Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Pemerhati Sosial)
Ditetapkannya 62 Daerah Tertinggal di Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melalui Perpres No. 63 Tahun 2020, tanggal 27 April 2020, merupakan pukulan berat bagi semua lapisan masyarakat di Indonesia, tak pelak juga Gereja Protestan Maluku (GPM).
Hal itu perlu dijadikan perhatian tersendiri dalam arti gereja perlu mengadres realitas itu ke dalam seluruh usaha pembangunan jemaat baik pada aspek mentalitas melalui pembinaan umat maupun praksis beriman melalui kerja dan usaha ekonomi. Sebab kedua kutub ini mesti dibentuk secara integral dalam tindakan pelayanan gereja.
62 Daerah Tertinggal tersebut, 6 di Provinsi Maluku ialah Kabupaten Maluku Tenggara Barat/Kepulauan Tanimbar (KKT), Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Maluku Barat Daya dan Buru Selatan, dan 2 di Maluku Utara, yaitu Kabupaten Kepulauan Sula dan Pulau Taliabu.
Kedelapan kabupaten itu merupakan pusat konsentrasi jemaat-jemaat GPM yang rata-rata merupakan jemaat-jemaat agraris dan pesisir, dengan kontur tanah yang bervariasi, laut yang luas dan berpotensi, dan kelangkaan sumber-sumber energi dasar yang cukup serius, terutama listrik dan pada beberapa wilayah yaitu air bersih dan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pelabuhan, tambatan perahu.
Keadilan Pembangunan
Disebut sebagai daerah tertinggal, namun daerah-daerah tersebut merupakan pusat produksi pangan lokal terbesar di kedua provinsi tersebut, selain potensi perikanan yang melimpah, serta beberapa di antaranya merupakan lokasi pengelolaan tambang dan migas.
Potensi-potensi tersebut selama ini sudah menjadi sumber konsumsi secara nasional, selain tentunya sumber devisa dan asset nasional yang kini sedang dalam proses pengelolaan.
Sebagai gereja, kami berharap agar ada keadilan pembangunan ke satuan wilayah tersebut, terutama penyediaan energi dan infrastruktur dasar yang memang menjadi bagian tugas pemerintah. Sebab saat ini pemerataan pembangunan mungkin bukan lagi masalah penting melainkan keadilan pembangunan, agar daerah-daerah penghasil devisa itu mendapatkan pula hasil yang berimbang di tengah derap kemajuan pembangunan infrastruktur secara nasional saat ini.
Transportasi di kepulauan, listrik pulau-pulau, merupakan kebutuhan langka yang sampai saat ini belum dapat diakses secara adil. Padahal bila ini dapat dibenahi maka ketertinggalan dalam arti laju kemajuan daerah itu semakin kompetitif.
Ubah Mentalitas
Dalam rangka itu, GPM sedang dan akan terus berusaha mengubah mentalitas jemaat atau masyarakatnya dari mentalitas konsumtif yang sifatnya menunggu kepada mentalitas produktif melalui kerja dan usaha-usaha ekonomi berbasis potensi lokal baik pangan maupun perikanan dan kelautan.
Hal itu mendorong dilakukannya pembenahan dan pengelolaan asset gereja seperti tanah-tanah produktif yang belum dikelola dan atau inovasi di bidang budidaya potensi perikanan dan kelautan.
Sebagai contoh, penataan kembali lahan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Uraur melalui Yayasan Partisipasi Pembangunan (PARPEM) GPM, yang akan dikembangkan untuk usaha perikanan darat, perkebunan dan peternakan, atau budidaya perikanan yang dilakukan Wadah Pelayanan Laki-laki di Jemaat GPM Lateri dan budidaya teripang oleh AMGPM Daerah Kei Kecil dan Kota Tual di Ohoitel, Kota Tual, merupakan usaha sengaja yang menyadarkan kita bahwa mentalitas produktif sudah mesti dibentuk khususnya di kalangan warga gereja sehingga kita sendirilah yang membantu menciptakan kemajuan ekonomi daerah melalui kesejahteraan keluarga-keluarga.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi