
Oleh: Olivia Ch. Latuconsina (Komisioner Komnas Perempuan)
Sejarah mencatatkan terjadinya perlawanan masyarakat di Uli Hatuhaha (Maluku Tengah) terhadap Belanda pada tahun 1637-1638, yang dikenal dengan Perang Alaka II. Perlawanan tersebut dipimpin oleh Kapitan Alaka, yang adalah seorang perempuan yang berani dan cerdas. MONIA LATUALINYA namanya.
Keberanian dan keperkasaan Monia Latualinya dalam mengusir penjajah di Maluku, selama ini tidak ditulis bahkan dibicarakan dalam pentas sejarah Maluku maupun Indonesia. Padahal perjuangan dan pengorbanannya untuk bangsa dan negara ini, sama seperti pahlawan-pahlawan lainnya di Indonesia.
Saatnya, kepahlawanan perempuan Hatuhaha Monia Latualinya terpublikasikan, dan menjadi refleksi kritis dalam penulisan sejarah bangsa.
Perjuangan Monia Latualinya 180 tahun sebelum perlawanan Martha Christina Tiahahu, Thomas Matulessy, dan lainnya di 1817. Monia Latualinya juga perempuan kedua setelah Laksamana Malahayati dari Banda Aceh, yang tampil sebagai pemimpin perang melawan bangsa eropa 1585-1604.
Perlawanan terhadap Belanda berawal ketika satu kapal Belanda berlayar mengitari Pulau Haruku, dan membuang sauh di tempat yang bernama Besi. Mereka lalu menurunkan sekoci dan mendayungnya ke darat.
Di pantai mereka bertemu seorang laki-laki bernama Patikasim yang hendak pergi memancing di laut. Belanda berusaha membujuk dan merayunya untuk menunjukkan jalan bagi mereka menuju puncak Gunung Alaka. Namun Patikasim menolak. Belanda kemudian memberikan sekarung beras untuk dibawa pulang. Mereka berhasil mengikuti jejaknya disebabkan jatuhnya beras dari lubang yang ada di karung.
Setiba di Alaka, Patikasim segera menghadap pemimpin Alaka yaitu Patti Hatuhaha (Upu Ira), dan melaporkan peristiwa yang dialaminya di pantai. Namun saat itu Belanda sudah mengetahui jalan menuju Alaka.
Patti Hatuhaha segera memerintahkan untuk mempersiapkan pertahanan, memperhitungkan kemungkinan terjadinya serangan musuh. Seluruh pasukan Alaka berada di bawah komando Kapitan Alaka Monia Latualinya (panglima perang), dengan Patti Hatuhaha sebagai pemimpin tertinggi.
Monia Latualinya memerintahkan untuk menebang semua pohon besar lalu menumpuk dan mengikatnya menjadi satu di lereng gunung. Ketika terdengar tembakan pertama dari pasukan Belanda, tali-tali dipotong, batang-batang kayu dilepaskan sehingga bergulingan ke bawah menyebabkan banyak jatuh korban di pasukan Belanda. Mereka juga melemparkan buah kelapa yang telah diisi abu untuk membutakan mata para penyerang.
Pasukan Belanda pada akhirnya terpaksa mundur karena kerugian mereka sudah terlalu besar. Namun tahun berikutnya mereka kembali lagi dan berhasil menaklukkan Hatuhaha.
Situasi perang Alaka II, digambarkan oleh Sejarawan Belanda, Rumphius (1910):
“ketika tentara-tentara kami (Belanda) diperintah untuk melalui akses jalan yang sulit (mendaki gunung Alaka), tentara-tentara kami harus berpegangan satu sama lain dan saling menumpuk, serta seorang tentara tidak bisa berdiri dan bertempur.
Musuh (Hatuhaha Amarima) membombardir tentara kami sedemikian berat dengan batu dan kayu yang digelindingkan (digulingkan) ke bawah, dan setelah serangan berikutnya, tentara kami terpukul mundur; 5 orang meninggal, 2 tidak bisa ditemukan, dan banyak yang luka, termasuk beberapa perwira.
Dalam perjalanan mundur, tentara-tentara kami dihina oleh Hatuhaha. Pertempuran yang tidak beruntung itu membawa tentara-tentara kami pada keputusan, untuk tidak lagi mengalami kematian yang sia-sia di sarang (lereng gunung Alaka) yang sangat buruk ini”.
Juga tertulis dalam surat Joan Ottens, pejabat tinggi Belanda di Maluku kepada pimpinannya di Holland tertanggal 12 September 1637:
“…dengan Hatuhaha segala sesuatu tidak bisa berlangsung secepat itu. Dengan cepat kami mengalami kerugian besar; 74 dari tentara kami tidak bisa lagi berperang, 14 terbunuh dan 60 terluka, dan kami harus mundur.
Setelah kami menghancurkan pohon-pohon kelapa dan cengkeh, para penduduk Hatuhaha meminta pengampunan. Kami menerima mereka kembali, termasuk desa-desa Kristen yang memberontak, seperti Haruku, Sameth, Oma, Aboru, dan Kariu”.
Malonae, imi piri imi kata wa au anau wake’eru
Mae mae Upu mae mae yama,
Mae hihi sahu loto mina
Mae hihi toto sairau rehe ri,
Ehenala iteka adato maheri”
Metene kati ori nusa eya oo
Imi koto uli ulino se to eya
Matasyia ole pamata mata leya oo
Hale kawa nusa eya
Suwe nusa’im barakate
SELAMAT HARI PAHLAWAN
Terima kasih Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani sudah memberi ruang mengenalkan kepahlawanan Monia Latualinya di forum nasional Merayakan Ibu Nusantara, Pahlawan Kita.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi