Terorisme: Pasar Gelap Agama
Jumat (2/4/2021) lalu, ada ada perbincangan menarik bertajuk ”Ngobrol Agama dan Terorisme: Eksploitasi Religiositas?”. Ngobrol serius tapi santai tiga orang sahabat yakni: Achmad Munjid Ph.D (Pengajar Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gajah Mada), Dr. Phil Suratno (Dosen Filsafat dan Agama Universitas Paramadina, dan Chairman The Lead Institute, Universitas Paramadina), serta Izak YM. Lattu Ph.D (dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) ini, dimoderasi Linda Yanti Sulistiawati Ph.D (Dosen UGM dan saat ini peneliti senior Hukum Lingkunga di National University of Singapore), dan digelar Pusat Studi Agama Pluralisme, dan Demokrasi (Pusapdem) dan The Lead Institute Universitas Paramadina ini, berlangsung secara zoom diikuti 160 peserta. Berikut catatan yang potretmaluku.id cuplik dari perbincangan menarik tersebut.
Di tengah gencarnya pemberitaan terorisme setelah kejadian bom bunuh diri di Katedral Makassar dan Mabes Polri, Achmad Munjid menilai, sebagian Muslim masih merasa canggung bahkan untuk menyinggungnya dalam pembicaraan, baik online maupun offline. Kenapa?
Achmad menyebut, ada beberapa kemungkinannya, yakni:
Pertama, kejadian itu dianggap nggak ada hubungan dengan mereka. Baik pelaku maupun korban, adalah “orang lain”, bukan bagian dari diri mereka. Karenanya, kejadian itu dianggap tidak penting, nggak relevan, nggak menarik. Yang apatis begini nggak sedikit jumlahnya.
Kedua, membicarakannya seolah sama dengan menyudutkan umat Islam, seolah-olah mereka harus menjadi pihak yang bertanggung jawab. Tentu saja mereka tahu itu adalah tindak kekerasan yang tak mereka setujui. Tapi membicarakannya dianggap sama dengan menempatkan umat Islam pada posisi sulit sebagai penanggung jawab itu. Buat mereka, itu absurd. Akhirnya, pilihannya ya diam.
Ketiga, itu semua adalah konspirasi pihak entah siapa untuk menjatuhkan Islam. Dalam konteks nasional, munculnya berita terorisme kerap dilihat sebagai cara jitu pengalihan isu, ketika kelompok politik terentu sedang jadi sorotan dan tersudut. Karenanya, membicarakannya sama dengan ‘terjebak permainan’ lawan. Maka, dikombinasi dengan alasan-alasan lain, terbentuklah silent majority yang membuat kelompok radikal ‘leluasa bergerak’, merasa tak mendapat penolakan dari mayoritas, bahkan mungkin malah merasa mendapat persetujuan. Dalam peristiwa demikian, silent majority means complicity.
Padahal menurut mantan imam masjid Indonesia di Philadelphia, Amerika Serikat ini, dalam bentuk apapun, terorisme itu merupakan produk dari individu dan kelompok, yang sebenarnya frustrasi dengan keadaan apa saja. Saat melihat dunia dengan frustrasi, biasanya orang tersebut merasa ada dalam satu situasi dan kondisi, dimana ada ancaman besar yang mengepung.
Para teroris itu, menurut Achmad, secara umum melihat bahwa diri dan kelompok mereka itu, sedang mengalami under sea mentality. Ini sangat khas dialami oleh orang-orang yang radikal dan para pelaku teroris.
“Kalau kita membaca surat wasiatnya Zakiah, kemudian Usman, itu kelihatan sekali bahwa pemerintahnya disebut thogut (Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, thogut atau tagut dalam bahasa Arab adalah menyuruh orang berbuat jahat; yang disembah orang, tetapi bukan Tuhan; berhala, Red). Lalu sistem ekonominya riba. Ini kan presepsi. Dia merasa semua orang memusuhi dirinya dan kelompoknya. Kemudian mereka frustrasi. Karena itu mereka merasa harus ada tindakan yang radikal untuk mengubah ini semua,” terangnya.
Nah di Amerika, kondisinya kata Achmad, juga sama saja. Orang yang ada dalam situasi begitu (frustasi), mikirnya ialah mikir konspirasi. Seluruh dunia berkomplot, berkonspirasi untuk melenyapkan dirinya. “Orang kulit putih di Amerika juga begitu. Pelaku Oklahoma City Bombing dulu itu, juga melihat begitu,” ujarnya.
Secara khusus di Indonesis, di mata Achmad, dalam situasi naiknya simbol-simbol agama. Ini yang membuat agama itu kemudian dipelintir mejadi alat ideologi politik dan seterusnya. “Iitu kan karena orang beragama lebih pada simbol-simbolnya. Orang soleh itu yang bajunya bagaimana, yang kosa katanya bagaimana, yang kegiatannya bagaimana, yang banknya apa. Nah itu kan seimbol-simbol semua.
“Di Indonesia sekarang ini, dengan naiknya simbol-simbol Islam, formalisasi islam itu, kebutuhan derajat yang serba islam itu sangat tinggi. Menurut saya di Indonesia saat ini sedang terjadi pasar gelap Islam,” tanda Achmad.
Pasar gelap itu muncul, lanjut Achmad, ketika permintaan tinggi, dan supplier tidak bisa memenuhi kebutuhan yang ada, atau yang ada itu tidak terjangkau.
Nah di Indonesia ini, nilai Achmad, kebutuhan yang serba Islam itu sedang tinggi sekali. Ada bank yang Islami dan semua hal yang Islami. Pokoknya orang jualan apa saja yang Islami itu laku. Nah melihat peluang itu, meski pun misalnya, nulis Arab pun belum bisa, meskipun baru beragama Islam beberapa bulan yang lalu, itu banyak orang yang ramai-ramai jadi ustad.
“Akibatnya wacana keagamaan itu menjadi rebutan. Baik di kalangan orang-orang yang sebetulnya baru, dan memanfaatkan situasi. Maupun di kalangan pemain lama. Karena itu fenomena di media sosial, bahkan orangg yang baru baca Al Quran terjemahan itu, berani membantah Profesor Quraish Shihab (Prof. Dr. AG. H. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A), yang S1 sampai S3 dan seluruh hidupnya itu dicurahkan untuk mengkaji Al Quran. Tetapi beliau dibantah begitu saja,” bebernya.
Kondisi ini disebut Achmad, karena riuh rendahnya Pasar Gelap Islam. “Dan di tengah Pasar Gelap Islam itu, saya kira salah satu produk yang paling gelap itu ya terorisme itu,” ujarnya.
Jadi bagi lelaki yang menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat ini, pasar gelap ini perlu dikendalikan. Para tokoh agama, para scholar agama, perlu memberikan edukasi kepada publik.
“Literasi yang kita punya ini kan memang masih terbatas pada kemampuan membaca, dan mungkin sedikit kesenangan membaca. Tapi membaca dalam arti mencerna bacaan secara kritis masih belum terjadi. Jadi orang berpikir asal sudah suka membaca, berarti program literasi sudah jalan. Padahal pelajaran reading di kelas, sejak SD sampai SMA dan Perguruan Tinggi itu, mestinya mencerna bacaan bukan sekadar membaca saja. Nah kita sangat lemah di situ. Termasuk literasi agama, yang mencerna bacaan agama secara kritis,” paparnya.
Jadi kita semua, menurut Achmad, punya pekerjaan rumah, dan punya tanggung jawab dalam kapasitas serta posisi kita masing-masing. “Peristiwa di Makassar dan Jakarta ini sangat menyedihkan. Kita semua turut bertanggungjawab, dan karena itu mestinya kita juga menemukan cara masing-masing supaya yang begitu itu tidak akan terjadi lagi,” imbaunya.
PARA NEW COMMER
Senada dengan Ahmad Munjid, sahabatnya Suratno Muchoeri menyebut literasi agama memang sangat penting artinya.
“Kalau kita dengar profil para pengebom bunuh diri, atau mungkin kelompok teroris, itu yang pintar agama cuma sedikit. Artinya mayoritas pelaku teror adalah orang-orang yang baru belajar agama atau new commer belajar agamanya,” ujar Suratno.
Menurut dia yang pintar-pintar agama di dalam kelompok teroris itu, biasanya menjadi ideolog dan sebagainya. Seperti misalnya Maman Abdulrahman (napi terorisme). Kalau dilihat nanti kaitannya, kebanyakan profil yang mau bunuh diri atau yang diminta bunuh diri itu adalah orang-orang yang new commer tadi.
“Nah Maman Abdurahman itu tidak akan bunuh diri, karena dia itu asset yang jumlahnya sedikit. Oleh karena itu, menurut saya kalau kita lihat, memang fenomena ekstremisme itu nanti kaitannya juga dengan mengapa agama kita banyak dipenuhi oleh agama-agama yang simbolis. Karena dalam studi agama itu kan ada we dont Muslim, we dont Kristen dan sebagainya,” terangnya.
Jadi orang-orang beragama baru, atau yang baru kenal agama, kata Pengurus Lakpesdam – PBNU ini, kebetulan ketemunya yang ekstrim-ekstrim. Dan memang kalau new commer, secara umum karakter nature conservatism itu lebih mudah dicerna. Karena hitam putih. Dibanding moderatism yang agak susah.
Lantaran itu, Suratno menyarankan, dalam perspektif keluarga, sebaiknya sejak kecil anak-anak kita dikenalkan dengan agama. “Biar nanti kalau gede, terutama yang Islam, tidak kaget saat terpapar radikalisme, ekstrimis dan lain sebagainya,”ujarnya.
Dia katakan, mungkin tidak saja belajar agama, tapi semacam punya identitas keagamaan. “Misalnya, oh Suratno dari kecil sudah Nahdatul Ulama (NU). Itu juga semacam salah satu benteng, jika dihadapkan pada ekstrimis,” terangnya.
Karena katakanlah anak-anak Muhammadiyah atau NU yang sudah punya identitas itu dari kecil, bagi Suratno, secara umum mereka lebih imun terhadap paparan ekstrimis dibanding mereka yang dari kecil sekolah terus, juara di kelas terus dari SD sampai perguruan tinggi, cerdas tapi tidak punya identitas keagaamaan, tidak punya bekal agama yang cukup. “Ini potensi terpapar ekstrimis lebih tinggi. Ini konteks Indonesia ya. Kebetulan kita negera beragama. Apapun agamanya,” ujarnya.
Suratno lantas meminta para orag tua untuk berhati-hati dan waspada, jika anak-anak atau saudaranya,mulai menunjukkan beberapa gejala. Gejala-gejalanya dia sarikan dari beberapa riset tentang proses-proses di fase awal menjadi ekstrimis khususnya kalangan remaja milenial di Indonesia, antara lain:
- Nyiyir dan menolak NKRI, Pancasila dan lain-lain dengan alasan-alasan agama, termasuk di dalamnya tidak mau hormat bendera, dan anti secaran berlebihan hal-hal lainnya yang terkait pemerintah karena anggapan sebagai thoghut,dan lain-lain
- Tidak mau sholat berjamaah dengan Muslim lain yang tidak sealiran dan hal-hal lainnya yang sifatnya asosial sebagai akibat dari keyakinan dan ekspresi keberagamaan yang ultra-eksklusif.
- Pengin berhenti sekolah/kuliah secara tiba-tiba dengan alasan ilmunya sekuler, dan atau tidak bisa menyelamatkannya di akherat kelak.
- Berani kabur dari rumah, meninggalkan orang tua dan saudara, karena mereka nggak setuju atau nggak mau ikut pemahaman dan aliran agama yang dianut kelompoknya
- Minta uang atau menggunakan uang, kadang dengan bohong, yang ternyata untuk musyahadah hijrah (biaya masuk ke kelompok/aliran tertentu)
- Setuju dengan, dan bahkan bersedia melakukan tindakan kekerasan termasuk menyakiti orang lain yang dianggapnya kafir, mencuri-merampok dengan alasan fa’i dan ghonimah, serta teror bom dan sejenisnya dengan mengatasnamakan jihad
Itu hanya beberapa hal untuk identifikasi awal gejala anak-anak muda kita yang sudah terindikasi di brain-washing ideologi kelompok ekstrimis. Bisa juga karena online-radicalization. Tentu tidak semuanya begitu, jadi masih harus ditelisik lebih jauh dan lebih dalam lagi.
“At least, dengan tahu dan sadar pada gejala-gejala awal di atas, kita jadi waspada kalau anak-anak kita menunjukkan hal-hal tersebut. Jadi bisa segera di follow-up-i. Mumpung belum terlambat. Semoga manfaat dan berkah,” pungkasnya.
PENTINGNYA TERPAPAR PLURALITAS
Mengenai pentingnya dimulai dari keluarga, juga menjadi konsen Izak Y.M. Lattu. Menurut dia, memang otoritas menjadi sangat penting, dan itu berhubungan dengan kepatuhan. Karena itu, seperti yang disampaikan rekannya Suratno, bahwa peran menjadikan anak-anak kita terekspos dengan pluralitas itu menjadi sangat penting sekali.
“Seberapa jauh kita masuk ke sana, untuk kemudian membuat mereka terbiasa dalam konteks pluralisme. Kemudian yang perlu dipikirkan ialah soal guru. Kalau misalnya presentasinya 60an atau 70an persen guru itu fundamentalis di sekolah-sekolah, termasuk di beberapa kota yang dianggap toleran pun begitu, ya kita bisa berharap apa dari sekolah-sekolah yang gurunya seperti itu,” ujar Izak.
Karena itu, kata Izak, perlu dipikirkan lagi, bagaimana soal rekrutmen guru-guru. Karena itu menjadi penting. Otoritas di sekolah yang diperoleh dari guru tu menjadi sangat penting.
Soal otoritas lain, yang diperoleh dari politik, kata Izak, terutama menjadikan agama sebagai pasar politik, ini kemudian menjadi penting sekali.
“Jadinya isu-isu kekerasan yang betul-betul ingin di-law enforcement dari negara, kemudian karena mungkin itu berhubungan dengan konstituennya, berhubungan dengan market (pasar), atau dengan political market yang beririsan dengan agama tadi. Dia cenderung tampil di depan melawan law enforcement dari pemerintah. Ini kemudian yang juga jadi masalah. Karena ada irisannya dengan kepentingan-kepentingan politik,” paparnya.
Pada beberapa hal, lanjut lelaki yang pernah menimba ilmu di Jurusan Religion, Democracy and Civic Engagement di Harvard University ini, dalam kaitannya dengan kepentingan ekonomi misalnya, juga perlu dipikirkan irisan-irisannya. Misalnya pada beberapa kali pemilu, orang-orang yang punya uang yang besar kemudian bisa menempel dengan kekuatan-kekuatan radikal, karena kepentingan-kepentingan ekonomi yang lebih besar.
“Kita bisa lihat sajalah, di beberapa acara pernikahan orang-orang penting dalam garis-garis fundamentalism dan radikalisme, lalu kemudian ada acara makan bersama. Kemudian orang-orang yang bagi kita, secara ideoligis mereka bukan menganut paham radikal, tapi mereka punya uang, punya kepentingan politik, punya kepentingan kekuasaan dari waktu-waktu yang lalu. Itu juga penting untuk dilihat sebagai bagian yang sangat penting dari jejaring radikalisme di indonesia,” ujarnya.
Otoritas yang lain, yang sekarang ini juga perlu diperhaikan, kata Izak, ialah pindahnya otoritas dari guru-guru agama atau tokoh-tokoh agama ke pemirsa. Terutama dalam konteks spiritual, ini kan khotbah pindah dari mimbar ke remote. Jadi kalau tdak suka dengan satu khotbah tertentu atau satu acara tertentu, kan tinggal klik.
Jadi otoritasnya, menurut Izak, tidak lagi di tempat-tempat ibadah, ketika ibadah secara virtual. Otoritasnya tidak lagi di mimbar tapi otoritasnya ada di remote. Dan otoritas di remote ini, bagi dia, menjadi penting sekali.
“Kita mau dengar khotbah yang aman, ajaran agama yang mana, otoritasnya sekarang ada pada kita sendiri terutama di era virtual ini. Nah itu yang saya kitra menjadi penting untuk kegiatan-kegiatan deradikalisasi, tetap juga lihat pentingnya pelatihan-pelatihan klik divisum. Bagaimana klik itu menjadi aktivism yang penting untuk titik recognition dalam konteks keindonesiaan,” bebernya.
Bagi Izak, ini penting sekali. Perbincangan ini menjadi perbincangan kita semua. Sebab kekerasan itu ya kekerasan. Dia tidak punya gender. Dia tidak punya agama. Dia tidak punya warna kulit, dalam pengertian semua gender apa saja bisa melakukan kekerasan. Semua agama apa saja bisa melakukan kekerasan. Semua warna kulit apa saja bisa melakukan kekerasan. Semua etnis apa saja bisa mekakukan kekerasan. Karena itu, kekerasan adalah musuh bersama sebenarnya.
“Dan karena itu percakapan-percakapan kita hari ini, adalah percakapan tentang bagaimana ini menjadi tanggung jawab kita semua. Bersama-sama membangun sebuah front besar masyarakat yang mencintai perdamaian, mencintai keindonesiaan, dan mencintai hidup bersama sebagai masyarakat pluralis dalam konteks Indonesia,” pungkasnya.(PM-05)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi