Oleh: Elifas Tomix Maspaitella (Pemerhati Sosial)
“Pa’asi/ba’asi” merupakan istilah yang bermakna “punggul buah yang jatuh” (=memungut buah yang gugur/jatuh) secara alamiah atau saat ada orang yang “nai cengkeh” (=memanen cengkih).
Ini sering menjadi pekerjaan “anana” (=anak-anak) atau “dong parampuang” (=kaum perempuan) dan umumnya dilakukan oleh “yang seng pung dusung” (=yang tidak memiliki dusun) atau “orang dagang” (=pendatang; menunjuk pada orang dari luar kampung/negeri yang menikah di suatu negeri).
Jadi mereka “buang suara par tuang dusung” (=meminta ijin dari pemilik dusun) supaya mereka bisa “manyimpang pohong cengkeh” (=membersihkan bagian bawah pohon cengkih) supaya “bisa punggul buah yang gugur” (=bisa memungut buah-buah yang berguguran sebelum masa panen). Hasilnya disebut “cengkeh punggul” (=buah cengkih yang berguguran ke tanah dan dipungut), dan harga jualnya beda dengan “cengkeh nai” (=buah cengkih yang dipetik langsung dari pohonnya).
Kebiasaan ini pun berlaku pada buah pala. Pemilik dusun mengambil buah yang dipetik dari pohonnya, dan kelompok “anana, parampuang Deng orang dagang biasa pa’asi/ba’asi” yang jatuh.
Di sisi lain, kebiasaan “pa’asi/ba’asi” juga dilakukan pemilik dusun “par buah-buah sisa” (=buah yang tersisa selepas panen), dan berlaku untuk semua jenis pohon buah. Karena selepas panen biasanya ada yang tersisa, karena tidak sempat dipetik atau saat dipanen belum cukup matang untuk dipetik. Pada beberapa keluarga, aktifitas ini sering dilakukan dengan mengajak “konyadu dagang” (=ipar yang adalah orang dagang) untuk sama-sama “pa’asi/ba’asi“.
Jadi ada mekanisme “bage-bage” (=berbagi) atau “kasih bageang” (=memberi) suatu hasil kepada orang lain. Ini dilakukan karena ada semacam perasaan “jang dong nganga sa” (=jangan mereka hanya menjadi penonton), tetapi “biar cuma sadiki par tahang-tahang” (=walau hanya sedikit untuk persediaan).
Cara hidup seperti ini telah ditanamkan sejak zaman “orangtotua” (=orang tua/leluhur). Malah ini juga yang membidani “kasih tanah” (=memberi sebidang tanah) “par dong dagang batanang” (=untuk orang dagang/pendatang berkebun), atau “kasih dong jaga dusung” (=mengijinkan mereka menjadi penjaga dusun). Intinya, “mangkali dong bisa hidop laindari katong pung tanah spotong” (=mungkin mereka juga bisa mendapatkan penghidupan dari sebidang tanah/dusun kita).
Salamat Konci Bulang Anam, Har’ Ampa (Kamis), 30 Juni 2021
Pastori Ketua Sinode GPM Jln Kapitang Telukabessy-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi