MalukuNasionalPendapat

Tsunami Hoaks Realistis, Ketika Google Veo Dikawal FB Pro dan TikTok

 

Oleh : Tim Periksa Fakta Mafindo Maluku

“Kemunculan Google Veo, teknologi generatif mutakhir yang mampu menciptakan video realistis hanya dari teks singkat, bukan sekadar terobosan dalam dunia kreatif digital ia adalah lonceng peringatan global”

Dalam genggaman tangan yang tepat, Veo bisa jadi kuas digital yang memberdayakan. Tapi di tangan yang salah, ia menjelma senjata pemusnah massal kebenaran.

Saat teknologi ini berkelindan dengan jaringan profesional penyebar disinformasi sering dijuluki FB Pro dan mesin viral seperti TikTok, dunia informasi berubah jadi medan tempur yang tak kasat mata. Di medan ini, kebenaran tak lagi berteriak, melainkan tenggelam dalam banjir konten palsu yang tampak meyakinkan.

Contoh Kasus Mengerikan : Hoaks Realistik yang Memicu Kekacauan

– Slovakia (2023), Deepfake Calon Presiden

Menjelang pemilu, beredar video pengakuan calon presiden Michal Simecka tentang rencana manipulasi hasil pemilu dan menaikkan harga pangan. Padahal itu deepfake, namun dalam waktu 48 jam, video itu menyebar luas lewat FB dan WhatsApp melalui akun-akun bayangan. Akibatnya fatal, partai Simecka kalah telak, padahal survei terakhir menunjukkan ia unggul 5%.

– India (2024) : Bocoran Ujian Nasional Palsu.

Di tengah kecemasan siswa, muncul video yang seolah berasal dari siaran resmi pemerintah, berisi bocoran soal Ujian Nasional. Video tersebut dibuat oleh AI dan disebar oleh jaringan FB Pro yang menjual paket bocoran seharga Rp500.000 via inbox. Hasilnya, lebih dari 2 juta siswa tertipu, dan pemerintah India terpaksa mengulang Ujian Nasional secara nasional.

Hoaks Tanpa Celah, saat Fakta dan fiksi tidak bisa lagi dibedakan. Google Veo melampaui deepfake konvensional. Kini, siapa pun bisa menciptakan video pidato presiden, kerusuhan, bencana, hingga kampanye politik fiktif dalam hitungan menit, tanpa kamera atau aktor sungguhan.

Celakanya, hasilnya nyaris tak bisa dikenali sebagai palsu. Di era ini, penglihatan bukan lagi jaminan kebenaran. Apalagi ketika konten-konten ini masuk ke pabrik penyebaran FB Pro dan TikTokers viral yang hanya mengejar monetisasi/cuan tanpa peduli akurasi.

FB Pro dan Tiktokers bukan sembarang penyebar hoaks. Mereka adalah operator senyap dan arsitek disinformasi, menguasai algoritma, punya ribuan akun bayangan, grup komunitas, dan koneksi ke influencer. Mereka bekerja secara sistematis, masif, dan terorganisir, menyasar titik-titik rawan, emosi publik, opini politik, dan ketegangan sosial.

Dengan suplai visual hiper-realistis dari Veo, jaringan ini menjadi pemantik kerusuhan digital membentuk realitas alternatif yang menyusup ke kesadaran kolektif tanpa disadari. Veo juga membawa implikasi ekonomi yang mengerikan. otomatisasi besar-besaran dalam industri kreatif.

Editor video, ilustrator, pembuat iklan pendek, hingga animator sederhana semua terancam tergantikan. Biaya produksi nyaris nol, kualitas tinggi, dan waktu pengerjaan instan membuat industri beralih ke AI. Tapi di balik efisiensi itu, ada penggusuran nilai seni dan emosi manusia sesuatu yang tidak bisa digantikan mesin.

TikTok dan platform sejenis adalah ladang subur bagi konten FB Pro. Algoritma mereka dirancang untuk mengejar sensasi, bukan kebenaran. Semakin mengaduk emosi, semakin viral. Konten palsu pun jadi komoditas berharga. Ledakan disinformasi jadi tak terhindarkan: hoaks yang diubah jadi challenge, video palsu dijadikan meme politik, dan satu kebohongan bisa menjalar jadi narasi dominan dalam hitungan jam.

Menghadapi ancaman ini butuh respons kolektif dan berani. Berikut beberapa langkah strategis :

* Regulasi Transparansi AI

Wajibkan watermark dan metadata permanen pada semua konten AI. Platform digital harus secara otomatis memberi label Konten AI yang jelas dan tak bisa dihapus.

* Hukum Khusus Deepfake Berbahaya

Sanksi pidana tegas untuk penyebaran deepfake yang memicu kerusuhan, penipuan, atau manipulasi politik.

* Penertiban Ekosistem FB Pro dan TikTokers

Identifikasi dan blokir jaringan penyebar disinformasi profesional. Reformasi algoritma agar tidak lagi memberi insentif pada kebohongan yang emosional.

* Literasi AI dan Skeptisisme Sehat

Pendidikan publik tentang potensi dan bahaya AI generatif. Dorong budaya berpikir kritis dan verifikasi.

* Kebijakan Ekonomi Adaptif

Fokus pada pengembangan peran manusia dalam inovasi, etika, dan empati dimensi yang tidak bisa di otomatisasi.

Google Veo bukan musuh. Tapi jika dibiarkan tanpa pagar etika, ia akan menjadi alat kolonialisme digital baru, menjajah pikiran dan melemahkan demokrasi dari dalam.

Pertanyaannya apakah kita siap melawan tsunami ini?, atau justru menyerah, dan menyambut zaman baru di mana ilusi adalah kenyataan, dan kebenaran menjadi korban pertama?

Pertarungan ini bukan soal teknologi semata, tapi soal hakikat manusia martabat, kesadaran, dan kemampuan kita membedakan antara apa yang tampak benar dan apa yang benar-benar terjadi. (**)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button