Selain Kompleks Makam Raja-Raja Tallo, Ada Banyak Wisata Sejarah di Kecamatan Tallo

Tertulis bahwa di sinilah jejak dan peninggalan Raja Tallo VI, I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, saat berjumpa dan berjabat tangan dengan sosok lelaki bersorban hijau dan berjubah putih.
Usai berjabat tangan, telapak tangan Sang Raja bertuliskan aksara yang ia tidak tahu artinya. Belakanga diketahui bahwa tulisan itu merupakan kalimat Syahadat.
Raja Tallo bergegas menemui Datuk ri Bandang, yang tengah berlabuh di Pantai Tallo. Beliau memperlihatkan tulisan di telapak tangannya tersebut. Itulah awal mula Raja Tallo VI memeluk agama Islam.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriyah atau 22 September 1605 Masehi. Momen ini juga dicatat sebagai munculnya kata “Akkasaraki” (Makkasaraki).
Di Kerajaan Gowa-Tallo, I Malingkaan Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, merupakan orang pertama yang memeluk agama Islam. Beliau kemudian bergelar Karaeng Matoaya Sultan Abdullah Awwalul Islam. Tahulah saya, nama Jalan Sultan Abdullah yang disematkan di ruas jalan itu diambil dari nama Raja Tallo VI.
Melewati pintu gerbang, saya lalu ke Jalan Sultan Abdullah II, untuk menuju ke Pantai Marbo. Di sini, saya bertemu dengan Ferdhi bersama istri dan anaknya. Kami sempat ngobrol sebentar, membincangkan kegiatan yang bisa dilakukan di sini.
Lokasi ini merupakan wilayah binaan teman-teman Ruang Abstrak Literasi. Terdapat ikon bertuliskan PANTAI MARBO dengan latar perahu-perahu nelayan dan lautan luas.
Di ruang publik ini, ada pula tempat duduk dari beton, yang dibuat dengan bentuk-bentuk tertentu. Ferdhi dan teman-teman kerap menggelar lapak baca bagi anak-anak nelayan agar mereka punya akses pada buku-buku bacaan. Saya sempat hadir dalam salah satu kegiatan lapak buku.
Kami lalu berboncengan menapaki jalan beton sempit yang membelah kampung di situ. Motor kami berjalan pelan karena banyak anak-anak bermain sepeda. Ada pula yang bermain sepeda listrik.
Ferdhi menunjuk ke suatu gundukan tanah yang tertutup belukar dan bongkaran rumah. Sambil menyetir Honda Scoopy, saya menoleh ke arah yang dimaksud. Benar. Terlihat ada bekas-bekas susunan bata, yang oleh Ferdhi disebut benteng.
Di tempat berikutnya juga kami melihat bekas-bekas benteng yang memprihatinkan. Bentuknya hanya berupa susunan bata setinggi lebih satu meter. Bata-bata itu berlumut, dan nyaris akan menyatu dengan tanah.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi