Travel Notes Ikhsan Tualeka: Pertemuan Para Penulis di Penang
“Menulislah, gagasan mu akan abadi”. Idiom itu tepat, lihat saja, tokoh-tokoh mulai dari Aristoteles hingga angkatan Ibnu Khaldun, Kahlil Gibran atau era yang lebih baru semacam C. S. Lewis dan Agatha Christie gagasan, pemikiran dan tulisannya masih bisa dibaca dan dibicarakan hingga hari ini, karena mereka menulis.
Realitas itulah yang barangkali juga turut menyemangati atau menjadi alasan kuat para penulis, penerjemah, penerbit dan sastrawan dari berbagai negara ikut ambil bagian dalam Festival Sastra George Town (GTLF). Penang Malaysia.
Sebut saja Malachi Edwin Vethamani, Nirwan Dewanto, Ninot Aziz, Karina Robles Bahrin, Kanagalatha, Sakina Latif, Rasydan Fitri, Sen Kim Soon, Wan Pahing Lim, Zahid Naser, Kristen Vida Alvaro, Habib Tengour, Daisy Rockwell, Ruhaini Matdarin dan masih banyak lagi.
Selain tuan rumah Malaysia, turut berpartisipasi dalam festival ini penulis dari: Australia, Indonesia, Aljazair, Brunei, France, India, Irlandia, Jepang, Korea, Mexico, Myanmar, Pakistan, Singapore, Thailand, Inggris, Amerika, Ukraina dan Vietnam.
Dalam kata sambutan pembukaan kegiatan, Chief Minister of Penang, Chow Kon Yeow menyampaikan rasa senang dan salam hangat kepada semua peserta, terutama yang datang dari berbagai negara di dunia, termasuk dari negara bagian di Malaysia.
“Saya menyambut Anda dengan hangat di George Town, Penang untuk edisi ke-12 Festival Sastra GTLF. Penang adalah tujuan strategis untuk memanfaatkan peningkatan fleksibilitas dan vitalitas industri sastra. Patut dicatat bahwa GTLF telah menjadi salah satu festival sastra terbesar di Asia Tenggara”, jelas Chow.
Menurutnya, festival ini cukup terkenal di seluruh dunia, terutama di kalangan penulis, penerjemah, penerbit, sastrawan yang antusias dan bersemangat, serta praktisi seni. Tahun ini, GTLF 2022 mengkaji bagaimana hutan belantara mempengaruhi kapasitas imajinatif umat manusia secara keseluruhan.
“Hal ini berhubungan dan dibuat dengan sisi gelap dari sifat manusia, seperti kecenderungan kekerasan, kekuatan fisik, perang dan perusakan lingkungan,” ungkapnya.
Namun, dirinya juga percaya bahwa tema yang sama dapat menghasilkan yang terbaik dari apa yang ditawarkan umat manusia. Welas asih, cinta dan pesan untuk perdamaian global juga dapat diselenggarakan untuk semua orang melalui penggunaan kata-kata yang tepat untuk menyentuh hati.
“Oleh karena itu, semua tidak hilang demi kemanusiaan jika kita semua mengatur hati dan pikiran kita untuk melakukan hal yang benar atau untuk memperbaiki kesalahan yang tanpa disadari telah dilakukan karena ketidaktahuan, keserakahan atau kemarahan”, harap Chow.
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi