Hukum & KriminalMalukuNasionalPendapatPendapatPolitik

Menunggu Keadilan MK, “No Waiting For Godot”

PENDAPAT

Oleh : Moh. Abe Yanlua, MH


Sejarah merawat sebilah keyakinan dan untuk itu manusia selalu membutuhkan harapan pada pertengahan musim dingin di awal tahun 1952, sebuah naskah drama monumental lahir dari jemari Samuel Beckett yang diberi judul waiting For Godot. mengisahkan dua pria yang terlibat dalam berbagai diskusi dan perdebatan di bawa pohon sambil menunggu titular Godot yang tidak pernah datang. Dalam kaitannya dengan sidang sengketa hasil pilpres yang mulai memasuki tahap the last game selalu ada dua paradigma yang mengemuka pada lekuk sejarah sengketa pilpres bangsa kita, yang selalu berdebat layaknya dua tokoh dalam naskah drama Beckett.

  • Ketegangan Paradigma

Dalam perkembangan study ilmu hukum, setidaknya terdapat beberapa paradigma yang begitu penting diantaranya paradigma positivistik dan paradigma hermeneutic.singkatnya pemikiran hukum positivisme menghendaki adanya pemisahan antara norma yang sifatnya meta yuridis dan yuridis/uu. Hukum tidak dikonsepkan sebagai asas moral meta yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.

konsekuensi dari corak paradigma hukum seperti ini akan menitik beratkan peran dan posisi hakim MK sekedar sebagai corong UU (judicial restraint). artinya hakim hanya bisa memahami hukum sebagai satu dogma dan doktrin, pada posisi ini MK dalam pengambilan putusannya akan lebih Prosedural, kuantitatif. hanya pada persoalan rekapitulasi suara, pasal 24C UUD. sehingga terlepas dari adil atau tidak adilnya satu putusan. apa yang telah tertulis sebagai argumentasi dari pasal-pasal itulah yang berlaku dan itulah yang dinilai sebagai keadilan. pada posisi ini Mahkamah Konstitusi (constitutional court) seringkali diartikan sebagai Mahkamah Kalkulator.

Di posisi lainnya hukum dalam paradigma hermeneutik lugasnya, paradigma hermeneutika memberikan satu cara pandang yang sifatnya lebih meluas bird eye view dalam melihat hukum. maka hermeneutik hukum tidak hanya menyoalkan/menyelesaikan satu peristiwa berdasarkan teks-teks hukum, tetapi juga merefleksi dan menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman, kebudayaan dan pergaulan masyarakat yang bertaut erat dengan kenyataan sosial dan sejarah.

corak paradigma ini, mencoba melihat suatu keadilan berdasarkan keadilan substansial, bukan hanya dalam taraf keadilan prosedural formil. In casu quo maka sudah tentu MK harus menggunakan pendekatan substansial dengan menyoalkan adanya pelanggaran prinsip/asas pemilu jujur dan adil. dengan mengelaborasi pendapat saksi-saksi para ahli dan bukti-bukti. sehingga dapat mendudukkan fakta-fakta yang relevan dengan makna yuridisnya.

  • Bukan Godot tapi Keadilan

“at this place, until the fall of night, I waited for godot” merupakan kalimat yang diucapkan Vladimir dalam penantiannya terhadap Godot, bahwa lewat kalimat itu ada kecemasan dan juga harapan, tetapi Godot tidak pernah datang, penantian kini dalam kesia-siaan meski dengan harapan.

Jika melihat pada pasal 22E ayat 1 UUD, yang merupakan asas penyelenggara pemilihan umum, luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil). sudah barang tentu MK sebagai penjaga konstitusi, guardian of the constitution, dapat memeriksa atau bahkan mengadili proses pelanggaran pemilu TSM, kendati menurut UU pemilu terkait dengan adanya pelanggaran pemilu menjadi kompetensi dan kewenangan peradilan Bawaslu bukan MK.

Tegasnya, di dalam putusan Mahkamah Konstitusi PHPU Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019. MK menyertakan bahwa MK memiliki kompetensi untuk mengadili adanya bentuk pelanggaran pemilu yang sifatnya TSM. artinya MK tidak hanya memeriksa persoalan perselisihan suara yang sifatnya kuantitatif tetapi juga kualitatif. bahwa belum adanya sengketa permohonan yang dikabulkan, bukan berarti MK tidak berwenang, melainkan karena dalil dan bukti-bukti tidak dapat dibuktikan secara layak.

Jika pada akhirnya pelanggaran kecurangan pemilu yang sifatnya TSM, harus dibuktikan dengan derajat pembuktian hukum pidana untuk mencapai tingkat keyakinan penuh, jelas akan sulit untuk dibuktikan unsur TSM pada peradilan MK, yang bercorak Speedy trial, apalagi unsur kecurangan yang sifatnya TSM, seringkali bertaut dengan kekuasaan.

karena sulitnya pembuktian itu. oleh karenanya MK sebagai lembaga bagi para pencari keadilan (Justice seekers). maka MK tidak hanya memeriksa seberapa signifikannya pengaruh dari kebijakan (bansos) terhadap jumlah perselisihan suara, tetapi juga memeriksa adanya dugaan kecurangan di dalam pengelolaan kebijakan pada momentum pilpres, yang dapat ditelisik melalui beberapa UU diantaranya UU keuangan negara, APBN, UU penyelenggaraan Negara hingga dalam beberapa aturan proses pencalonan sembari mempertimbangkan pendapat para pakar atau ahli dan bukti-bukti, bahkan para keterangan menteri yang telah dihadirkan di dalam persidangan, untuk sampai pada pada kualitas pembuktian yang layak adanya unsur pelanggaran pemilu yang sifatnya TSM.

Akhirnya Samuel Beckett menuliskan untaian kalimat ajaib “Ya, di tengah kebingungan yang luar biasa ini, hanya ada satu hal yang jelas. Kami menunggu Godot datang” tidak bukan Go dot tapi keadilan. (**)


Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi

Berita Serupa

Back to top button