Oleh: Hasbollah Toisuta (Staf Pengajar pada IAIN Ambon)
Dalam minggu ini pemberitaan mengenai Toa Masjid menjadi begitu viral di media sosial. Hal ini berkaitan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteria Agama No. SE 05 tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.
Lebih menghebokan lagi ketika muncul rekaman pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) yang diframing seakan-akan Menteri Agama menganalogikan suara azan dengan gonggongan anjing. Sontak Menteri Agama oleh beberapa kalangan, dituduh sebagai penista agama (dalam hal ini Islam).
Padahal sama sekali Menteri Agama tidak bermaksud menyamakan antara suara azan dan teriakan anjing dimaksud. Ini juga harus menjadi pengalaman bahan refleksi agar ketika menjadi pejabat publik sejatinya harus pandai memilih diksi yang tepat dalam membuat suatu pernyataan.
Dalam pemahaman saya, yang ingin disampaikan oleh Menag adalah potensi kebisingan yang berimpak pada ketenangan masyarakat pada waktu-waktu tertentu, ketika pengeras suara masjid diaktifkan serentak.
Saya ingin melihat permasalahan ini dari pengalaman pribadi keseharian saya di rumah, dan kemudian masuk mendiskusikan aspek historis budaya azan dan toa.
Rumah saya berlokasi di kawasan Air Kuning, tepatnya di depan MIT As-Salam, Batu Merah Ambon. Dari bagian barat rumah saya sekitar 180 m dan 220 m, terdapat dua masjid, yaitu Masjid Wailahan, Gondal dan masjid Al-Ikhwan, kompleks BTN Manusela.
Sedikit ke arah utara sekitar 100 m dari rumah saya ada Masjid As-Syifa, Lorong Silale. Di bagian timur belakang ruman saya kira-kira 350 m, dari rumah saya terdapat Masjid Al-Kautsar, kompleks BTN Kanawa. Sedikit ke selatan sekitar 400 m dari rumah saya ada Masjid Lasykar (salafi?) di kaki tanjakan 2000. Ke bagian selatan kira-kira 250 m belakang gudang juga ada Masjid (…). Sekira 250 m ke arah selatan dari rumah saya, di situ ada masjid Al-Burhan, Lorong Sumatera.
Jadi di lingkungan terkecil ini saja ada sekitar delapan buah Masjid.
Setiap menjelang salat Maghrib, Isya dan Subuh rumah saya seakan dikepung dari seluruh penjuru mata angin oleh aneka (irama/qiraat) pengajian dari ketujuh masjid tersebut, minus masjid salafi (?) dengan volume suara spiker/toa yang relatif tinggi.
Saya tidak tahu mesti dari arah masjid mana saya harus khusyu’ mendengarkan bacaan-bacaan ayat-ayat suci Al-Quran ini.
Biasanya saya Jumatan di Masjid Al-Ikhwan, perumahan BTN Manusela, dan terkadang – untuk tidak mengatakan selalu, masalah pengeras suara “menganggu” kekhusyukan ibadah Jumat.
Pengalaman seperti ini terjadi misalnya ketika kita sedang mendengar kahatib sedang berkhutbah, suara-suara (speaker) khutbah dari masjid yg lain juga sampai ke telinga kita. Bahkan terkadang setelah khutbah kedua dan jamaah telah siap untuk salat (dalam salat), sementara kita juga mendengar khutbah – bila masjid tetangga sedikit terlambat waktu – atau bacaan salat dari masjid yang ada di Wailahan (gondal) atau dari masjid Gadihu. Artinya pantulan suara (akibat pengeras suara/toa) dari masjid yang bedekatan relatif “mengganggu” kekhusyukan kita dalam beribadah.
Adapun pengalaman keseharian untuk salat dari rumah, khusus untuk salat Maghrib, Isya dan Shubuh, lebih-lebih lagi merasa “terganggu” dengan pengeras suara di masjid-masjid berdekatan itu. Satu masjid sudah azan, masjid yang lain masih terdengar pengajian atau shalawat/tarhim.
Begitu saya memulai mengangkat takbiratul ihram, eh masjid di bagian utara sudah selesai rakaat pertama, masjid yang di bagian timur baru azan, yang di bagian barat masuk iqamat. Pengalaman seperti ini selalu menjadi pemandangan keseharian, dan saya yakin kita semua mengalami masalah ini.
Dengan pengalaman seperti ini bukan berarti saya tidak setuju dengan “syi’ar” (azan dan pembacaan Al-Quran) melalui speaker masjid, tapi setidaknya speaker masjid-masjid sudah saatnya ditata dengan apik aspek akustiknya.
Ketika saatnya azan, maka serentak semua masjid mengumandangkan azan, dan ketika saatnya salat, speaker masjid cukup dikonsentrasikan ke dalam masjid saja dan hanya didengar oleh jamaah dalam masjid tersebut, sehingga tidak ada pantulan suara antara satu masjid dengan masjid lainnya yang berdekatan.
Dari persepektif sejarah, sejak Islam hadir di daerah gurun pasir Mekkah dan Medinah, belum ada penemuan teknologi pengeras suara (toa), juga belum ada penemuan pita kaset, CD dan sebagainya. Semua proses syi’ar dilakukan secara manual.
Untuk panggilan salat oleh muazzin supaya terdengar jangkauannya oleh umat, dibangunlah menara masjid yg masih sederhana. Maka setiap tiba waktu salat, Bilal (muazin) memanjat menara masjid untuk mengumandangkan azan. Tidak ada pengajian pendahuluan atapun shalawat/tarhim menjelang masuknya waktu salat.
Pada konteks ke-Indonesia-an, tampaknya menara saja tidak cukup untuk menyeru umat begitu tiba waktu salat. Karena berbeda dengan daerah gurun pasir yang datar di Arab, Indonesia merupakan daerah yang penuhi hutan, gunung dan lembah.
Untuk itu jangkauan suara azan dari menara masjid sepertinya belum bisa mencapai khalayak ramai karena suara azan dari menara masjid terhalangi oleh pepohonan dan pegunungan. Maka untuk supaya menjadi petanda masuknya waktu, dibuatkanlah beduk yang ditabuh setiap tiba waktu salat. Jadi beduk masjid itu adalah hasil ijtihad ulama Indonesia sebagai instrumen penanda tibanya waktu salat.
Pekembangan selanjutnya adalah setelah penemuan teknologi tape recorder, pita kaset, CD, toa dan lainnya, maka syi’ar masjid (azan dan pengajian) memasuki babakan baru. Pada menara masjid dipasangi toa sebagai pengganti posisi bilal yang setiap waktu salat harus memanjat menara tersebut.
Demikian, pengajian Al-Quran dan shalawat/tarhim cukup dengan kaset. Semua serba mekaniktis. Apakah temuan baru ini bid’ah? Wallahu’alam. Mungkin sebagian umat yang puritan menganggap hal ini adalah bid’ah. Namun menurut saya pada tahapan ini syi’ar Islam lebih semarak dengan penemuan baru ini.
Sebuah kaidah ushul dapat kita pakai di sini sebagai respons terhadap kemajuan ini yaitu “al-mukhafazatu ‘ala alqadiem ash-shalih wal akhzu bil jadid ashlah” (mempertahankan – tradisi – yang lama yang baik, dan mengambil – budaya – yang baru yang lebih baik). Dengan kaidah ini maka kita masih bisa mempertahankan menara masjid, mempertahankan beduk, namun kita juga mengadopsi teknologi pengeras suara (toa), kaset, cd, pengajian, shalawat/tarhim, dll. Karena kita anggap sebagai hal-hal instrumen yang menunjang syi’ar Islam.
Dengan begitu maka tidak heran bila masjid Alfatah Ambon yg berada di tengah-tengah Kota Ambon, dengan konstruksi yang modern, menaranya demikian tinggi, tapi selain itu beduknya juga yang paling besar di antara semua beduk yang ada pada masjid-masjid di Maluku.
Dengan adanya pengeras suara (toa), tape recorder, kaset, mic, dan CD diadopsi sebagai sarana syi’ar pada masjid-masjid, maka syi’ar Islam melalui masjid menjadi sangat simple. Ketika tiba menjelang waktu salat, marbot tinggal saja di kamar operator memasang kaset, CD pengajian atau tarhim dan dengan seketika umat dan masyarakat umum bisa mendengarkan suara syi’ar tersebut.
Untuk masyarakat di perdesaan yang hanya punya satu masjid dan masyarakatnya homegen, penggunaan pengeras suara (toa) menjelang waktu salat memang dirasakan sangat syahdu dan membantu membuat jiwa menjadi tenang.
Lain halnya ketika penggunaan toa atau perangkat teknologi pada lingkup masyarakat perkotaan, pada contoh kasus di lingkungan saya yang radiusnya cukup kecil dengan 8 buah masjid, maka pantulan suara dari satu masjid ke masjid yang lain tidak mungkin dihindari.
Selain itu masyarakat yang heterogen dengan berbagai macam problema sosial yang dihadapi, tidak sama dalam mempersepsi alunan suara toa masjid yang bervariasi dan saling bersahutan. Pada perspektif ini kita bisa memaknai Surat Edaran Menteri Agama No. 05 yang mengatur pengeras suara tersebut.
Pada konteks sosial yg lebih luas, masyarakat kota yang berada pada lingkup sebuah masjid, memiliki tingkat kesadaran dan kondisi sosial yang beragam. Mungkin ada diantara warga di lingkungan jamaah masjid yang sakit butuh ketenangan untuk beristirahat, ada juga sebagian warga keseharian bekerja dan tidak begitu aktif menjadi jamaah rutin di masjid, dan masih banyak lagi aneka problem yang dihadapi warga.
Lalu apakah pengaturan pengeras suara oleh pemerintah ini mendistorsi syi’ar Islam? Bagi saya sama sekali tidak ada maksud pemerintah untuk mendistorsi Islam, melainkan dengan begitu Islam diamalkan dengan penuh damai dan guyub.
Kekhusykan beribadah antara jamaah satu masjid tidak terganggu dengan pantulan suara dari masjid yang lain. Warga yang memilih salat di rumahnya juga tidak terganggu dengan aneka suara bacaan dari berbagai menara masjid yang berdekatan. Dengan begitu semua lingkungan di sekitar sama-sama menunaikan kewajibannya dengan baik dan tenang.
Seperti inilah pemahaman saya terhadap SE Menteri Agama No. 05 tahun 2022 di atas.
Wallahu’alam bi al-shawab.(*)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi