Nasional

Papua Bukan Kuali Kedunguan kita

SUARA WARGANET

Sungguh sangat disesalkan bahwa orang sekelas ibu Risma, masih menganggap bahwa Papua adalah tempat buangan bagi pejabat tak becus. Maaf ibu, salah satu cara untuk menguraikan sengkarutnya persoalan Papua adalah dengan menempatkan pejabat pemerintahan yang berintegritas tinggi dengan kualitas premium, bukan sekedar membuang ‘ampas bungkil (dedak)’ kesana.

Bukan cuma ibu Risma!

Telah lama beta perhatikan kesenjangan narasi yang sangat lebar antara banyak pejabat maupun orang-orang di luar Papua dengan masyarakat di Papua dalam banyak hal. Tak sedikit orang mengaku bahwa penyelesaian masalah Papua harus ditempuh melalui jalan dialog. Sayangnya narasi yang dibangun sangat dominatif terhadap Papua.

Segalanya cenderung ditentukan tanpa membuka ruang partisipatoris yang imbang. Memoria passionis Papua bahkan seakan tabu untuk diakomodir dalam pengelolaan kuasa di balik pembentukan narasi-narasi hegemoni selama ini. Pendek kata, menakar Papua haruslah dari Jakarta. Orang-orang Papua seakan tak punya hak untuk menimbang Indonesia dari kacamata Papua.

Semestinya sebagai bangsa yang besar, kita harus memiliki kebesaran hati untuk, dengan penuh empati, mengaku ada yang salah dari cara berpikir dan perilaku kita terhadap Papua. Selama kita tak berjiwa besar untuk melakukannya maka rekolonialisasi Papua dalam pikiran dan perilaku kita tidak akan berhenti. Jika sudah begitu, alih-alih kita selesaikan masalah Papua untuk mewujudkan Papua Tanah Damai, sebaliknya kita semakin memperdalam lobang hitam Papua di dalam perjalanan bersama bangsa ini.

Baca Juga: Prokes Orkes

Tentu beta masih berharap bahwa cetusan spontan Ibu Risma dalam ‘kemurkaannya’ hanyalah guratan tipis stereotipe terhadap Papua, dan akan segera hilang ditelan luasan kebeningan hati Ibu Risma yang selama ini beta kagumi. Kita memang perlu terus belajar untuk menjadikan Papua sebagai sasaran dari empati dan rasa cinta kita, bukan menempatkannya sebagai kuali yang menampung semua kegeraman, kemarahan, pelabelan, dan kedunguan kita.

Jacky Manuputty


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button