Ambon Dolo-dolo

Pasar Wainitu, Bikin Banyak Perubahan

AMBON DOLO-DOLO

Penulis: Rusdin Tompo (warga Makassar kelahiran Ambon)


Kehadiran Pasar Wainitu Ambon, bikin banyak perubahan. Bukan saja mengubah tampilan fisik dan lingkungan alam di kawasan Air Putri. Tapi juga lingkungan sosial. Untuk katong, yang saat itu masih anak-anak, perubahannya sangat terasa. Ada banyak tampa barmaeng yang hilang. Tapi, Pasar Wainitu lalu jadi tampa barmaeng baru.

Pada tulisan lain, beta sempat carita bahwa waktu pasar mau dibangun, hutan sagu di situ dong tebang. Termasuk ada beberapa pohon di dekat katong pung ruma. Jadi, waktu pohon sagu su ditebang, dong kasi malintang batang sagu di dekat rumah. Batang sagu itu kokoh bulat, tapi isi dalamnya, yang dijadikan tepung sagu, warnanya putih.

Beta suka lia orang pukul atau pangkur sagu, yang begitu fokus dan sabar. Antua yang bapukul sagu itu pake alat khusus, yang di bagian ujungnya ada semacam mata bajak. Sagu yang diambil akan ditaruh di wadah yang terbuat dari daun sagu. Ada “teknologi” sederhana dan alami yang dipakai sampai dong bisa menghasilkan tepung sagu. Praktis, semua pengerjaannya dilakukan di lokasi itu juga. Asal ada air untuk bantu kasi mengalir sagu yang diperas dan disaring.

Di bekas tebangan sagu itu nanti –dalam beberapa hari– bakal ada ulat sagu. Ulatnya bersih berwarna kuning gading, dengan kepala berwarna hitam. Kadang, ada orang ambil ulat sagu ini, dan langsung dikasi masuk di mulut. Hanya bagian kepalanya yang dibuang. Bagian dalam ulat berwarna putih, mirip susu kental. Ulat ini kadang dibakar, mirip sate, hingga badan ulat terlihat matang baru dimakan. Beta belum pernah coba. Tapi orang bilang, rasanya enak. Makanya dikonsumsi.

Sebelum ada Pasar Wainitu, di pinggir jalan, yang kemudian jadi deretan rumah toko (ruko) ada bengkel yang cukup besar di situ. Beta pernah lihat macam-macam mobil diperbaiki di situ. Ada Jeep Willys, oto yang tampilan mukanya mirip truk Dodge, dan beberapa mobil cold pikap yang diubah. Semacam bengkel karoseri, kayaknya. Waktu kecil, kadang iseng pi liat orang las mobil, karena mirip kembang api. Tapi biasa dapa tagor. Seng boleh lihat percikan api deng mata talanjang. Bisa bikin sakit mata. Makanya, pekerjanya pake kacamata hitam dan pelindung muka dari besi yang ada kacanya untuk lihat.

Setelah pasar berdiri, aktivitas warga di sekitar situ berubah. Dong seng lagi bermain dan berjualan di bawah pohon dekat tokonya om Randa. Kintalnya om Talli juga sudah dipagari senk. Lalu tidak lama kemudian berdiri deretan ruko di situ. Aktivitas warga kini pindah ke Pasar Wainitu. Apalagi pasar hanya hidup pada waktu pagi sampe siang hari. Setelah itu sepi. Selain beberapa toko milik orang Bugis yang terus buka karena memang dong tinggal di situ. Begitu juga dengan warung milik orang Jawa, rutin buka karena dong tinggal di situ.

Tata letak pasar ini cukup bagus, meski areanya seng basar. Ada pintu gerbangnya di antara ruko-ruko di deretan depan. Ada juga ruko di samping. Lalu ada los-los untuk pedagang sayur, juga tempat khusus untuk penjual ikan. Belakangan, tempat menjual ikan ini didinding dengan tripleks lalu jadi tempat tinggal. Sedangkan halamannya jadi tempat parkir mobil-mobilnya om Amir Andalas. Pasar berubah fungsi karena memang seng rame.

Beta pung mama bajualang juga di sini. Di atas los seukuran 2×3 meter. Antua jualan kentang, wortel, bawang, jeruk dan bumbu-bumbu untuk keperluan mamasa. Kalau mama bajualang, katong yang memasak. Antua su ajar, cara mamasa. Kalau mau masak nasi, berasnya dicuci dulu, lalu kasi air setinggi kira-kira 1 ruas jari telunjuk. Katong juga diajar masak sayur dan goreng ikan.

Beta mama memang bajual su lama. Dolo antua pung warung makan, saat katong tinggal di Jayapura, Irian Jaya (sekarang Papua). Tapi sejak katong pung bapak wafat, 26 Maret 1976, antua yang tadinya bajual untuk bantu suami, sekarang jadi tulang punggung utama. Saat katong pung kakak tertua, Kak Culy (Rusly), baru mulai bekerja di pasar daging. Waktu katong pung bapak meninggal, beta baru naik kelas 2 SD. Jadi, kalau mama pi bajual, katong yang mamasa. Nanti pukul 11, menjelang makan siang, katong bawakan antua pung makanan.

Awal-awal ada Pasar Wainitu, katong main macam-macam di situ. Bahkan mengarah ke vandalisme. Suatu hari, katong maeng baku panah, pake pana-pana U. Pana-pana U beda dengan katapel yang pelurunya dari batu. Pana-pana ini terbuat dari kayu yang dibentuk mirip huruf “Y”. Ada juga yang dibikin dari kawat, yang dililitkan biar kuat. Ujung kiri-kanannya dipasangkan karet pelontar. Biasanya, pelurunya pake paku atau besi yang dibengkokkan mirip huruf “U”. Makanya disebut pana-pana U. Tapi kadang, supaya seng membahayakan orang, dong pake tali kursi. Tapi hari itu, katong pake batang pohon yang cukup lentur. Jadi, saat dibengkokkan, batang pohon itu tidak patah. Dengan pana-pana U itu, anak-anak memanah lampu-lampu di sepanjang los pasar. Seng tau siapa yang mulai kamuka.

Ada kejadian, orang-orang dapa strom (kesetrum) saat pegang atau basandar di saluran air. Ini kayaknya beta su agak besar. Mungkin SMP. Saluran air dolo-dolo itu dari senk, bukan dari pipa paralon seperti sekarang. Waktu itu pas hari lagi hujan, jadi hampir samua saluran air ada aliran listriknya. Anak-anak yang barmain heboh.

Setelah beta datang dan tau duduk perkaranya, beta ingat sempat mencantolkan kawat ke kabel listrik talanjang. Beta lalu pi lapas akang. Setelah itu, seng ada aliran listrik. Tapi ada yang seng percaya bahwa itu penyebabnya. Setelah dicoba ulang, dong baru yakin. Syukur jua, seng ada orang dapa celaka akibat beta pung keisengan.

Sejak ada Pasar Wainita katong menemukan beberapa permainan baru. Kalau su siang atau menjelang sore katong biasa bermain tenis meja, yang mejanya dari los-los pedagang. Permainan ini mungkin lebih tepat merupakan kombinasi tenis meja deng tenis lapangan. Bolanya dari bola pingpong, pemukulnya dari tripleks. Seng pake net. Pengganti netnya berupa lorong antara beton los yang lebarnya 1 meter. Jadi katong musti pukul bola melewati lorong itu ke sebelah lawan. Cara hitungnya mengikuti pertandingan pingpong.

Inovasi lain, yakni bikin “Gokart” dari papan bekas yang rodanya terbuat dari hagel. Permainan ini cukup seru karena bisa dipakai balapan. Setiap “Gokart” dimainkan oleh dua orang. Satu sebagai pengemudi yang duduk di atas papan beroda. Sedangkan satunya lagi bertugas dorong temannya dengan posisi tagan di bahu. Arena sirkuit “Gokart” ini mengitari pertokoan. Saat “Gokart”-nya didorong, terdengar bunyi gesekan suara hagel pada lantai semen. Makin kencang didorong, makin tambah keras suara hagelnya. Jalur yang dilewati lumayan sempit. Kadang katong talempar ke got, atau menabrak dinding beton ruko.

Sejak ada pasar, suasana di Air Putri agak terang. Meski kebanyakan lampu pasar tidak manyala pada malam hari. Tapi pendar sinarnya cukup membantu. Mungkin karena itu, pada Subuh hari, anak-anak berani kaluar maeng speda. Sepeda-sepeda itu kebanyakan disewa jam-jaman. Katong sewa di Daeng Tompo, yang memang kerjanya tukang speda di Jalan Kopi. Namanya juga blajar naik sepeda, biasanya ada yang bantu pegang dari belakang. Tampa main speda ini di depan pasar sampai ke arah depan Gereja Emaus. Kalau dari Gereja Emaus ke depan pasar itu jalannya agak menurun. Jadi kadang katong tinggal atur keseimbangan badan saja, seng parlu trap speda.

Pasar Wainitu ini batul-batul jadi pusat kegiatan, interaksi antar-warga hampir samua di situ. Mulai dari anak-anak kacil, anak-anak muda sampai orang tua. Orang suka bakumpul di situ karena pilihan tampa duduknya banyak. Bisa langsung baslep di atas beton los pasar, atau duduk di atas peti-peti milik pedagang, bisa juga di meja-meja penjual ikan yang su dikasi bersih. Kalau duduk-duduk di pasar, pandangan mata luas, dan angin sibu-sibu (sepoi-sepoi) batiup biking mata manganto. Makanya, kalau siang, biasa lia orang lagi baring-baring atau buka baju menikmati udara yang batiup dari arah pantai.

Di pasar ini katong bisa jumpai orang bajual kue-kue, main layangan, beklen, catur, bacukur, juga main gitar sambil manyanyi. Kalau menjelang lebaran, lalu mau pici (kupas) kacang tanah untuk dibikin kacang bawang, bawa saja kacang-kacang itu ke pasar. Biar berapa loyang, pasti seng lama habis dikupas bersama. Begitu katong bawa kacang tanah yang airnya masih agak hangat itu, langsung anak-anak yang ada di situ datang baku bantu. Tanpa harus minta tolong.

Makassar, 28 April 2021


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button