Ekonomi & BisnisInternasional

Pulau Penguin Dikenai Tarif Trump? Serius?!

PENDAPAT

Bayangkan ada pulau sunyi yang hanya dihuni penguin, jauh di Antartika, tanpa satu pun manusia, toko, apalagi pelabuhan dagang. Tapi tiba-tiba, pulau itu masuk dalam daftar target tarif dagang Amerika Serikat. Kedengarannya konyol, kan?

Tapi inilah yang benar-benar terjadi.

Sebagai warga dunia (dan warga Indonesia yang ikut merasakan dampak dinamika global), saya terkejut membaca berita soal Pulau Heard dan Kepulauan McDonald—dua wilayah terpencil milik Australia yang bahkan tidak berpenghuni—ikut disasar tarif perdagangan oleh pemerintah Donald Trump.

Padahal untuk sampai ke sana, butuh pelayaran dua minggu penuh dari Perth. Dan jelas, tidak ada aktivitas ekonomi nyata di sana. Tidak ada ekspor. Tidak ada transaksi. Hanya ada… penguin.

Tapi yang lebih mengejutkan: mereka dimasukkan ke daftar wilayah yang dikenai tarif 10 persen oleh Amerika. Dan bukan cuma itu—Pulau Norfolk, yang penduduknya cuma sekitar 2 ribuan, bahkan dikenai tarif hingga 29 persen!

Kenapa Hal Ini Jadi Penting Buat Kita di Indonesia?

Mungkin kamu berpikir, “Apa urusannya kita dengan pulau-pulau kosong di Australia?”

Saya pun awalnya berpikir begitu.

Tapi coba renungkan: kalau wilayah tak berpenghuni pun bisa disasar kebijakan ekonomi global, bagaimana dengan Indonesia yang punya ribuan pulau kecil, sebagian besar belum berkembang dan minim perlindungan hukum?

Bayangkan jika suatu saat daerah seperti Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, Pulau Widi di Laut Halmahera, Maluku Utara, atau Pulau Enu di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, tiba-tiba masuk radar perang dagang internasional—tanpa dasar yang jelas. Apa yang bisa kita lakukan?

Data dari Bank Dunia menyebut Amerika mengimpor barang senilai Rp22,8 miliar dari Pulau Heard dan McDonald pada 2022. Anehnya, hampir semua masuk kategori “mesin dan listrik”.

Tunggu dulu. Mesin dan listrik dari pulau kosong?

Apa mungkin penguin-penguin itu sedang produksi chip semikonduktor? Atau mungkin mereka membuka pabrik rahasia?

Tentu saja tidak.

Administrator Pulau Norfolk, George Plant, bahkan terang-terangan mengatakan: tidak ada ekspor ke AS dari wilayahnya. Jadi… dari mana data itu berasal?

Dampak Global dari Kebijakan yang Ngawur

PM Australia, Anthony Albanese, menyindir tajam, “Tidak ada tempat di Bumi yang aman.” Dan saya paham maksudnya. Karena jika logika kebijakan seperti ini dibiarkan, siapa pun bisa jadi korban.

Bahkan kita di Indonesia harus waspada.

Ingat saat sawit Indonesia dijegal oleh Uni Eropa? Atau ketika ekspor nikel kita dihentikan, lalu digugat di WTO?

Polanya sama. Ketika kekuatan ekonomi besar bertindak semaunya, negara berkembang dan wilayah kecil sering jadi tumbal.

Dari cerita pulau penguin ini, saya belajar satu hal: politik dagang itu bisa menyasar siapa saja, kapan saja, bahkan tanpa alasan masuk akal.

Sebagai masyarakat Indonesia, kita perlu ikut mengawasi bagaimana kebijakan luar negeri—terutama dari negara besar—bisa berdampak ke kita, langsung atau tidak langsung.

Apa yang bisa kita lakukan?

  • Dorong pemerintah kita agar proaktif melindungi wilayah terpencil dan ekonomi kecil.

  • Kritis terhadap data dan kebijakan global—karena tidak semua yang terlihat di atas kertas mencerminkan realitas.

  • Dan tentu saja, jangan diam saat ada kebijakan ngawur yang bisa mengancam kedaulatan kita.

Akhir Kata…

Jika pulau kosong yang dihuni penguin saja bisa dikenai tarif perdagangan, apa kabar pulau-pulau kecil Indonesia yang masih “tidur” dan belum dilirik dunia?

Jangan sampai kita baru sadar ketika sudah terlambat.(Embong Salampessy)

 

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button