Pendapat

Sahur di Depan Gereja: Menulis Ulang Narasi Eksistensialisme Gandong

PENDAPAT

Dalam relasi Wari-Wa (adik-kaka) antara Honitetu dan Latu, saya harus panggil Ani, Farhani Wakano, sebagai Wa (Kaka). Meskipun Ani lebih jauh lebih muda, panggilannya tetap Wa. Sejak kecil, secara turun temurun kami diajarkan begitu dalam relasi Gandong di Maluku. Orang tua secara otomatis akan mengajarkan anak-anak tentang cerita Gandong, Wari-Wa ini.

Kemarin malam saya secara tidak sengaja membaca status Facebook Kaka Gandong Ani. Dia mengeluh tidak ada mobil dari Gemba, daerah transmigrasi warga asal Jawa Timur di dekat Kairatu, Seram Bagian Barat. Jarak Gemba dan Latu sekitar kurang lebih 25 KM. Jarak Gemba dan Uraur, kampung paling dekat pantai Negeri Honitetu, hanya 5 KM. Saya telepon Ani dan memastikan semua baik-baik saja. Kebetulan rumah orang tua saya berada di Uraur-Honitetu. Persis di depan Gereja GPM Yabok. Mama dan Kaka Ocha, Rossje Lattu, saya minta untuk siapkan kamar untuk Ani menginap.

“Nanti biar dijemput anak-anak dari Uraur-Honitetu,” kata Mama. “Tolong kirim Ani pung nomor,” sambung Kaka Ocha di samping Mama.

Tadi malam Ani dijemput dari Gemba untuk menginap di rumah. Sekitar jam 11 malam Ani sampai di rumah, menginap satu malam bersama Mama, Kaka Ocha dan dua anak Kaka Ocha, Edo dan Oan.

Kaka, danke. Beta su tidor deng Mama tadi malam. Amper siang antua su siapkan sahur dan kasi bangun beta voor sahur,” begitu bunyi WA Ani, dikirim bersama foto Ani dan Mama pagi ini. “Danke Ani, su lia Mama dan menginap di rumah,” balas saya.

Ani senang sekali bisa menginap di rumah. Ini pertama kali “Kaka Gandong” ini menginap di rumah kami. Saya lebih senang karena Edo dan Oan akan belajar tentang bagaimana Wari-Wa hidup. Menginapnya Ani di rumah adalah proses menyulam teks kehidupan Gandong dan memperkuat ingatan tentang Wari-Wa.

Ketika meneliti untuk disertasi saya tahun Mei – Agustus 2013, dan November – Desember 2014, saya berkeliling kampung-kampung di Seram, Ambon, Saparua, Nusalaut dan Haruku. Di lima pulau di Maluku ini, saya mengumpulkan ingat masyarakat tentang Pela dan Gandong. Bagaimana masyarakat mengingat jejaring kultural sebagai pengetahuan masyarakat? Bagaimana masyarakat menghidupi Pela/Gandong? Bagaimana Pela/Gandong dijaga ketika konflik 1999 – 2004? Saya menginap dari negeri ke negeri. Bertemu orang tua, perempuan-laki-laki, anak-anak, pemuda, tokoh agama, tua-tua adat, penyair dan agen pengetahuan lokal, hanya untuk bicara tentang bagaimana jejaring kultural mengikat imajinasi masyarakat.

Ketika meneliti di Latu, pertama kali saya pergi ke Latu, saya menginap di rumah orang tua Ani di Negeri Latu. Hanya bermodalkan telpon Ani untuk orang tuanya. Selama Ani belajar di salah satu universitas di Yogya kami sering bertelepon dan mengirim pesan singkat. Saat sudah mulai belajar di Amerika Serikat tahun 2010, saya masih rajin menanyakan kabar Kaka Gandong ini. Meskipun begitu, kami sampai hari ini belum pernah bertemu secara langsung, atomik.

Bapa Fadel, ayah dari Ani, menemani saya bertemu orang-orang tua dan penyair lokal di Latu. Kisah Nene Aisya Wattimury yang sering saya pakai untuk bicara di berbagai seminar dan conference di berbagai negara dan kampus, datang dari Nene Gandong Aisya.

Kapala sopa, nusa sopa mo. Tasie linire, nusa linire mo,” (kapal boleh berlayar, tetapi pulau ini tidak boleh bergeser. Garam meleleh, tetapi pulau ini tidak boleh meleleh), begitu syair pengetahuan eksistensialisme: tanah, manusia, eksistensi dan identitas Orang Maluku.

Nene Aisya tidak berpernah berkenal dengan teori bahasa Wittgenstein. Pasti tidak pernah dengar pendapat Whitehead. Jangan sebut filsafat eksistensialisme Sartre padanya: Nene Aisya pasti tidak kenal siapa filsuf Perancis ini. Nene Aisya juga filsuf. Beliau sedang bicara filsafat eksistensialisme masyarakat Pulau Seram. Tanah, sakralitas, identitas adalah bagian eksitensialis masyarakat Maluku.

Pikiran Nene Aisya Wattimury sudah pernah bergaung di kampus: Harvard, Berkeley, Toronto, London dan konferensi besar di AAR Chicago US, CRS Canterbury UK dan ASR Montreal Kanada.

Kaka Gandong Ani, seorang Muslimah berjilbab, menginap dan Sahur di rumah persis depan gereja adalah tindakan sosial eksistensialis masyarakat Maluku. Ani tidak hanya sekedar tidur dan makan sahur di rumah. Ani sedang menulis ulang narasi eksistensialis masyarakat. Ani sedang menambah teks lisan pada perayaan kehidupan Gandong dalam ingatan Kemalukuan.

Danke banya Kaka Gandong, Ani.

IMG 20210303 WA0039

Penulis: Izak YM Lattu
Pemerhati sosial budaya dan dosen pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga dan Dewan Redaksi potretmaluku.id.


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button