ke rumah. Antua minta kuas, lalu mulai celupkan kuas ke warna putih. Antua kasi contoh bagaimana bikin awan yang lebih bagus. Maklum, beta waktu itu otodidak.

Hobi melukis makin terasah setelah ikut kelas melukis di Museum Siwalima, yang dibimbing Pak Bambe Joseph. Antua ini tipikal seniman. Rambut ikal panjang, dengan brewok yang putih keperakan. Meski begitu, penampilannya relatif rapi. Antua suka berpakaian sederhana, dengan warna-warna soft, seperti putih dan abu-abu, cocok deng antua pung kulit yang putih bersih.

Museum Siwalima berada di kawasan Taman Makmur. Posisinya bagus, di atas bukit yang menghadap ke Teluk Ambon. Dari atas lokasi museum, sering katong lihat kapal-kapal Pelni memasuki Tanjung Nusanive dan Tanjung Alang. Pada sisi lain, tepat di pinggir pagar, katong atau pengunjung bisa lihat hutan yang lebat, yang sering jadi obyek menggambar.

Museum Siwalima ini dibangun tahun 1973, tapi baru diresmikan tahun 1977. Bulan September 1978, Presiden Soeharto dan Ibu Tien berkunjung ke tempat ini. Gubernur Maluku, saat itu, Hasan Slamet mendampingi kepala negara dan rombongan. Isi Museum Siwalima sangat beragam, berupa sejarah kelautan Maluku dan budaya Maluku. Untuk sampai ke sini, katong musti jalan kaki.

Angkutan kota trayek Air Salobar atau jurusan Latuhalat hanya antar penumpang iko jalan utama. Jadi kalau naik oto, setelah itu turun, lalu sambung deng jalan kaki ke atas bukit. Bagitu sampe di museum, langsung hosa (ngos-ngosan) karena jalan ke museum agak menanjak, yang di kiri-kanan ditumbuhi pepohonan rimbun. Biasa, saat jalan, dengar suara burung atau binatang hutan, seolah hibur katong biar tetap semangat. Bagitu tiba di pintu gerbang, ada tulisan “Usu Mae Upu”, artinya mari silakan masuk.

Beta bisa iko belajar melukis di museum melalui proses perekrutan. Anak-anak yang berbakat menggambar dari tingkat SD-SMA se-Kotamadya Ambon, saat itu, diajak bergabung. Tiap skola utus beberapa orang. Belajar menggambarnya rutin. Ada jadwalnya. Jadwal anak SD setiap hari Rabu. Kalau pigi ke museum, katong cukup bawa diri saja. Di museum semua tersedia. Pensil dan alat-alat lukis ada. Bahkan di ruang workshop selalu ada tanah liat. Bisa bikin patung setiap kali datang. Meski begitu, anak-anak kalau datang, dong bawa alat-alat lukis juga sandiri-sandiri, sesuai bahan dan alat yang dong sukai dan kuasai. Ruang workshop itu terhubung dengan galeri. Ada banyak gambar dipamerkan. Gambar-gambar itu dilekatkan pada tripleks lalu dibungkus plastik. Meski sederhana, tapi terlihat rapi dan elegan.

Dari SD Negeri 7, selain beta ada juga Pieter yang diutus. Belakangan, anak-anak yang lain juga iko. Entah taiko atau iko rame hehehe. Mungkin karena setiap Rabu, dong bisa terbebas dari pelajaran rutin. Suatu waktu, hampir semua anak laki-laki pigi iko menggambar di museum. Yang beta inga, katong samua pulang jalan kaki. Padahal, jarak museum dari sekolah berkilo-kilo. Besoknya, wali kelas tanya, “Memangnya samua terdaftar menggambar di sana?” Katong diam-diam sa. Hehehe.

Metode menggambar di museum ini menarik. Pak Joseph seng banyak kasi teori. Langsung praktik. Kayaknya, antua pung asisten, seorang staf di Museum Siwalima. Biasanya, asisten ini yang kasi alat-alat gambar, sekalian kasi tugas atau tema yang mau digambar. Pak Joseph hanya sesekali kasi evaluasi, pada akhir, setelah sesi menggambar selesai. Sembari antua kasi contoh teknik menggambarnya.

Segala sisi museum dan koleksi museum jadi obyek saat menggambar. Katong kadang menggambar relief yang ada di tembok halaman museum, gambar diorama manusia purba, gambar patung-patung kayu yang bentuknya sudah rusak, atau gambar ragam hias dan ornamen khas Maluku. Kadang, katong saling baku gambar. Jadi, kalau ada teman yang duduk di depan, teman itu yang digambar. Teman lain di samping katong, akan menggambar katong, dan seterusnya. Singkatnya, teman gambar teman secara berantai. Kira-kira begitu.

Anak-anak yang iko menggambar atau seni rupa juga bikin baju seragam sendiri. Modelnya ikut baju cele, pakaian khas Maluku. Bahannya dari kain belacu. Pada bagian lengan kain dikasi motif dari ragam hias Maluku. Sebelum motifnya dicetak, dibuatkan polanya terlebih dulu di karton manila. Setelah itu, pola yang sudah digambar, dilubangi pakai pisau cutter. Tahap berikut, baru dicetak dengan cat warna merah hitam, menggunakan spons yang diikat pada potongan kayu atau bambu kecil.

Pak Tino Sidin, pengasuh acara “Gemar Menggambar” di TVRI era 80-an pernah diundang ke Museum Siwalima. Pak Tino Sidin ini ajar anak-anak berani menggambar. Karena, menurutnya, menggambar itu gampang. Hanya berupa menarik garis lurus dan garis lengkung. Itulah mengapa, antua selalu puji gambar-gambar yang dikirim dan diperlihatkan di layar kaca, sambil bilang: baguuuss.

Pak Tino Sidin yang suka pake topi flat cap ini punya eidetik memory yang kuat. Bayangkan saja. Antua baru sekali berkunjung ke museum, tapi langsung bisa menggambar jalan tanjakan dan kelokan menuju museum dengan indah. Antua bikin ratusan anak-anak yang ikut kursus singkat hari itu berdecak kagum. Hebat ee…

Kalau seng pigi ke museum, beta selalu menggambar mandiri di rumah. Gambar apa saja. Setelah selesai menggambar, beta selalu simpan gambar-gambar itu di laci lemari. Beta dapat dukungan penuh dari Mama deng sodara-sodara, terutama kakak sulung, Rusly. Beta pung gambar digantung jadi hiasan rumah. Kadang beta coba menggambar vinyet (vignette) yang idenya dari Majalah Hai atau koran Suara Karya. Belajar gambar potret pake pensil konte, juga dengan mencontoh harian milik Golkar itu. Tapi paling sering beta menggambar pake cat air. Beta suka bereksperimen, dengan alat maupun teknik menggambarnya.

Kalau menggambar, selalu ada teh atau kacang ijo di samping. Jadi, selain gelas berisi air untuk cuci kasi bersih kuas, juga ada gelas teh atau gelas bubur kacang ijo. Saking asyiknya menggambar, beta salah celup kuas. Mestinya celup kuas di air, ternyata kasi masuk kuas di gelas bubur kacang ijo. Padahal, kacang ijonya masih banyak. Sayang kalau kacang ijonya dibuang. Akhirnya, kacang ijo yang sudah bercampur cat air itu tetap beta makan. Sempat terpikir, kalau pun mati, mati demi hobi. Bukankah beta pung cita-cita mau jadi pelukis?

Makassar, 6 Mei 2021

 

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button