Jam di ponsel menunjukkan pukul 03.06 pagi. Saya terbangun ketika ponsel bergetar. Ada pesan masuk dari seorang kawan di Lembaga Pers Mahasiswa. Dia menanyakan alasan kenapa saya belum juga lelap tertidur. Saya pun balik bertaya begitu.
Entah angin dari mana dia berceletuk, “Setidaknya kematian datang, kita tidak mati karena kebodohan, melainkan kehidupan”. Saya menanggapinya dengan serius. Setelah bercanda ini dan itu, kami sampai pada obrolan yang membahas tentang isu perempuan.
Dia lalu mengirimkan sebuah tulisan panjang yang sedang dia tulis. “Tolong beri masukan do,” katanya. Saya diam sebentar, membaca tulisannya, setelah itu kami asik membahas isi tulisannya. Dia lantas mengutarakan keinginannya membaca buku terkait isu perempuan.
Ia mengirimkan sebuah foto cover buku Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer karangan Pramoedya Ananta Toer yang sedang dibacanya. Saya pun tak mau kalah. Beberapa buku bertema isu perempuan saya foto dan kirim padanya.
Saya kemudian bersandar di dinding kamar, ditemani cahaya kuning lampu tidur yang hanya menerangi sebagian ruangan. Saya menarik selimut menutupi tubuh yang mulai merasa dingin. Suara ketikan pada ponsel memenuhi kamar.
“Katong memang harus banyak baca tentang perempuan. Supaya seng terpenjara dalam tubuh sendiri,” isi pesan yang saya kirim kepadanya.
Dia membalas dengan pesan yang lumayan panjang. Tentang kekhawatirannya terhadap rendahnya kesadaran perempuan, untuk belajar isu perempuan. Beberapa diskusi terkait perempuan yang dia ikuti, banyak pembicaranya adalah laki-laki. Padahal yang paling tahu tentang perempuan adalah perempuan itu sendiri.
Ketika laki-laki yang bersuara tentang perempuan, itu menunjukan perempuan masih enggan menyuarakan kemerdekaannya. Menurutnya perempuan harus cerdas agar tidak dikadali laki-laki, yang berdalih membela kaum perempuan.
Pagi itu kepala kami seperti “berasap”. Isu perempuan bukan perkara sederhana. Bagi perempuan sendiri masih banyak yang belum berani beranjak dari budaya-budaya patriarki atau stigma yang masih membelenggu perempuan.
Kenapa perempuan selalu salah? Mengapa ia tak boleh bicara? Mengapa perempuan harus menjadi pihak yang paling ikhlas, paling sabar, dan paling tidak boleh melawan? Tulis Kalis Mardiasih dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan yang sedang tergeletak di rak buku. Dari percakapan iseng “Kenapa belum tidur?” Sekarang saya menemukan teman untuk berbagi persoalan perempuan.
Pembahasan berat itu membuat mata saya ikutan berat, ingin segera menutup. Sebelum pagi datang saya lelap dalam mimpi yang diberondong seabrek pertanyaan. Kawan saya lebih jago menahan kantuk. Dia yang suka menyeruput kopi hitam itu, mungkin sudah menandaskan secangkir kopi untuk pengganti tidurnya, sedang saya sudah menakar mimpi sebelum subuh.
Penulis: Yolanda Agne, mahasiswa semester V, Fakultas Ushuludin Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi