Langit Mendung di Gudang Bulog, dan Sebuah Cerita Tentang Perjalanan
Sore itu, di kawasan Gudang Bulog, Benteng Atas (Bentas), Ambon, langit terlihat kelabu. Suasana yang pas untuk bercengkerama.
Di depan saya duduk Muhammad Asy’ari, seorang musisi asal Ambon yang kini dikenal dengan nama Muria Mardika. Enam tahun berlalu sejak terakhir kali kami bertukar cerita. Banyak yang berubah sejak saat itu.
Ari, begitu saya dulu memanggilnya adalah sosok yang selalu punya pandangan menarik tentang hidup. Dulu, ia dikenal sebagai Sombanusa, dengan karya-karya yang sering menggunakan bahasa Tana, bahasa asli Maluku. Kini, dengan nama baru dan arah baru, ia membawa kisah yang lebih dalam, lebih personal, dan tentu saja penuh makna.
Awal Perjalanan: Dari Sombanusa ke Muria Mardika
Nama Muria Mardika muncul di tahun 2021, saat Ari memutuskan untuk keluar dari masa hiatus. Tapi cerita musiknya sudah dimulai jauh sebelum itu, tepatnya sejak masa SMA.
“Dulu pas SMP, saya dengar lagu-lagu hiphop, mulai bikin lagu sendiri pas SMA,” katanya.
“Sombanusa itu sebenarnya project nggak sengaja. Waktu itu ada perampasan lahan di Kulonprogo, saya aktif dengan warga di sana. Pas festival, nggak ada penampil, akhirnya saya coba nyanyi untuk memberikan semangat ke mereka,” sambungnya.
Saat itu, lagu-lagu yang ia ciptakan menjadi semacam penyambung suara masyarakat. Salah satunya adalah lagu tentang Kulonprogo, yang diterima dengan baik.
“Teman-teman di gerakan yang bikin Sombanusa dikenal. Mereka posting lagu saya, dan akhirnya kami manggung di titik-titik konflik agraria seperti Tamansari dan Bekasi,” tuturnya.
Namun, semakin dikenal, Ari merasa tidak enak sebab ada munculnya beberapa kabar.
“Saya nggak mau kelihatan seperti terlalu terlibat di gerakan ini-itu. Saya takut malah blunder dan merusak perjuangan warga,” jelasnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk hiatus, menjauh sejenak dari semua hiruk-pikuk tersebut.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi