Pendapat

Belajar “Kalesang” di Nusa Ina

PENDAPAT

Oleh: Joberth Tupan, Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga


Selama dua hari mengikuti kegiatan di Pulau Seram (Nusa Ina), beta belajar beberapa hal tentang makna “kalesang”. Dalam kamus Melayu Ambon, kalesang sama artinya dengan atur, mengatur dan teratur. Sebaliknya, kebanyakan orang Maluku menggunakan idiom kalesang sebagai sindiran atau bentuk kemarahan untuk orang lain (contoh: kalesang diri sadiki; ale seng kalesang ana-ana mo).

Namun tidak sedikit juga yang menggunakannya sebagai ajakan bagi orang lain untuk melakukan kegiatan positif (contoh: mari katong kalesang kintal ruma ni). Bahkan kalesang dan semboyan kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Saka Mese Nusa, inheren sebagai geopolitik lokal – jaga (ator) pulau babae.

Bertolak dari pengalaman selama dua hari di Pulau Seram, beta menyadari kalau kalesang itu melampaui keteraturan. Itu batul? Untuk menjawabnya, ijinkan beta bercerita sedikit pengalaman di Pulau Seram pada saat mengikuti kegiatan HUT Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku( AMGPM) ke-88 di SBB.

Beta tiba di Pulau Seram Jumat sore, tanggal 9 April 2020. Beta dan Steven lalu disambut Usi An (Ketua Majelis Jemaat GPM Waipirit) di pastori. Usi An membawakan tiga gelas susu coklat (satunya untuk Bu Idho) dan biskuit coklat bagi kami sambil berkata, “kaka-kaka musti kalesang adi-adi kio”. Setelah itu, Usi An mengizinkan beta deng Steven untuk menginap di rumah Bapa John Tahya, salah seorang senior AMGPM dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang luar biasa cerdas.

Sabtu pagi, tanggal 10 April 2020, beta memoderatori diskusi bertemakan ekologi yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar AMGPM dan AMGPM Daerah Kairatu. Diskusi saat itu dihadiri oleh empat narasumber dan pengurus AMGPM berbagai daerah di Maluku dan Maluku Utara (beta seng tahu semua daerah hadir ka seng?).

171410814 217220210196581 492935469344180791 n1
Penulis (kanan) bersama para narasumber.(Foto: Dok. Penulis)

Keempat narasumber ialah Tante Mien Soselisa (Guru Besar FISIP Unpatti), Usi Iren Sohilait (Pendiri Komunitas Green Moluccas), Usi Grace Manupassa (Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten SBB) dan Bu Idho Kwalomine (Pendeta GPM sekaligus Kabid Tiga PB AMGPM). Dalam diskusi itu, keempat narasumber menyelipkan makna kalesang pada saat membahas materi.

Materi Tante Mien sangat Kemalukan. Tante Mien membahas kosmologi orang Maluku (tanah, air, matahari nae, matahari maso dan lain-lain) dalam keterkaitannya dengan pembentukan moral Kemalukuan terhadap alam. Kalesang menurut Tante Mien adalah makna lain dari inner connection antara orang Maluku dan alam. Moral kalesang yang terbentuk oleh folklore, pada gilirannya mewujudukan solidaritas sehingga alam tidak lagi menjadi tempat eksploitatif industrial.

Berikut, Usi Iren menggunakan kata baku kalesang sebagai artikulasi mutualisme. Tidak hanya merawat lingkungan untuk keberlanjutan nabati dan hewani, tapi juga mengandung kepentingan bersama. Termasuk merawat dan membebaskan Maluku dari ancaman sampah karena berbahaya bagi pangan yang terpapar zat-zat apa itu beta lupa. Intinya, berbahaya bagi kesehatan.

Usi Grace melaporkan peran pemerintah kabupaten SBB dalam merancang program-program pelesetarian dan pengelolaan sumber daya alam. Termasuk meminimalisir kalakuang buang sampah sabarang. Baginya, pemerintah telah maksimal untuk kalesang, tergantung masyarakat, mau kalesang seng?

Terakhir, Bu Idho menjelaskan spiritualitas pemuda-pemudi dalam merawat lingkungan. Beta menangkap bahwa Bu Idho ingin membangun spiritualitas kalesang sehingga perlu kolaborasi gereja, akademisi, NGO dan pemerintah.

170723927 217220273529908 8379300754147944754 n
Foto: Dok. Penulis

Berlanjut ke Sabtu malam (sebut saja Malam Minggu), beta menghadiri puncak perayaan HUT AMGPM di gedung Gereja Yabok, Jemaat GPM Uraur. Beberapa undangan hadir dengan memakai simbol-simbol etnisitas berwujud pakaian daerah. Bu Frans (mantan Kecab GMKI Ambon) begitu mempesona dengan pakaian adat Maluku Tenggara. Tidak kalah dengan itu, arek-arek Waihatu tidak canggung menggunakan surjan Jawa di Uraur (usi Fera pung pasukan mantap eee). Kalesang budaya malam itu keren.

Sebelum kembali ke rumah bapa-mama piara (keluarga Tahya) di Waipirit, beta sekali lagi mampir ke rumah Oma Cory Lattu (ibunda Bu Cak Lattu) sekaligus pamit untuk esok pulang ke Ambon. Sambil menunggu Steven dan Marcho, beta duduk di depan teras rumah ditemani Dolvis, mendengar banyak nasehat maupun cerita Oma Lattu (sapaan akrab orang Uraur).

Oma Lattu kemudian berpesan kepada beta, “Nyong Tupan, nene bilang ini, nyong Tupan seng boleh seng kalesang keluarga“. Banyak kesamaan antara Bu Cak Lattu dan Oma Lattu, salah satunya “antar tamu pulang sampe di muka pagar” (artinya kalesang voor tamu lai).

170745439 217220236863245 472416871994513409 n
Penulis (kiri) bersama rekan-rekan di kediaman Oma Cory Lattu (kanan).(Foto: Dok. Penulis)

Tidak secara kebetulan kata kalesang terus muncul dalam komunikasi dengan orang-orang yang beta jumpai, karena memang kata tersebut terkategori dialek sehari-hari. Pengalaman singkat itu membuat beta sadar bahwa kalesang bukan persoalan keteraturan saja.

Melampaui itu, kalesang adalah moralitas yang menghubungkan kosmologi sosial (oralitas sosial tentang semesta orang Maluku), penalaran mutual (internalisasi oralitas sosial ke kognitif seseorang) dan empati mendalam secara ekspresif (jadi kalo orang bilang akang deng nada kasar itu artinya moral Maluku memang karas, tapi intinya dong peduli).

Kalesang itu muncul melalui oralitas. Sedangkan yang muncul melalui tindakan bukan lagi disebut kalesang, melainkan badandan (kalesang diri), kase mandi ana-ana (kalesang orang lain), pameri kabong (kalesang tampa makan), manyapu kintal (kalesang rumah) dll.

Kalesang terdengar sederhana, tapi manfaat dan dampaknya besar. Terkadang orang Maluku baku tatoki (kepentingan berbeda), tapi juga baku sayang (keintiman) tagal akang. Tergantung kalesang ditempatkan dalam situasi yang mana. Namun secara umum, kalesang adalah cara orang Maluku saling peduli.

Mari kalesang diri, baru kalesang banya hal. Kalo blom bisa kalesang diri, jang coba kalesang orang apalai kintal. Beta bilang jujur kalau beta blom banya kalesang. Beta harus belajar kalesang. Beta pung model rambut saja seng menunjukan bahwa beta kalesang (sampe Oma Lattu bilang, Nyong Tupan sisir rambu tu ka [antua kalesang]).


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button