Pendapat

Andikisme; Gerakan Kedaulatan Pangan dari seorang Anak di Bojonegoro

Oleh: Dodie Marrio Tiwery (Aktivis Budaya)


Dalam suatu kunjungan Bung Karno di daerah Selatan Bandung, Sang Proklamator ini berjumpa dengan seorang petani yang sedang menggarap sawahnya. Soekarno kemudian mengamati kegiatan bertani dan kemudian bercakap-cakap dengannya. Dalam percakapan, kata-kata yang dikeluarkan sang Petani yang bernama Marhaen itu, sangat menggugah hati sang proklamator.

Nama ini kemudian dipakai untuk menamai paham yang sudah sejak dulu berada di pikiran dan perjuangan Bung Karno. Paham Marhaenisme ini yang selanjutnya menjadi simbol perjuangannya hingga memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1947 tepatnya di bulan Agustus pada tanggal 17.

Apa yang dilahirkan Soekarno lahir dari seorang petani kecil berbaju lusuh yang berani melawan kemiskinan seorang diri dengan segala yang dia miliki sendiri atas warisan ayahnya.

Hari ini Indonesia telah merdeka dan setara dengan bangsa-bangsa lainnya dalam mengambil peran melihat dan ikut berkontribusi mendorong solusi bagi permasalahan yang dihadapi dunia hari ini. Permasalahan yang sama yang dirasakan oleh Pak Marhaen di tahun 1926 karena kemiskinan yang mengakibatkan kesulitan mengakses kebutuhan pokok.

Jika di waktu itu Bapak Marhaen memakai cangkul dan semua warisan dari orang tuanya menggarap sawahnya untuk menghidupi keluarganya, upayanya ternyata tidak sendiri hingga sekarang.

Meskipun dengan cara yang berbeda, saya melihat bahwa permasalahan yang sama itu juga hari ini terjadi, di mana krisis pangan di bumi tengah dirasakan oleh Andik, seorang anak SD dari SDN Meduri V, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro. Ia  memanfaatkan kekayaan alam yang ada di sekitarnya  dengan cara lainnya, bukan dengan cangkul untuk menggarap sawah.

Jumangin (36) adalah guru yang menemukan muridnya ini membawa makanan Ulat tersebut. Berawal dari program sekolah untuk mengadakan makanan setiap 3 kali dalam seminggu, apa yang ditemukan oleh sang guru, tentu membuatnya kaget karena ulat yang Andik bawa adalah sedikit berbeda dari yang biasanya ada di lingkungan mereka.

Sang guru mengatakan bahwa sudah menjadi kebiasaan warga yang berdomisili di pinggir hutan mengkonsumsi ulat jati, enthung, dan walang. Lauk tersebut biasa dikonsumsi ketika musimnya.

Berbeda dengan Andik yang membawa bekal lauk ulat pohon turi. Menurut Jumangin, apa yang dilakukan oleh Andik unik dan berbeda dari temannya yang lain karena ulat turi sudah sulit didapat. Apa yang membuat Andik berbeda adalah dia mau memilih makanan yang dia bisa temukan di sekitarnya yaitu ulat Turi dan dengan berani membawanya ke sekolahnya.

Ketika banyak dari teman-temannya dan bahkan kita, memilih mengkonsumsi ikan, telur, tahu, tempe dan lauk pauk yang lebih populer dan lebih mudah diperoleh dengan membeli di pasar, Andik dengan seleranya memilih lauk yang unik dan khas dihasilkan dari alam di kampungnya dan didapat secara gratis.

Saya mencoba mencari kandungan gizi dari ulat Turi  di berbagai referensi namun tidak menemukannya. Yang saya temukan hanya daun Turi dimana hasil penelusurannya di Jurnal Kesehatan, ternyata daun Turi mengandung vitamin A, kalsium, serat, saponin, protein, kalsium, besifosfor, sodium, riboflavin, niacin, vitamin C, dan juga tannin.

Menjadi sangat memprihatinkan ketika kita tidak mengetahui nilai gizi hal-hal yang kita makan, padahal makanan tersebut telah menjadi bahan makanan leluhur kita. Ulat Turi telah menjadi lauk pengganti daging sapi atau ikan dan daging lainnya yang pada masyarakat tertentu tidak dapat dibeli karena tidak mempunyai uang yang cukup.

Apa yang dilakukan oleh Andik hari ini, sangat memberi pencerahan bagi para pengambil kebijakan di negara ini bahwa, negara harus bisa hadir untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya.

Mereka harus bisa diberikan pelayanan maksimal sehingga mereka mampu membeli kebutuhan pokok yang lebih baik, yang sesuai dengan potensi daerah tersebut. Bukan berupaya untuk menyeragamkan dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan dengan membawa kebutuhan pokok yang tidak dihasilkan daerah tersebut.

Upaya ini kemudian menjadikan masyarakat sebagai konsumen bukan sebagai produsen. Praktek ini akan menjadi bumerang bagi bangsa ini ketika daerah yang dijadikan penghasil mengalami masalah atau bahkan terjadi peperangan atau bencana alam.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

1 2Next page

Berita Serupa

Back to top button