Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Eltom) – Pemerhati Sosial
“Batamang” (=menemani) merupakan salah satu bentuk hubungan di antara dua sahabat yang bertumbuh bersama dan hubungan itu terbina sampai mereka “hidop deng umur” (=lanjut usia).
“Tamang sapiring sabantal” (=berteman dan makan sepiring, tidur sebantal), ini ungkapan yang menerangkan “hubungan kantal” (=kuatnya hubungan) persahabatan, bahkan sampai seperti “sudara kandong“.
“Batamang dalang susah deng sanang” (=berteman dalam keadaan susah dan senang), menjadi ilustrasi yang menerangkan hubungan “batamang” itu “tar cari untung” (=tidak untuk keuntungan diri sendiri). “Seng bisa lia tamang susah” (=tidak bisa melihat teman dalam kesusahan). Sebab biasanya “tamang bae tuh yang datang kamuka la matawana sampe abis waktu duka” (=sahabat baik itu, saat kita berduka, biasanya karena seseorang yang kita kasihi meninggal, dia menemani sejak awal kedukaan sampai selesainya).
“Batamang” adalah juga bentuk janji untuk tetap bersama, “kalu putus, guntur pica di langit” (=bila hubungan itu putus, petir menyambar di langit). Ini semacam “pamali” agar hubungan itu tidak dibiarkan putus. Semacam bentuk kepercayaan bahwa alam dan Tuhan menjadi saksi atas “katong hubungan” (=hubungan pertemanan itu). Jadi ada legitimasi kepercayaan dalam hubungan tersebut. Karena itu disebut “tamang bae” (=sahabat baik). “Pokonya ada apapa, beta batamang ale” (=apapun terjadi saya menemanimu), suatu wujud kesetiaan/loyalitas yang terjadi karena “su anggap sudara” (=sudah dianggap seperti saudara).
“Batamang” juga menjadi semacam jaminan bahwa kita tidak sendiri, walau terpisah jarak. Misalnya, orangtua yang hendak melakukan perjalanan menjanjikan anak-anaknya “nanti batamang ade dong e” (=nanti menemani adik-adikmu). Jadi ada pengajaran agar seorang kakak “balajar tanggongjawab” (=bertanggungjawab) terhadap adik-adiknya.
Atau seorang anak yang “pi dusung” (=pergi ke dusun) atau suatu perjalanan bersama salah seorang dari orangtuanya, dipesankan “batamang papa/mama babae e” (=temani papa/mama baik-baik). Ini menunjuk pada proses alih atau pelimpahan tanggungjawab sehingga anak itu bisa memperhatikan keadaan atau apa yang menjadi kebutuhan orangtuanya sepanjang perjalanan.
Jadi “katong seng sandiri” (=kita tidak sendiri) karena “tamang ada tambong” (=ada banyak teman).
“Batamang” juga menjadi janji untuk menghadirkan seseorang yang dapat mengganti peran kita bila kita tiada bersama orang yang kita kasihi. “Kalu beta seng ada, ada anana par batamang ale” (=kalau saya tidak ada, ada anak-anak untuk menemanimu), selalu terucap dalam hubungan suami istri. “Kalu beta su abis dari sini, nanti ada dong par batamang ale” (=bila saya sudah selesai kerjakan tugas di sini, ada mereka untuk menemani anda). Ungkapan ini sering terucap dalam proses alih tanggungjawab, misalnya “pindah karja ka tampa laeng” (=mutasi dari suatu pekerjaan).
“Batamang” selalu mengingatkan kita tentang “katong seng hidop sandiri” (=kita tidak sendiri).
“Batamang di lao, batamang di dara” (=berteman di laut, berteman di darat). Ungkapan yang menerangkan hubungan yang tidak bisa dibatasi oleh keterpisahan tempat, atau selalu ada dalam tiap keadaan.
Senin, 24 Mei 2021
Pastori Jemaat GPM Luang Barat, Klasis Luang Sermata
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi