Selain berusaha untuk menjelaskan apa yang belum terjelaskan sebelumnya, tulisan ini juga bagian dari ikhtiar untuk merefresh politik yang selama dua tahun ini penuh dengan sensasi mengada-ngada. Kini nahkoda untuk lima tahun kedepan sudah diputuskan, dan bersamaan dengan itu ada hutang yang harus dilunasi. Hutang itu bukan berupa janji politik atau tawar menawar posisi, melainkan hutang etis yakni formulasi relasi politik warga negara agar tidak jatuh pada jenis kubangan yang sama yakni omong kosong saling tuduh satu sama lain. Sangat menjengkelkan ketika publik, dengan sangat terpaksa, harus menyaksikan adegan saling serang dengan sejumlah tuduhan problematis semisal kafir, antek asing, toleran-intoleran, dari kumpulan manusia yang nampaknya lebih suka mencari delig ketimbang merumuskan titik temu.
Bila kita mengasumsikan pasca reformasi sebagai petanda aktifnya demokrasi maka yang nampak mestinya format warga negara yang tubuhnya dirawat oleh politik dan bukan kumpulan individu cemas yang memilih berlindung di balik jubah perundang-undangan. Sikap sinis semacam itu nampaknya mesti diuplod kembali sebab ada preferensi lain selain etika yang akhir-akhir ini menjadi pijakan dalam merumuskan dan bahkan menerjemahkan politik.
Sebagai ilustrasi, bila kita mencari berita pada kolom “politik” di media masa maka yang akan ditemukan adalah deretan peristiwa saling gugat elite atau tangkap-tangkapan koruptor. Dengan kata lain formalisme hukum justru menjadi parameter utama dalam menjelaskan politik. Situasi semacam itu menjadi penyakit yang sukar disembuhkan ketika yang satu mengatakan “eh ada ribut-ribut lagi di sana” dan yang lain merespon dengan “ah paling-paling politik”; menjadi penanda adanya kekeliruan akut dalam cara kita mengartikulasikan politik, baik dalam ide maupun praktik.
Politik Sebagai Kemungkinan
Bagaimana caranya yang menyebut diri cerdas sanggup mengidentifikasi kecerdasannya tanpa kehadiran yang dianggap bodoh ? atau bagaimana mungkin seorang perempuan sanggup mengidentifikasi kekhasannya tanpa kehadiran seorang laki-laki ? dengan kata lain, relasi merupakan momen di mana totalitas sepenuhnya absen dan oleh karena keabsenan itu politik dimungkinkan aktif.
Jejak konseptual dari argumen ini sekiranya bisa ditemukan ketika kita membaca Jacques Derrida dalam The Politics of Friendship (2005) yang mempergunakan terminologi Constitutive Outsider atau Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox (2000) yang mempergunakan terminologi Antagonisme.
Dua terminologi yang berbeda kosa kata namun berpijak atas logik yang sama bahwa yang disebut “kita” hanya akan ada apabila ada “mereka” atau eksistensi “kita” hanya bisa ditentukan apabila ada “mereka”. Persis pada situasi itu, politik tidak lebih merupakan relasi yang didasari atas kondisi pluralitas yang sarat akan kemungkinan.
Politik sebagai kemungkinan tidak sekedar dilihat sebagai usaha untuk memperoleh kebebasan esensial, lebih dari itu sebagai kondisi di mana totalitas cum sentralitas benar-benar dihancurkan. Tidak ada yang bisa dengan lancang menyebut dirinya sebagai sosok paling berkuasa, baik karena menempelnya simbol aparatus ataupun sejumlah perangkat kewenangan, sebab kondisi pluralitas dalam politik menjadikan relasi sebagai momen saling merekognisi tiada akhir.
Sejumlah Konsekuensi
Bayangan akan adanya konsepsi semacam itu tampaknya mengalami kekaburan akibat politik didudukan dalam logik formalisme hukum. Bila ditelusuri lebih jauh kecenderungan itu terlihat mulai dari cara memahami demokrasi. Kehadiran demokrasi selain menandakan aktifnya demos (rakyat) sebagai kekuatan substantif, juga mengindikasikan aktifnya politik sebagai format relasi warga negara. Namun seringkali, mengikuti Giorgio Agamben dalam Democracy in What State ? (2011), konsepsi tentang demokrasi terjerat oleh dua arus yang di satu sisi sama-sama berusaha menghadirkan wujud demokratik, dan di sisi yang lain menerjemahkan demokrasi dari sudut berbeda yakni demokrasi sebagai form of government (bentuk pemerintahan) atau demokrasi sebagai upaya untuk merawat politik.
Bila demokrasi diterjemahkan sebagai form of government (bentuk pemerintahan) maka akan ada pembenahan sistematis dalam struktur negara dengan menggelontorkan fokus seputar legitimasi sekaligus kewenangan sistem aparatus.
Penguatan sistem aparatus pada akhirnya mengharuskan adanya katup pengaman berupa perangkat hukum demi menjaga stabilitas. Nampaknya bagus, namun konsekuensi bagi politik hampir tak terhitung. Format relasi warga negara diterjemahkan sekedar menggunakan panduan moral (antara hitam-putih, baik-buruk), yang justifikasinya bersumber dari imperatif hukum.
Yang kita lihat akhir-akhir ini, atau yang sudah sempat disinggung di bagian awal tulisan tidak lain adalah surplus berlebihan dalam menggarap dimensi semacam itu. Hasilnya, relasi terbentuk tidak dalam sirkulasi rekognisi melainkan puja-puji status sambil menegasi satu sama lain. Kewenangan kini sanggup menjadi sumber legitimasi dan yang disebut relasi hanya jadi momen peneguhan tanpa pretensi pengakuan pada pluralitas.
Warga negara hadir tidak dengan tampilan demos aktif (ada momen partisipatif) melainkan demos pasif yang mengalami desubstansialisasi dengan perangkat-perangkat prosedural. Politik yang awalnya hadir sebagai kemungkinan bagi segenap warga negara kini menjadi momen penghakiman antara benar dan salah. Pada situasi itu, politik terpasung dengan cara yang cukup menyedihkan sebab momen etis dari politik sirna dan yang nampak justru moral.
Berbeda dari itu, bila demokrasi dilihat sebagai usaha untuk merawat politik maka pluralitas tetap hidup tanpa ada pretensi mentotalisasi. Warga negara tampil sebagai demos aktif dengan tujuan untuk mengungkapkan bahwa politik tidak hanya menyangkut elite atau debat kusir di parlemen melainkan relasi yang dihidupi setiap hari oleh segenap warga negara.
Sebagai negara, tentunya hukum sangat diperlukan dalam porsi menjaga keteraturan. Akan tetapi menjadikan hukum sebagai penerjemah relasi politik justru menjadikan momen pasca reformasi tak ubahnya orde baru. Alih-alih menjaga stabilitas-keteraturan, politik menjadi premis peneguhan sentralitas kekuasaan, warga negara menjadi masa mengambang, demokrasi sekedar jadi selebrasi lima tahunan, dan hasil dari semua itu yakni bila ada yang berusaha menggugat “tangkap”. (*)
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi