Pendapat

Satu Piring Nasi Gratis, Seribu Piring Lainnya Rontok: Dilema Kebijakan Pahit

PENDAPAT

Oleh: Amril Nuryan (Produser Film di Finisia Production)


Pemerintah memangkas anggaran hingga 300T, mulai dari PU, rapat-rapat, acara seremonial, ATK sampe perjalanan dinas, semua itu dilakukan untuk penghematan kah? atau untuk membiayai program makan bergizi gratis?

Jika untuk makan siang gratis. Di satu sisi, anak-anak sekolah dapat sarapan bergizi. Di sisi lain, bapak-bapak yang dulu mengantar peserta diklat dengan mobil travelnya kini menganggur.

Ini seperti memindahkan air dari ember yang bocor ke gelas yang kosong. Solusi? Bisa jadi. Tapi di baliknya, ada cerita pilu yang tersembunyi.

Bayangkan Pak Heru, sopir travel di Bandung yang selama 10 tahun mengandalkan orderan dinas pemda. Setiap bulan, dia bisa mengantarkan peserta seminar ke hotel-hotel di Lembang atau Pangalengan.

Uangnya cukup untuk bayar sekolah anak dan cicilan mobil. Tapi sejak anggaran dipangkas, orderan menghilang. Mobil travelnya kini mangkrak, digantikan oleh tumpukan cicilan mobil, tagihan listrik dan air yang belum dibayar.

Atau Ibu Siti, pemilik usaha catering di Semarang yang 80% pelanggannya adalah instansi pemerintah. Dulu, setiap pekan ada pesanan nasi kotak untuk rapat dinas. Sekarang?

“Sejak ada penghematan, pesanan turun 70%. Saya harus pegang tiga karyawan, tapi mau bayar gajinya dari mana?” katanya sambil menyeka keringat.

Bisa saja bu Siti menjadi vendor makan bergizi gratis, tapi apa semudah itu? yakin program MBG ini gak dikuasi oleh lingkaran-lingkaran orang-orang yang dekat dengan pemerintah?

Program makan gratis mungkin menyelamatkan perut anak-anak, tapi di saat yang sama, menghancurkan mata pencaharian orang tua mereka. Ironis kan

Tidak ada yang salah dengan program makan bergizi. Data UNICEF menunjukkan, 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting.

Program ini bisa jadi investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Tapi, kebijakan ini seperti membangun rumah dengan merobohkan pondasi tetangga.

Pemangkasan anggaran di sektor jasa (event, transportasi, percetakan) tidak hanya memengaruhi perusahaan besar. Yang paling terpukul adalah usaha mikro: sopir harian, tukang dekorasi, penjaga kios fotokopi dekat kantor dinas, atau ibu-ibu yang menjual kudapan di sekitar gedung seminar.

Mereka ini tidak punya tabungan tebal atau akses kredit bank. Ketika proyek pemerintah berhenti, mereka langsung terlempar ke jurang kemiskinan. Ini butterfly effect yang sangat besar dampaknya…

Kebijakan Tanpa Empati: Solusi atau Bumerang?

Pemerintah mungkin berpikir: “Ini hanya efek samping sementara.” Tapi bagi keluarga yang kehilangan pencari nafkah, “sementara” bisa berarti anaknya putus sekolah atau anggota keluarga sakit tak bisa berobat.

Lalu, Harus Ngirit Sambil Menangis atau Boros Sambil Tertawa?

Ini bukan soal pilihan hitam-putih. Negara tetap perlu efisiensi, tapi caranya harus cerdas dan berempati. misal nih:

1. Jangan Potong Anggaran, Tapi Perbaiki yang Boros

Alih-alih memangkas semua anggaran rapat, pemerintah bisa hilangkan mark-up dan para tikus-tikus proyek. Rapat tidak perlu di hotel mewah, tapi di gedung serba guna milik pemda. Peserta tidak perlu dapat goodie bag mahal, cukup dokumen digital. Yang jelas cash flow di masyarakat (UMKM) tetap jalan.

2. Redistribusi dengan Pelindung Sosial

Jika anggaran dipotong, sebagian dana mungkin bisa dialirkan ke bantuan langsung untuk pelaku usaha terdampak. Contoh: program pelatihan usaha untuk sopir travel agar bisa beralih jadi sopir logistik e-commerce, atau bantuan modal untuk UMKM yang ingin masuk ke pasar digital.

3. Transisi Bertahap, Bukan Seketika

Beri waktu 1-2 tahun bagi usaha kecil untuk beradaptasi. Jika anggaran seremonial misalnya dipangkas, ya pelan-pelan lah bos, cukup potong 20-30% tahun ini, jangan langsung di-cut kayak gitu.

Please jangan Jadikan Rakyat Jadi Kelinci Percobaan, Kebijakan ini mengingatkan kita pada pepatah: “Jangan menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru.” Negara tidak boleh hanya fokus pada “perut yang dikenyangkan”, tapi juga “tangan yang dipekerjakan”.

Jika program makan gratis dibiayai dengan mengorbankan ribuan pekerja, maka yang terjadi adalah lingkaran setan: anak-anak dapat makan bergizi hari ini, tapi besok, orang tuanya tidak bisa membeli seragam sekolah karena PHK.

Penutup: Kebijakan Harus Memeluk, Bukan Menampar…

Pemerintah perlu ingat: setiap angka di spreadsheet anggaran adalah nyawa. Di balik penghematan 300 triliun ini ada ribuan pekerja, vendor, UMKM, dan lain lain yang terancam jatuh miskin.

Jika makan bergizi ingin jadi kebijakan berkelanjutan, mungkin bisa dicari sumber anggaran yang tidak “memakan” saudara sendiri. Misalnya, optimalisasi pajak korporasi, tekan kebocoran anggaran proyek fiktif, atau kurangi belanja hibah yang tidak jelas.

Jangan sampai niat mulia mengatasi stunting malah membuat balita itu, 10 tahun lagi, jadi anak putus sekolah karena ayahnya—seorang sopir travel— tak lagi punya uang untuk membiayainya.

Ditulis sambil membayangkan seorang anak senyum makan nasi bergizi, sementara di luar sekolah, ayahnya termenung memandangi mobil travel yang tak lagi menyala.(*)

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button