
Oleh: Eltom (Pemerhati Sosial)
“Kalu su tau ada biking sala, pi la minta ampong” (=kalau tahu ada melakukan suatu kesalahan, pergilah dan minta pengampunan). Sebab semua orang itu “tau kalu dia ada biking sala” (=sadar bila melakukan suatu kesalahan). Jadi harus “pi bakudapa” (=pergi untuk menemui) karena “minta ampong tu seng bisa deng kiring pasang” (=mohon pengampunan tidak bisa melalui pesan).
Tindakan “pi” (=pergi) berarti sadar dan rela untuk “bakudapa“. Ini model kerendahan hati, sebagai bagian dari “ilmu hidop“, “tagal seng bole bakumara lama-lama” (=tidak boleh marah-marahan dalam waktu lama), karena itu “sama deng tahang kalakuang busok/tar manir” (=memelihara kelakuan buruk/tidak sopan).
“Pi minta ampong” harus didahului oleh niat untuk “bakubae” (=damai, berbaikan). Sebab “orang sudara seng bole bakumarah, seng bole bakubinci, seng bole laeng jalus par laeng” (=orang saudara tidak boleh saling memarahi, membenci, mencemburui satu dengan lainnya).
Lalu “kalu sudara ka anana datang minta ampong, musti kas’ ampong” (=bila anak atau saudara datang mohon pengampunan, harus diampuni). Kerelaan untuk “kas‘ ampong” (=mengampuni) itu lahir dari cinta, sayang dan tujuannya adalah untuk “hidop dame” (=hidup damai). Cinta dan sayang dalam tindakan “kas ampong” itu bersumber dari sifat kita yang “seng bisa manyangkal anak, seng bisa manyangkal sudara” (=tidak bisa menyangkal anak dan saudara).
Jadi “kas ampong” itu kadang juga lahir dari rasa penyesalan, sebab saat “bakumara” atau “su murka sanapas” (=sudah sangat murkah), bisa saja ada kalimat: “katong dua putus gandong” (=kita berdua putus hubungan gandong) atau “beta tar pung sudara par os” (=saya tidak punya saudara untuk anda). Mungkin pun ada orang tua yang berkata: “mulai oras ni, se bukang beta ana barana” (=sejak saat ini, anda bukan anak kandungku), atau “jang panggel beta mama/papa” (=jangan panggil saya mama/papa). Dan itu selalu disertai tindakan “skrobi kluar ruma” (=pengusiran dari rumah) seperti dalam ungkapan “pi brangkat sana” (=segera angkat kaki) atau yang lebih radikal lagi, “brangkat sana, mau pi di kerkoff ka setang sarampa sapa pung tampa loko pi ka sana” (=ayo keluar, mau ke kerkoff atau tempat setan siapa pun, silahkan).
Jadi “kas ampong” itu menunjukkan bahwa “katong sama-sama su biking sala” (=kita sama-sama salah). Ada yang salah karena tindakan, dan ada yang salah karena kata-kata.
Jadi “kas ampong” itu berarti “dame” (=damai), bahwa kedua belah pihak sama-sama “mangaku su sala” (=mengakui sudah bersalah).
Biasanya kalau sudah “kas ampong” maka kedua belah pihak itu “bakupolo, manangis tahek-hek” (=berpelukan sambil menangis).
Ada satu bagian setelah “bakupolo, manangis tahek-hek” itu yaitu “toki kapala” (=jitak kepala) lalu yang satu bilang “dasar kapala batu” (=dasar anak kepala batu), dan sering pula dijawab “papa/mama tu yang kiri-kiri” (=papa/mama itu yang suka marah-marah). Bila di antara saudara, maka sering muncul kesadaran bersama melalui ungkapan “katong su bodo apa ni e, parsis anana alus-alus” (=bodohnya kita, seperti anak kecil saja).
Jadi “kas ampong” itu melahirkan kesadaran baru supaya “sampe jua, jang ulang lai” (=cukup, jangan terulang kembali). Lalu “kalu su kasi ampong tu, su seng bole babaengke. Abis tu abis” (=jika sudah mengampuni, tidak boleh diungkit lagi. Selesai itu berarti selesai).
Kas’ ampong beta e gandong, kalu su sala!
Salamat Har’ Raya lai par basudara gandong Salam!
Rabu, 12 Mei 2021
Pastori Jemaat GPM Bethania, Dana Kopra-Ambon
Penulis : Redaksi
Editor : Redaksi