Pendapat

Musim Timur di Selatan Seram: Hujan, Makanan dan Ikatan Sosial

PENDAPAT

Oleh: Ardiman Kelihu (Mahasiswa S2 Fisipol UGM dan Fasilitator pada gerakan Interfaith di Maluku)

Sekumpulan burung Trinil putih mulai bermigrasi ke timur Pulau Seram. Orang-orang mencari owe di sepanjang meti Tanjung Haya. Ini pertanda bahwa masyarakat di pesisir Seram Selatan Maluku, Kecamatan Tehoru hingga Telutih bersiap-siap memasuki musim timur.

Musim timur adalah sebutan lain bagi musim hujan yang berlangsung selama enam (6) bulan dalam setahun. Siklusnya dimulai dari April hingga September. Dalam bulan-bulan ini, kesulitan dan kelangkaan makanan selalu dirasakan.

Umumnya untuk berjaga-jaga di musim timur, masyarakat Selatan Seram selalu menyiapkan stok makanan kering satu-dua bulan sebelumnya. Berbeda dengan masyarakat Maluku yang tinggal di perkotaan dimana mereka bisa mengandalkan swalayan besar atau pendapatan bulanan bagi kebutuhan harian.

Musim timur sering dianggap sebagai musim paling menderita bagi masyarakat di desa-desa pesisir Selatan Seram. Hujan berbulan-bulan telah menghambat sejumlah aktifitas masyarakat, memutus akses transportasi, mengakibatkan banjir, kelangkaan makanan bahkan menghilangkan pendapatan. Akses laut tidak bisa ditempuh karena gelombang tinggi, akses darat juga terputus sehingga bahan makanan susah diperoleh. Ikan jadi langka karena tak ada nelayan yang melaut, sayur jadi susah, dan bahan makanan lain turut berkurang.

Masyarakat biasanya menyimpan persediaan makanan kering seperti ikan, sagu, kripik, cumi kering, ikan julung maupun biji durian bakar di tempayang atau diasapi di atas para-para (para-para: tempat semisal loteng yang letaknya di atas tungku batu).

Sayuran yang diandalkan pada musim ini biasanya, buah Pepaya. Selain karena jarang dipanen, juga karena tumbuh di halaman rumah warga. Sayur Paku di belakang desa, maupun jamur-jamur segar yang  tumbuh subur sepanjang musim hujan. Bagi mereka yang punya pekarangan agak luas, sayur katuk atau matel biasanya jadi pilihan.

Jika hujan deras berlangsung hingga berminggu-minggu, maka berbagai makanan olahan bakal dibuat dari stok itu. Sagu kering atau basah adalah bahan makanan utama selama musim timur. Sagu bisa diolah jadi lelepee, sinoli, payohinfari-fari untuk disantap mengganti sarapan atau minum teh sore. Atau juga papeda yang biasa dimasak untuk mengganti nasi. Sedangkan cumi atau ikan julung kering cukup digoreng saja. Nasi? Hampir tidak ada. Hanya mereka yang berpenghasilan lebih yang bisa menyediakannya di musim timur. Stok beras yang masuk ke desa-desa semakin sulit karena akses laut dan darat biasanya terputus.

Sejak dulu, stok ikan di musim timur diperoleh dari masyarakat Seram Timur. Beberapa warga dari pesisir Seram Timur biasanya datang menjual ikan julung keringnya ke desa-desa di pesisir Selatan Seram. Hubungan ini kelak membentuk relasi kekeluargaan diantara orang Seram Timur dengan orang Seram Selatan, maupun stok makanan yang dikonsumsi saat musim timur.

Sebagai catatan, berbekal perkenalan atau menutur sejarah singkat, mereka lalu tinggal sebentar di rumah warga. Baik karena cuaca makin memburuk atau juga perahunya mengalami kerusakan. Bahkan beberapa dari mereka akhirnya menikah dengan warga setempat dan tinggal di Seram Selatan.

Jika sayup bunyi tifa diop terdengar dari laut, pertanda ada diop atau belang (perahu ikan berukuran besar) yang datang menjual ikan julung dari Seram Timur.

Masyarakat pesisir Tehoru-Telutih pun biasanya membelinya langsung di pantai. Sedangkan perahu-perahu nelayan dari Seram Timur itu hanya berlabuh. Beberapa dari mereka biasanya berenang untuk membawa ikan-ikan julung itu ke bibir pantai.

Bagi masyarakat pesisir Selatan Seram, mempunyai tumpukan ikan julung ber-waya-waya (waya : ukuran bagi jumlah ikan julung yang dianyam dari bambu) adalah stok makanan paling berharga. Pertanda mereka masih bisa makan untuk musim timur.

Masyarakat di pesisir Selatan Seram punya cara bertahan untuk mengelola sejumlah bahan makanan itu untuk dinikmati saat musim timur tiba. Di tengah musim timur, mereka tidak punya pendapatan sama sekali. Apalagi umumnya mereka adalah nelayan dan petani kebun. Beberapa dari mereka yang punya pohon pala kadang berbuah di musim timur. Tapi pala di musim timur biasanya adalah buah pala sisa panen, sehingga jumlahnya juga tak banyak dibandingkan dengan musim pala normal. Dari hasil panen pala timur itu, mereka pun hanya membeli beras, gula atau stok makann untuk satu dua hari.

Dalam kondisi kelangkaan tersebut warga biasanay saling membarter bahan makanan. Mereka yang punya ubi, akan bertukar dengan yang punya ikan atau sagu.

Selain derita, musim timur di pesisir Selatan Seram juga memberi ruang bagi masyarakatnya untuk bertahan (survive) di tengah keterbatasan. Kondisi yang demikian turut menguji dan membentuk ikatan kolektif atau relasi baku bantu antar warganya di tengah krisis.

Hubungan masyarakat Selatan Seram dengan Seram Timur yang awalnya tumbuh dan berlangsung di musim timur, perlahan-lahan berubah dan terganti oleh model relasi sosial baru.

Tapi, begitulah, musim timur. Ia adalah derita sekaligus penguji bagi ketahanan sosial masyarakat. Musim timur pada akhirnya merefleksikan kelangkaan makanan dan ketiadaan pendapatan sekaligus pada saat yang sama menguji kesiap-siagaan masyarakatnya untuk membangun hubungan sosial.

Makan di Depan Tungku

Hujan deras sedari malam berlanjut ke pagi hari. Bunyi kukur kelapa (parutan kelapa manual) dari dapur sudah terdengar. Pertanda ibu telah sibuk menyiapkan makanan pagi. Mereka mulai membuka tempayang, tong, atau karung tempat mereka menyimpan sejumlah persediaan makanan untuk musim timur.

Sagu kering yang dijemur, ikan make, ikan garam, dodol durian, hingga remah sagu. Beberapa juga menyimpan makanan lain seperti kenari kering, atau biji durian di para-para.

Bagi mereka yang dapat memanen sagu saat timur,  biasanya stok sagu mentah juga disiapkan dalam beberapa tumang (tempat menaruh sagu mentah dari anyaman daun rumbia). Beberapa juga harus menyiapkan kumbili atau pisang mentah untuk direbus.

Stok makanan tersebut diolah menjadi bermacam-macam. Lelepee, sinoli, payohin, papeda atau sagu kering dicelup ke teh hangat. Lalu semuanya berkumpul di dapur yang letaknya tak jauh dari perapian. Makanan ditaruh pada satu wadah besar, dengan piring pada tangan masing-masing. Semua anggota keluarga pun mencicipinya ditemani hujan sembari bercengkrama ringan. Mereka seperti merayakan kesederhanaan, keterbatasan dengan kebahagiaan. Maklum, di kondisi yang demikian, tak ada ditemukan sikap belagu soal jenis makanan. Mereka seperti sudah terbiasa. Memang begitulah musim timur, makan apa adanya di depan tungku sudah terasa lebih enak.

Masyarakat Selatan Seram sedari dulu telah punya pengalaman meramu makanan untuk stok musim timur. Mereka juga punya pemahaman atas siklus alam dan teknik persediaan makanan saat musim timur dituturkan secara turun temurun. Mereka bahkan sering membentuk kelompok sosial pengolahan makanan secara bersama- sama sebelum musim timur tiba.

Biasanya ibu-ibu membakar sagu secara berkelompok lalu hasilnya dibagi bersama. Laki-laki biasanya secara berkelompok bertugas memanen sagu untuk dibawa pulang ke rumah. Sisa olahan dari sagu itu mereka simpan dan bisa diolah jadi stok makanan seperti ela.

Pada sisi lain, ibu-ibu juga sering patungan uang untuk membeli ikan julung kering untuk disiapkan saat musim timur. Adanya kelompok-kelompok masyarakat yang menyediakan stok pangan di musim timur, justru menunjukan tingginya ikatan kolektif mereka untuk saling menopang.

Berbeda misalnya dengan tradisi masyarakat kota hari ini, dimana kelangkaan justru jadi momen berebut barang dan penumpukan. Namun seiring waktu, kolektifitas itu bergeser secara perlahan.

Pergeseran Makanan & Ikatan Sosial di Seram Selatan pada Musim Timur

Dalam amatan penulis, terjadi semacam perubahan interaksi dan ikatan kolektif dalam masyarakat Seram Selatan saat menyikapi musim timur dari masa ke masa. Pergeseran ini turut berpengaruh dalam penyediaan stok makanan di musim timur. Pergeseran ini lebih lanjut dapat dibagi menjadi tiga periode.

Pertama, periode sekitar 1980-an hingga 2000-an awal, dimana ketergantungan masyarakat Seram Selatan sangat tinggi pada Seram Timur. Utamanya dalam penyediaan ikan. Selain ikan, pangan lokal adalah yang paling mereka andalkan saat musim timur.

Biasanya selain memproduksi sendiri sebelum musim timur, mereka juga memperolehnya dari sanak keluarga di desa tetangga. Umumnya stok makanan ini diperoleh secara cuma-cuma atau melalui sistem barter hasil kebun.

Pada periode ini penyediaan stok makanan di musim timur masih berbasis pangan lokal seperti sagu. Makanan–makanan yang dihasilkan pun masih seputar payohin, sinoli, papeda, owe, biji durian bakar, sagu atau kumbili (ubi rebus).

Ketergantungan pada hasil alam itu masih sangat tinggi disebabkan melimpahnya komoditas tersebut di hutan. Ikatan sosial antara warga untuk saling membantu memberi makanan atau bertukar makanan pun masih didasari ikatan sosial dan keluarga.

Fenomena itu kemudian berkembang dan mengalami pergeseran. Baik dari bahan pangan maupun kolektifitas. Meskipun masih tergantung pada pengolahan stok musim timur itu, masyarakat Selatan Seram kemudian mengalami pergeseran dari segi pemenuhan pangan.

Kedua, pada medio tahun 2000-an ketergantungan mereka atas stok ikan dari Seram Timur sudah berkurang. Stok ikan mulai mereka peroleh dari sejumlah desa tetangga di Tehoru dan Telutih yang mayoritasnya adalah suku Buton seperti Sapta Marga, Yaholu, Pasalolu, Waya, Dusun Latan, dan lainnya.

Kalaupun sebelumnya mereka memperoleh ikan kering dari orang Seram Timur, maka pada masa ini mereka mulai mendapatakan ikan mentah. Beralihnya ketergantungan ini tak lepas dari suplai pangan yang mulai digalakan oleh orang-orang Buton yang perlahan mulai menetap di Selatan Seram. Suplai makanan di musim timur pada tahun-tahun ini, perlahan-lahan mulai menggeser stok pangan lokal seperti sagu, payohin, lelepee, fari-fari dan lainnya. Suplai pangan mulai didominasi oleh suami (sangkola) maupun babes (embal ubi kayu).

Dalam amatan antropolog, Hatib Abdul Kadir (2019) pada penelitiannya berjudul
Ubi Kayu, Konflik Sosial, dan Daulat Pangan Petani Buton-Maluku, bahwa ketergantungan ini tak lepas dari meluasnya tanaman-tanaman ubi kayu di Maluku. Meluasnya tanaman ubi kayu (kasbi), seiring dengan munculnya pemukiman-pemukiman petani ladang keturunan Buton di Maluku. Ada kampung yang menyewakan lahan untuk digunakan dengan sistem bagi hasil seperti di Tehoru. Ketika orang Maluku memberikan tanah kepada peladang Buton, di paroh abad-19, kasbi adalah yang pertama kali ditancapkan sebelum kemudian menanami cengkeh, pala dan kopra. Dengan demikian, konsumsi kasbi kemudian menjadi benteng ketika terjadi krisis di sekitar kampung (Hatib, 2019).

Menurutnya, bahkan para nelayan juga mempunyai ladang yang ditanami kasbi. Ketika hasil tangkapan minim selama angin kencang, pada musim Juni-Juli, atau disebut angin timur, Nelayan memilih berkebun. Dibanding mencari ikan, menanam kasbi tidak membutuhkan minyak dan solar serta pembiayaan spare part perahu. Kasbi juga menjadi komoditas yang aman dikonsumsi ketika petani memutuskan untuk menghemat membeli beras karena kebutuhan lainnya, seperti membangun rumah atau membeli perahu.

Pergeseran itu juga dialami berkaitan dengan suplai ikan di musim timur. Pada periode ini, suplai ikan masyarakat Selatan Seram di musim timur lebih ditopang oleh keberadaaan orang Buton. Mereka biasanya mendiami suatu desa atau dusun dan berperan sebagai jibu-jibu atau Papalele dalam istilah Maluku. Papalele adalah agen perantara yang menjual ulang suatu komoditas dari penjual ke pembeli dengan cara berkeliling (Soegijono, 2008; Souisa, 1999:38).

Secara filosofis ada kaitan antara pengertian Papalele dengan Cakalele yang adalah sebuah tarian perang tradisional Maluku. Keduanya berarti “bergerak-gerak maju berkeliling”. Secara etimologis Papalele sendiri terdiri atas padanan kata papa yang berarti “memikul atau membawa” dan lele yang artinya “berkeliling“ (Souisa, 2008).

Relasi suplai ikan antara jibu-jibu dengan masyarakat Selatan Seram digunakan untuk memperoleh ikan mentah maupun juga menyediakan stok ikan di musim timur dengan cara dibuatkan ikan garam. Berbeda dengan relasi yang terbangun pada masyarakat Seram Timur, relasi antar masyarakat Selatan Seram Timur tidak dipertemukan oleh tutur sejarah, ikatan sosial  atau kekeluargaan,  yang kadang berujungan pada hubungan kawin mawin, antara orang Selatan Seram dengan Seram Timur.

Para jibu-jibu ini sekadar berjualan ikan untuk memperoleh keuntungan ekonomis dengan memanfaatkan kondisi kelangkaan di musim timur. Kalaupun diantara mereka ada saling menikah, hubungan tersebut tidak berkaitan dengan penjualan ikan yang dilakukan dari desa ke desa.

Pada medio ini, dari segi pangan orang-orang Selatan Seram mulai doyan mengonsumsi babes (embal) dan suami (sangkola) ketimbang payohin, sinoli, fari-fari bahkan mungkin mereka tidak menyimpan payohin sebagai stok pangan lagi di musim timur.

Pergeseran ini pada akhirnya turut mempengaruhi kolektifitas masyarakat Selatan Seram yang lebih akomodatif terhadap orang di luar komunitasnya. Kolektifitas ini terbentuk karena jenis pangan yang disediakan saat musim timur pun jadi berbeda, dari awalnya yang mayoritas adalah makanan kering berbasis sagu menjadi stok makanan basah seperti babes, suami, atau sejenisnya.

Meskipun terjadi pergeseran dan masyaarakat Selatan Seram kelihatannya agak heterogen karena lebih asosiatif terhadap komunitas lain, namun kolektifitas tersebut tidaklah terbentuk melalui ikatan sosial saja, melainkan ditentukan oleh penghasilan ekonomi yang tercipta diantara mereka. Sehingga, stok pangan tersebut tidak lagi diperoleh lewat mekanisme barter , melainkan harus dibeli. Mereka harus memesan, stok babes (embal), gepe (tepung sagu), bahkan membeli suami untuk mengganti sagu, lelepee, payohin ataupun beras. Berbeda dengan dulu, dimana sekadar barter dari desa tetangga atau diperoleh dari hutan sendiri lau disimpan untuk musim timur.

Sebagai akibatnya, relasi sosial antar sesama warga Selatan Seram dengan desa tetangganya maupun warganya perlahan-lahan lebih ditentukan oleh hubungan produksi ekonomi. Lebih tergantung pada pendapatan dan bukan ikatan sosial kekeluargaan.

Ketiga, pergeseran yang dalam amatan penulis, berlangsung pada tahun-tahun 2009-an sampai sekarang. Dimana stok pangan dan kolektifitas masyarakat di Seram Sealatan pada saat musim timur berubah dari stok makanan berbasis hasil alam ke makanan-makanan produksi pasar seperti mie dan bakso ikan. Dua jenis pangan ini berkembang seiring mencuatnya industry makanan  dan perkembangan pembangunan yang terjadi di Selatan Seram. Mie menjadi stok yang mesti disediakan saat seseorang mengalami krisisatau tidak punya persediaan makanan.

Sedangkan bakso ikan dibuat dengan membeli ikan mentahan  pada jibu-jibu. Kebiasaan makan mie di musim timur kemudian berkembang luas ke kalangan menengah masyarakatnya yang menjadikan mie semacam makanan yang tepat dalam mengisi waktu hujan berhari-hari.

Alasan yang mereka kemukakan biasanya karena mie hangat nan pedas serta sesuai dengan suasana hujan. Sebuah pergeseran stok makanan yang kelak dianggap sebagai simbol kelas sosial modern di masyarakat Selatan Seram.

Makan mie menjadi semacam pilihan praktis sekaligus menunjukan status kelas sosial mereka sebagai masyarakat modern di musim timur.
Namun mesti disibak bahwa, penyediaan mie di musim timur menjaikan mereka harus membentuk relasi baru dengan pasar. Payohin, fari-fari, sinoli, biji durian bakar perlahan mulai ditinggalkan di masa-masa ini. Namun, meski begitu, tidak berarti bahwa ketergantungan pada embal, suami  maupun sagu masih akan menjadi hilang secara total pada musim timur. Masih ada ketergantungan pada stok makanan ini, meskipun tidak sepopuler mie.

Ketergantungan masyarakat Selatan Seram pada mie sebagai stok di musim timur, sejalan dengan pembangunan yang mulai berlangsung di Selatan Seram. Relasi kota dan desa yang ditempuh lewat transportasi darat, telah mengurangi hambatan-hambatan dan derita musim timur. Musim timur yang mereka asumsikan sebagai derita, perlahan-lahan dapat mereka atasi.

Perkembangan yang demikian, pada akhirnya turut memberi corak tersendisir pada relasi kolektif antar masyarakat Selatan Seram di musim timur. Ikatan sosial masyarakatnya perlahan berkurang karena digantikan digantikan oleh ikatan-ikatan kolektif yang lebih bersifat ekonomis. Kali ini tidak hanya melibatkan komunitas sosial yang bersifat ekonomis seperti para pedagang ikan suku Buton dari desa tetangga, melainkan lebih cenderung berkorelasi dengan arus modal dan pasar. Dengan kata lain, untuk stok makanan di tengah musim timur itu, mereka harus juga memiliki uang untuk mengakses  pasar.

Selain penyediaan stok musim timur seperti mie yang bergantung pada pasar, suplai ikan di musim timur pada periode ini juga berbeda dengan dua masa sebelumnya.

Pada masa ini, para nelayan lokal telah membentuk semacam kelompok nelayan sendiri untuk menangkap ikan jika dalam beberapa hari kondisi agak membaik. Karyawan dari kelompok nelayan ini biasanya diisi oleh masyarakat bawah, sementara kepemlikan alat tangkap dan perahu biasanya dimiliki oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi.

Beberapa dari mereka mulai memanfaatkan bantuan perahu dari pemerintah tapi tak banyak. Secara singkat, kepemilikan dan suplai ikan di musim timur yang mereka lakukan lebih bersifat otonom karena dilakukan dari masyarakatnya langsung.

Terlepas dari itu, suplai tidak lagi mengandalkan hubungan sosial kekeluargaan, melainkan lebih berbasis ekonomi yang tergantung pada untung rugi. Suplai ikan di musim timur ini, masih membutuhkan jibu-jibu yang tidak saja berasal dari suku Buton melainkan masyarakat lokal Selatan  Seram untuk dijual di desa-desa. Meskipun ada kelompok nelayan dari warga, para nelayan ini harus berbagai hasil tangkap dan keuntungannya dengan pemilik perahu atau alat tangkap yang adalah masyarkat kelas menengah-atas. Sehingga pendapatan yang mereka peroleh pun selalu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan di musim timur. Alih-aih penyediaan kebutuhan pangan tersebut terbentuk secara sosial di musim timur, ikatan kolektif antara masyarakatnya lebih kental ditentukan oleh hubungan produksi yang lebih bersifat ekonomis.

Pergeseran ini turut mengubah sistem sosial-ekonomi pada masyarakat Selatan Seram di musim timur. Dari yang dulunya hidup dari barter antar warga, ke sistem sosial ekonomi yang lebih berbasis pasar. Sehingga, untuk mencukupi kebutuhan mereka di musim timur, mengandalkan relasi sosial saja tak cukup, melainkan juga harus dtopang oleh pendapatan. Karena secara umum masyarakatnya bekerja sebagai nelayan dan petani lading, cengkeh, kakao (coklat), kelapa, maupun pala, maka pendapatan mereka hanya berasal dari hasil jualan komoditas itu.

Sayangnya saat musim timur tiba, umumnya waktu panen hasil tidak berlangsung pada musim itu. Akibatnya, untuk memperoleh uang, masyarakat Selatan Seram biasanya menyewakan hasil atau menjual hutannya kepada orang lain dengan pendapatan lebih. Kalaupun hutang, mereka biasanya berhutang dengan syarat memberikan jatah panen hasilnya setara dengan uang pinjaman mereka jika waktu panen tiba.

Dari relasi itu terlihat ada kerenggangan antar kelas yang terjadi pada masyarakat Selatan Seram di musim timur. Kolektifitas masyarakatnya tidak lagi begitu kuat, karena pelan-pelan digantikan oleh relasi piutang yang lebih bersifat ekonomis .

Untuk mencukupi kebutuhannya di musim timur, orang-orang dapat memanfaatkan relasi keluarga, dan warganya untuk kebutuhan menghutang, menyewakan bahkan menjual hasil hutannya. Baik dalam skala kiloan, per pohon, maupun kaplingan.

Ikatan sosia mereka pada akhirnya terbentuk bukan semata-mata faktor sosio-historis karena berasal dari keluarga atau kenalan yang sama, melainkan dibentuk oleh relasi ganti rugi ekonomi yang ketata. Mirisnya, relasi dan kelangkaan di musim timur ini selalu bertepatan dengan waktu untuk anak-anaknya harus melanjutkan sekolah atau kuliah ke kota. Di tengah kondisi musim timur yang sulit, mereka harus menanggung beban ganda : di satu sisi harus menyediakan stok makanan di musim timur sekaligus membiayai pendidikan anak-anaknya ke perkotaan.

Musim Timur : Dari Tragedi ke Komedi

Musim timur di Selatan Seram menjadi semacam siklus  yang berkembang dari tragedi ke komedi. Sebagai tragedi, kelangkaan yang akut dan penuh derita itu telah terjadi di masa lalu namun dengan dukungan ikatan sosial yang cukup kuat.

Sebagai komedi, kelangkaan itu kemudian bergeser ke ruang yang lebih modern namun solusi atasnya lebih ditentukan oleh relasi dan jebakan yang jauh lebih ekonomis. Relasi-relasi warga tentang hidup bersama di tengah musim timur seperti berlalu seiring burung Trinil terbang ke Timur Seram.

Dataran Selatan Seram di musim timur, perlahan jadi komedi karena meskipun telah mengalami kemajuan, namun pada saat yang sama, turut menelan ikatan-ikatan sosial masyarakatnya lalu menggantinya dengan relasi-relasi sosial yang sangat ekonomis.

Payohin, lelepee, sinoli, biji durian bakar, sagu pada akhirnya jadi romantisme atas derita masa lalu saja. Orang-orang hanya bisa mengenangnya setiap kali musim timur tiba. Suami, babes bahkan mie dari pasar telah menjalar ke sudut-sudut terdalam dapur masyarakat. Model penyediaan makanan masyarakat Seram Selatan di musim timur tak ubahnya seperti sederet neraca- untung-rugi. Segala persediannya harus dibentuk atas nama keuntungan.

Mungkin ini adalah wajah lain dari tragedi yang hanya terlihat dari luar sebagai komedi. Namun, ketika makin dalam kita memasukinya, makin terlihat penderitaannya.(*)

 


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button