Pendapat

Ambon, Suatu Hari di Idul Fitri

PENDAPAT

Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)

MEI belum usai dan hujan baru saja turun di Ambon. Takbir hingga tahmid saling mengisi di pinggiran kota, di kampung-kampung muslim, seperti Nania, Waiheru, hingga Poka. Jalanan di Jembatan Merah Putih juga serentak basah. Sisi kiri kanan di Galala dan Teluk Ambon mulai berkabut. Lautnya sedikit beriak karena disepoi angin timur. Angkutan Kota (Angkot) jurusan Salobar yang kami tumpangi, mengambil rute Poka-Belakang Soya menuruni jembatan itu dengan cepat. Seolah menghindari hujan lokal yang tampak seperti mengejar. Angkot lalu berhenti di jembatan penyeberangan orang depan Maluku City Mall. Perjalanan kami lanjutkan dengan berganti ke angkutan jurusan Mardika-STAIN. Kali ini kami akan bersilaturahmi ke seorang kolega di Air Kuning.

Persis di seberang jalan kawasan Pandan Kasturi yang sudah kuyup, seorang ibu paruh baya bersama anak perempuannya menghentikan angkot yang kami tumpangi. Mereka tak mengenakan jilbab atau busana muslim seperti mayoritas penumpang lain di angkot. Keduanya adalah saudara Kristiani kami yang datang dari kampung-kampung Kristen di Kota Ambon untuk menjenguk keluarganya yang sedang merayakan Idul Fitri di Air Kuning, daerah sekitar Kebun Cengkeh.

Nyong, kalo nanti nae oto ini bisa singga di Air Kuning toh ?” (Bang apakah angkot juga bisa singgah di Air Kuning?). Tanya si ibu sebelum naik. “Nanti kalo su di Air Kuning, tolong kas turung katong di situ jua e” (Nanti kalau sudah di kawasan Air Kuning, turunkan kami disitu ya). Sambung si ibu seolah meminta.

Seperti biasa, suasana dalam angkot kembali datar. Hanya ada beberapa cerita-cerita kecil si sopir dengan seorang Ibu yang duduk di depan. Beberapa penumpang lain yang mulai turun juga telah mengurangi sesak di angkot. Si Ibu yang duduk di bangku depan, sedang bicara tentang padatnya rumah-rumah penduduk di daerah Kebun Cengkeh.

Daerah-daerah sini su padat e? (Kawasan di sekitaran sini sudah padat ya?). “Iya ibu, daerah-daerah sini parsis deng di bagiang-bagiang Kudamati, Benteng ka atas-ka atas tuh jua. Su seng ada tana kosong spanggal sini lai“. (Ia Ibu. Kawasan di sini persis di kawasan Kudamati, Benteng dan ke atasnya. Hampir tak ada sepetak lahan kosong). Jawab si sopir.

Angkot kami makin melambat karena macet di perempatan Kebun Cengkeh. Sesekali berpapasan sesak dengan rombongan konvoi yang menggunakan busana-busana muslim rapi, lengkap dengan kopiah. Sedangkan, cerita si sopir dan ibu tadi, terus berlanjut. Keduanya saling bertanya dan memperkenalkan lokasi-lokasi di sepanjang kawasan Kebun Cengkeh.

Kebun cengkeh ini sampe ka balakang-balakang sana itu su ada rumah-rumah samua e“. (Kawasan kebun cengkeh ini hingga ke bagian belakang ke arah ana, sudah terdapat rumah-rumah penduduk). Ucap si sopir sambil menunjuk sekitar perempatan kebun cengkeh.

Luas lai padahal e. Kalo itu apa lai?“. (Luas juga ya, kalau kawasan itu namanya apa?). Si ibu bertanya. “Kalo itu tu, yang orang bilang-bilang Gadihu. Akang sampe ka balakang sana tu, turun tanjakan ini sampe maso-maso ka bawa“. (Kalau itu kawasan Gadihu. Kawasannya hingga ke bagian belakang). Jawab si sopir sambil menunjuk ke bagian kanan jalan. Percakapan-percakapan itu lalu makin santai dan lebih biasa. Berbeda saat pertama naik ke angkot.

Saya yang terus membuntuti perbincangan kedua orang ini, coba mendengar lebih dalam lagi pertukaran-pertukaran cerita mereka. Sesekali saya mendengar dengan baik pertanyaan dan jawaban keduanya, sembari merenungkan situasi persaudaraan di Ambon, kota yang pernah di daerah konflik agama 21 tahun lalu. Persis sebelum akhirnya tersegregasi dengan sangat ketat seperti sekarang. Kalau saja, konflik tidak terjadi, maka orang-orang muslim dan kristen bisa “maso-kaluar (saling mengunjungi)” lebih intens tanpa canggung, layaknya saudara sendiri.

Konflik & Kebingungan

Orang-orang Muslim dan Kristen tak mungkin akan kebingungan dan saling bertanya sedemikian rumit tentang daerah-daerah yang sekarang ditinggali secara terpisah, jika saja mereka tak barkonflik 21 tahun lalu. Seorang Muslim atau Kristen setidaknya bisa menghafal betul lokasi-lokasi di kawasan Kristen maupun Muslim karena terbiasa saling berkunjung. Namun, konflik agama saat itu memang kejam dan bejat. Ia tidak saja memperkuat segregasi spasial di Ambon namun juga membentuk segregasi simbolik yang mengendap dengan sangat kuat di benak orang-orang muslim dan kristen.

Pasca konflik, orang secara diam-diam masih saling mengidentifikasi dengan sikap saling curiga (prejudice) berdasarkan tempat tinggal, gambar, logat, dan jenis panggilan. Jika anda mengaku tinggal di Benteng atau Kudamati maka orang tahu persis bahwa anda adalah Kristen. Mereka sontak akan mensimulasi segala ucapan dan perbuatan untuk menghargai anda atau mencairkan suasana. Orang Ambon pasca konflik berusaha untuk mensimulasikan dirinya dalam pemakluman-pemakluman itu untuk menghindari segala jenis ketersinggungan. Sebaliknya, jika tinggal di Kebun Cengkeh atau Batumerah, sudah pasti anda adalah muslim. Daerah-daerah itu ditinggali secara terpisah berdasarkan pembilahan agama.

Segregasi tempat tinggal tersebut, memang bukan pertama kali terbentuk pasca konflik Ambon, melainkan sudah terbentuk sekitar abad ke-17 hingga awal abad-20 saat Ambon berada di bawah kekuasaan Belanda.Persis saat Kota Ambon menjadi salah satu pusat pemerintahan Belanda di Indonesia Timur, selain Ternate, Makassar dan Banda (Widjojo, 2013). Hanya saja, segregasi spasial tersebut makin menguat pasca konflik Ambon 1999.

Belanda punya kebiasaan melakukan stratifikasi sosial dan pemetaan wilayah berdasarkan kelompok etnis atau ras dengan memetakan masing-masing tempat tinggal (Furnivall, 1939 ; 1967). Pemetaan tempat tinggal tersebut misalnya dibagi menjadi, kawasan kelompok Hindia Belanda yang menduduki strata sosial sebagai penguasa dan kawasan kepejabatan. Ini adalah kawasan nomor satu dalam pemetaan spasial Belanda.

Misalnya, kalau di Ambon, kawasan Karang Panjang (Karpan) adalah wilayah elit kolonial yang baru dibangun Belanda di awal abad XX. Karpan adalah kawasan yang kemudian jadi perkampungan kristen. Mirip wilayah Ijen di Kota Malang, Jawa Timur, Kota Baru di Yogyakarta, atau Menteng di Jakarta (Hatib, 2009:183). Sedangkan kawasan Mardika yang adalah wilayah kaum Mardijker yang pernah ditinggali oleh bekas budak dan tawanan yang notabenenya adalah orang-orang Portugis. Mardijker atau Mardika berarti Merdeka. Atau Batumerah yang pada 1656 yang pernah dijadikan tempat tawanan musuh-musuh VOC sebelum akhirnya berkembang pesat menjadi perkampungan muslim. (2009:78).

Kedua, adalah kawasan yang ditinggali oleh kelompok Asia Timur seperti China, Arab dan India. Di Ambon, kawasan ini identik dengan kawasan air mata China atau umum disebut Pacinan. Mereka menduduki struktur kelas dua sebagai perantara atau pedagang. Dengan berdagang mereka menjadi broker yang menghubungkan kelas penguasa dengan pribumi. Kawasan yang ketiga adalah kawasan bagi penduduk pribumi yang majemuk–atau disebut juga Inlandsche Burgerij (Furnivall, 1967). Di Ambon sendiri, pemetaan wilayah (segregasi spasial) oleh Belanda mengikuti persebaran agama dan etnis. Ini adalah proyek politik devide et impera Belanda yang digunakan untuk mengontrol aktivitas dan pergerakan masyarakat pribumi di daerah manapun.

Segregasi tersebut kemudian makin menguat pasca konflik Ambon. Kategorisasi wilayah berdasarkan agama cenderung melebur. Pasca konflik, orang-orang muslim Arab tidak lagi terpisah melainkan menyatu dengan orang-orang muslim lokal. Seperti di Batumerah, Waehaong atau Silale. Sesangkan, orang Kristen tinggal di kantong-kantong penduduk yang berbeda dengan orang Muslim.

Damai Sehari-Hari

Perdamaian sebenarnya tidak ditemukan di workshop-workhsop ilmiah atau di acara-acara seremonial politik, kampus dan kepejabatan, melainkan ditemukan pada aktivitas sehari-hari warganya di akar rumput. Situasi dimana orang berdamai tanpa menyebut itu sebagai damai. Ini perdamaian yang sesungguhnya, karena dilahirkan dari praktik dan bukan jargon. Perbincangan sopir dan seorang ibu di atas adalah contoh penting tentang persaudaraan dan perdamaian di Maluku. Perdamaian tersebut berlangsung tanpa dikapitalisasi oleh proyek-proyek toleransi, workshop, seremoni perdamaian atau aktivitas gimmick lainnya. Perdamaian keduanya berlangsung secara natural dan biasa tanpa perlu menyebutkan itu sebagai damai.

Dua orang yang saling bercerita dan memperkenalkan wilayah-wilayah tinggalnya di angkutan kota adalah gambaran tentang adanya upaya penemuan kembali jejak-jejak masa lalu yang intim antara Kristen dan Muslim sebelum akhirnya dicerai beraikan oleh konflik lalu dikapitalisasi secara seremonial lewat narasi toleransi dan multikulturalisme gimmick. Dimana orang hanya menegosiasikan persaudaran dan perdamaian di Maluku untuk melayani fantasi politik seperti Pilkada ataupun jabatan-jabatan politik lain (Bandingkan dengan catatan penelitian Cahyo Pamungkas, Agama, Etnisitas dan Perubahan Politik di Maluku, 2016).

Dua orang yang sedang bercakap dengan kaget karena segregasi spasial yang ketat mencerminkan masih lebarnya jurang perjumpaan agama-agama dalam kehidupan sehari-hari pasca konflik Ambon. Keduanya tidak berusaha melepas identitas apapun berdasarkan agama, melainkan membawa agama sebagai perkenalan-perkenalan spontan dan alami untuk saling mengabarkan tentang lokasi-lokasi muslim dan kristen yang tidak mereka ketahui pasca konflik. Ibarat dua orang saudara yang dipisah bertahun-tahun lalu bertemu kembali secara mendadak. Ini adalah gambaran situasi akar rumput yang solid dan saling menemu kenali (reinventing) sebelum akhirnya diceraikan oleh konflik. Berbeda dengan laku elit politik di Maluku yang cenderung menggarap persaudaraan antar agama sebagai sarana menegosiasikan kepentingan politik struktural saja.

Keterpisahan tempat tinggal dan percakapan keduanya juga sedang menyiratkan bengisnya stigma simbolik yang lahir pasca konflik, dimana orang melakukan identifikasi spontan yang seenaknya berdasarkan sebutan atau panggilan sehari-hari. Misalnyaa saat dipanggil “usi, bu, nyong, oma atau opa” seseorang spontan teridentifikasi sebagai orang Kristen. Sebaliknya jika dipanggil “abang, caca, tete atau nene” maka diidentifikasi sebagai muslim. Simbolisasi yang terbentuk secara spontan karena konflik dan segregasi fisik.

Percakapan biasa dua orang Ambon di Angkot tersebut sedang membuka penelusuran baru tentang pentingnya persaudaraan. Mereka saling mencari dan memperkenalkan profil agama masing-masing melalui lokasi-lokasi tempat tinggal atau kunjungan silaturahmi.
Si sopir memperkenalkan lokasi-lokasi muslimnya, si ibu juga sedang meluapkan keingintahuannya tentang lokasi-lokasi saudara muslimnya setelah lama terpisah. Persis pada saat yang sama keduanya sedang merayakan perjumpaan dan perkenalan-perkenalan yang alami, tanpa dipaksa, disetting atau diatur melalui workshop-workshop interfaith dan proyek politik seremonial untuk mencitrakan persaudaraannya.

Andai saja konflik tak mensegregasi keduanya, mungkin saja tradisi saling kunjung atau silaturahmi itu akan terbentuk dengan sangat alami dan sangat biasa tanpa perlu kaget atau saling bertanya soal kawasan dan tempat tinggal. Kedua orang tadi, si ibu dan sopi, adalah korban dari segregasi spasial yang mencoba menemukan jalan keluar dengan saling bertanya dan berkenalan melampaui batas-batas agama yang berbasis kewilayahan (beyond the geographic borders). Ini adalah perdamaian biasa yang dilakukan oleh orang-orang biasa di akar rumput, namun berdampak dengan sangat luar biasa untuk Ambon. (*)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button