Selain Kompleks Makam Raja-Raja Tallo, Ada Banyak Wisata Sejarah di Kecamatan Tallo

Kami meneruskan perjalanan menuju bekas lokasi benteng berikutnya. Setelah motor di parkir di dekat pos ronda, saya bertanya pada seorang lelaki paruh baya di situ, tentang bangunan kecil berbentuk rumah. Namun, dia mengaku tidak tahu. Alasannya, dia baru datang dari Nunukan.
Di dalam rumah kecil beratap seng, dengan tiang dicat biru dan tembok semen itu terdapat kuburan. Ujung atap rumahnya mengikuti rumah tradisional Makassar, yang bersilang.
Rumah itu diapit 2 tiang bendera, yang tampaknya sudah lama tidak diganti. Bendera Merah Putih yang berkibar, sore itu, terlihat kusam dan koyak pada ujungnya.
Ferdhi mengajak saya melihat-lihat bekas lokasi benteng tersebut. Menurut, informasi yang dia peroleh, tempat itu dikenal dengan nama Pa’banderang oleh masyarakat setempat. Namun, itu merupakan Petilasan Bastion Maccini Sombala.
Saya berjalan mengikuti bentuk lingkaran benteng itu dan iseng-iseng menghitung ketebalan dindingnya. Masya Allah, terdapat 12 bata disusun berlapis. Saya membayangkan, betapa kokohnya benteng itu di masanya.
Benteng Tallo yang kami kunjungi ini, berdasarkan “A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia (Bulbeck, 1992), dilengkapi dengan dua pintu utama, yang terletak di bagian timur dan selatan.
Terdapat 9 bastion, 5 di antaranya masing-masing diberi nama, yakni Bastion Maccini Sombala, Bastion Balang Cidi, Bastion Mangarabombang, Bastion Gampangcaya, dan Bastion Bayoa.
Setelah menelusuri jejak Benteng Tallo, kami balik arah, menuju Kompleks Makam Raja Bone. Di salah satu sisi pintu gerbang, ada simbol songkok To Bone, biasa disebut pula songkok recca atau songkok guru.
Ferdhi mengajak saya melihat-lihat dua makam yang letaknya terpisah. Makam itu masing-masing merupakan makam La Tenripale To Akkeppeang Arung Timurung (Raja Bone XII), dan makam La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo Arung Palakka (Raja Bone XXIII).
La Tenripale To Akkeppeang Arung Timurung, memerintah tahun 1616-1631. La Tenripale wafat di Tallo, tahun 1631, dan mendapat gelar anumerta Matinroe ri Tallo. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya, La Maddaremmeng Opunna Pakokoe Arung Timurung, sebagai Raja Bone XIII.
La Tenri Tappu To Appaliweng Daeng Palallo Arung Palakka, Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin, memerintah sebagai Raja Bone XXIII, sejak tahun 1775 hingga 1812.
La Tenri Tappu wafat di Rompegading pada tahun 1812, dan mendapat gelar anumerta Matinroe ri Rompegading. Beliau kemudian digantikan anaknya La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka sebagai Raja Bone XXIV.
Semasa hidupnya, La Tenri Tappu salah satu tokoh penting aristokrat Bugis, yang turut menggerakkan tradisi penulisan, selain dikenal pula sebagai penganut Tarikat Khalwatiah. Salah satu karyanya yang terkenal Nurul al-Hadi atau dalam bahasa Bugis disebut Tajang Paatiroang. Beliau merupakan pengagum ajaran-ajaran Syekh Yusuf Taj Al-Khalwatiah.
Sebelumnya, La Tenripale Sultan Adam, Raja Bone XII, telah mendalami tasawuf Islam. Bahkan beliau dikenal sebagai penganjur Islam dan ajaran tasawuf pada masyarakat Makassar dan Bantaeng.
Beliau memperdalam ilmu agama langsung dari ulama Melayu, yakni Datuk Ditiro dan Datuk Ribandang. Beliau berkali-kali mengunjungi Gowa untuk urusan memperdalam agama Islam, yang kala itu pengajiannya berpusat di Kalukubodoa.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi