Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Pemerhati Sosial)
Untuk mengingatkan kita tentang “ajarang kahidopang yang bae-bae” (=ajaran hidup yang ada penting) “orangtotua ulang kali bilang “ingatang, jang paskali lupa” (=orang tua berkata, ingat, jangan pernah lupa). Kata “ingatang” (=ingatlah) mengandung pesan bahwa pengajaran itu adalah tentang kehidupan, sumbernya adalah pengalaman yang benar, dan tujuannya adalah “jaga kahidopang” (=untuk memelihara kehidupan).
Karena itu, siapa menurutinya “hidop deng umur” (=panjang umur). Siapa yang “tar mau dengar-dengarang” (=tidak dengar-dengaran), bahkan dalam nada yang kasar, sering terdengar ucapan “loko bawa buang. Freek maar deng dia. Loko pi kerkoff ka sana” (=jangan hiraukan. Tidak usah pedulikan dia. Biar mati saja). Sekali lagi, ini biasa sebagai cuatan kemarahan karena “tagor tar kuat dengar” (=tidak mau ditegur/dibilang).
Supaya ingat, sering pula dibuat tanda. Misalnya, “batu pamali” (=batu pemali) adalah tanda pengingatan adanya janji yang disertai sejumlah larangan guna memelihara hubungan hidup sesehari.
“Gadihu” (=pohon gedihu) untuk mengingatkan “tampa tangan” (=hasil kerja) misalnya “sapa pung atanamang ini” (=menandai kepemilikan seseorang akan tanaman yang ditanaminya di dusun).
“Lutur” (=pagar batu) sebagai batas sekaligus pelindung kepemilikan atas kebun.
Namun, ada pula tanda-tanda yang non material, termasuk menjadikan sosok “papa, mama, tete, nene, oyang” (=papa, mama, kakek, nenek, buyut), orang-orang yang berhasil, atau juga yang mengalami rupa-rupa “cilaka” untuk “kas inga” (=mengingatkan) kita mengenai “pesan-pesan hidup”. Sebab “pasang kahidopang” (=pesan mengenai kehidupan) “akang isi dua sa” (=isinya hanya dua). “Satu, sapa dengar-dengarang, hidop salamat” (=siapa mendengar pengajaran, selamat hidupnya). “Kadua, sapa tar dengar-dengaran, cilaka iko blakang” (=siapa tidak mendengar pengajaran, celaka hidupnya).
Jadi ungkapan “angka muka la lia, biar tau” (=lihatlah, biar engkau mengetahui), bermaksud mengajar kita melihat pada “apapa yang orangtotua su taru” (=tanda-tanda yang sudah ditetapkan orangtua), juga melihat pada “orang yang su kamuka” (=orang-orang berpengalaman yang sudah berhasil).
Ungkapan itu juga bermaksud menegur kita yang “su ilang jalang” (=sudah hilang jalan; dalam arti telah melakukan suatu hal yang keliru) dengan maksud supaya “malu sadiki” (=ada sedikit rasa malu) atau bahkan “tau diri” (=sadari) bahwa “dolo orangtotua tar ajar par bagitu” (=dulu hal itu tidak diajarkan orangtua).
Yang lebih sakral lagi ketika disebut “angka muka nganga langit sana, biar tau” (=pandanglah ke langit, supaya anda mengetahui). Bahwa “Antua su taru sagala rupa” (=Tuhan sudah meletakkan segala sesuatu), jadi “sapa yang turut Huwa, hidop” (=siapa yang menuruti perintah Tuhan, dia hidup).
Jadi “kalu mau biking apapa, angka muka la lia, biar tau”.
Jumat, 25 Juni 2021
Marawae, Hatalae – Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi