 
						Oleh: Abu Rery (Guru Sejarah Islam, MTsN Ambon)
“Ambon selalu mencintai Jakarta apa adanya, tapi Jakarta mencintai Ambon sebab ada apanya.”
Penggalan puisi manis ini ditulis oleh seorang kawan, setelah ia menempuh perjalanan panjang dari Ambon ke Jakarta. Barangkali, di antara lelah dan rindu di perjalanan itu, ia menemukan sesuatu yang lebih dalam tentang relasi dua kota ini.
Hubungan antara Ambon dan Jakarta memang telah terjalin begitu lama. Dalam sejarah bangsa ini, anak-anak Ambon telah memberi warna penting bagi keberlangsungan Jakarta—bahkan bagi Indonesia secara keseluruhan.
Sejak abad ke-19, ketika perjuangan melawan penjajahan bergelora, Ambon telah menyalakan api perlawanan lewat para putra-putrinya: Thomas Matulessy yang bergerilya di Saparua, disusul oleh Anthony Rhebok, Siad Perintah, Paulus Tiahahu, hingga sang srikandi Christina Martha Tiahahu.
Mereka berjuang dengan keberanian yang tak kenal gentar untuk mengusir penjajahan. Lalu memasuki pertengahan abad ke-20, muncul lagi deretan nama yang tak kalah penting: Johannes Leimena, Johannes Latuharhary, Alexander Jacob Patty, Willem Johannes Latumeten, A. M. Sangadji, hingga Karel Satsuitubun.
Mereka semua hadir dengan semangat yang sama — semangat untuk hidup, berjuang, dan membersamai Jakarta serta Indonesia.
Akar Sejarah: Pahlawan yang Datang dari Timur
Sebelum kata “Indonesia” terucap, bahkan jauh sebelum seruan “Republik” menggema di seluruh tanah Jawa dan Nusantara, seorang pahlawan dari bumi timur telah lebih dulu berdiri menentang kesombongan penjajah.
Dialah Kapitan Pattimura, pejuang yang bukan sekadar simbol keberanian, tetapi juga lambang kehormatan dan keteguhan hati rakyat Maluku. Bersamanya, dalam deru perjuangan itu, hadir sosok muda bernama Christina Martha Tiahahu — gadis Ambon yang tak gentar mengangkat senjata melawan penindasan.
Sebelum kata “Merdeka” ditulis besarbesar di dinding sejarah bangsa, Martha muda telah mewujudkan arti kemerdekaan itu dengan darah dan keberaniannya. Keduanya bukan hanya pahlawan bagi Maluku, tetapi juga bagian dari denyut awal sejarah bangsa yang kelak disebut Indonesia.
Dari tanah timur, mereka menyalakan obor perjuangan yang sinarnya menyinari seluruh kepulauan negeri ini. Jejak yang mereka tinggalkan menjadi nyala api yang tak pernah padam. Semangat perlawanan itu terus hidup, menembus batas waktu dan generasi.
Dari Pattimura dan Martha Christina Tiahahu, bara perjuangan itu kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh besar Maluku seperti J. Latuharhary, J. Leimena, dan A. M. Sangadji — para putra bangsa yang membawa nama Maluku ke panggung sejarah nasional.
Penulis     : Redaksi 
 Editor       : Redaksi
 
				 
					


