Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)
1. Seminar-seminar perdamaian yg tertutup, eklusif, dan hanya menghadirkan “orang-orang yang [katanya] moderat, tanpa membuka dialog dengan kelompok yang menurut kita “intoleran/radikal/koservatif”, akan membentuk kelompok-kelompok saling klaim yang sama bebalnya. Antara mereka yang merasa diri paling moderat versus yang diklaim konservatif.
Persis pembelahan antara kelompok nasionalis yang suka mengklaim diri paling Pancasilais versus kelompok agamais yang merasa diri paling benar. Antara suku A dan suku B, yang sama-sama mempertahankan pride-nya. Masing-masing berdiri di kutub-kutub yang berjauhan, tanpa keinginan untuk duduk bersama. Atau keluar dari dua pembelahan itu.
Muncul, kelompok-kelompok yg saling mengekslusi karena merasa diri paling benar sambil mengolok-olok satu sama lain.
2. Tidak terintegrasinya damai dengan kerja-kerja kewargaan di akar rumput, hanya mempersempit kanalisasi wacana damai. Kalau tak ingin disebut memperluas gimmick perdamaian. Damai dan segala wacana akademisnya hanya akan berputar di internal orang-orang akademis (kampus, organisasi, birokrasi, elit politik) yang sebenarnya hanya dapat diakses oleh mereka yang katanya [moderat], punya privilage, dari segi pengetahuan maupun kelas sosial.
Aspek damai di level warga tidak ditangkap secara utuh. Melainkan dipersempit sebatas definisi-definisi teoritik yang kaku, ekslusif dan angkuh. Jauh dari kehidupan sosial masyarakat yg kompleks, namun dekat sebagai “proyek tahunan, proyek elit”.
3. Dan ini sebenarnya yang paling penting. Perdamaian tanpa memeriksa masalah ekonomi-politik, adalah seremoni. Damai adalah cipta kondisi untuk memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan politik warga. Kesejahteraaan, keadilan sosial, jaminan keamanan, akses atas ruang hidup misalnya. Demikian, maka damai bukan tujuan. Damai adalah sarana cipta kondisi.
Konflik-konflik warga yang sebenarnya akarnya adalah masalah ekonomi-politik, misalnya soal batas tanah, perbedaan politik, tawuran, hutan, dan macam-macam tidak disoroti, karena kita sibuk membalutnya dengan narasi identitas dan wacana perdamaian, tanpa menyelesaikan hal-hal ini.
Bahkan kita seolah enggan untuk meminta pertanggungjawaban negara untuk mengurusi bagian ini. Kita baru menagihnya setelah terjadi konflik. Itupun dengan alasan perdamaian, multikulturalisme, identitas dan rupa-rupa. Namun, bagian ini absen, terpendam dan tidak terselesaikan.
Menghendaki damai tanpa memeriksa hal-hal ini menjadikan perdamaian tak lebih sebagai wacana seminar tahunan. Di samping menjadikan damai hanya soal urusan dua kelompok masyarakat yg bertikai, bukan soal kehadiran negara dalam memfasilitasi dan merawat keberlangsungannya.
Orang sibuk mencaci kedua belah kelompok masyarakat namun absen dalam memeriksa bahkan memprotes kehadiran negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga secara aman. Kita akhirnya hobby menyalahkan masyarakat, dan bukan meminta pertanggung jawaban negara. Atau keduanya sekaligus.(*)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi