TAHUN 2009. Pagi itu sinar matahari cukup terik. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00. Kami yang menjadi tamu di Desa Luang Barat (Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku), baru saja menyantap makan siang, sebelum akhirnya menuju desa berikutnya, Luang Timur.
Saat sedang beristirahat sejenak, mata saya tertarik dengan gerakan yang terlihat sangat jauh di punggung gunung Pulau Luang. Ya, gunung kecil itu terlihat menguning atau kecoklatan, lantaran rumput-rumput yang mestinya menghijau, jadi kuning terpapar panasnya matahari.
Hanya ada beberapa pohon koli berdiri kokoh. Itu sebabnya ketika ada yang bergerak di punggung gunung, akan nampak dari jauh. Meski tidak terlihat jelas wujudnya.
Karena penasaran, saya lantas mengeluarkan lensa tele 70 – 300 mm, untuk mengintip lewat kamera, apa yang sedang begerak di kejauhan sana. Panjang lensa saya geser habis ke posisi 300 mm, dan jadilah foto seperti yang saya abadikan di bawah ini.
Penjelasan warga tentang apa yang terlhat di foto, membuat saya terpana. Mereka dalam foto itu, adalah sejumlah ibu/perempuan dari Desa Luang Timur. Desanya berada di balik gunung.
Mereka jalan berpuluh-puluh kilometer, ke balik gunung, hanya untuk mengambil air bersih untuk keperluan keluarga yang dicintai. Sekali jalan, mereka hanya bisa membawa pulang satu ember atau dua buah cerigen berisi air bersih.
Waktu menunjukkan pukul 11.30 WIT ketika rombongan kami bergerak menuju Desa Luang Timur. Jalan yang kami lalui, hanyalah jalanan berbatu cadas. Harus perlahan-lahan dan hati-hati menjejakkan kaki pada jalanan menanjak itu. Lebih dari 10 kali, saya terpaksa meminta berhenti sejenak untuk mengatur ritme nafas yang tersengal-sengal.
Tas kamera yang saya gendong, sudah pindah tangan. Abis, bawa badan sendiri saja nyaris tidak kuat, apalagi musti membawa beban di punggung.
Kami lantas melanjutkan perjalanan. Makin lama, makin mendekati titik puncak yang akan kami lewati sebelum turun ke desa di balik gunung, jarak kami dengan para perempuan pengambil air tadi, juga semakin dekat.
Seperti ujung anak panah, kami bertemu di satu titik yang sama. Satu-satunya ruas jalan yang akan sama-sama kami lintasi menuju Desa Luang Timur.
Saya benar-benar sudah soak. Tadinya ingin mengabadikan para perempuan tangguh itu pada jarak yang relatif lebih dekat dari hasil jepretan pertama. Tapi fisik berkata lain.
Saya cuma bisa menyaksikan keperkasaan mereka berjalan melintasi jalanan berbatu bermodalkan sandal jepit. Bahkan begitu bertemu di satu titik, sambil tersenyum dan sesekali menyeka keringat yang membasahi kening, mereka mempersilahkan kami berjalan lebih dulu.
Setiap kali melihat foto di bawah ini, saya selalu terkenang keperkasaan perempuan-perempuan yang harus bolak-balik mengangkut air bersih.
Sepertinya tidak cukup bilang: salut. Penghargaan setinggi-tingginya perlu diberikan kepada para ibu, perempuan-perempuan tangguh itu. Ya, bukan hanya di Pulau Luang. Tapi bagi seluruh perempuan tangguh di muka bumi ini.
Selamat Hari Ibu. Salam hormat selalu.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi